114 Dalam Kegelapan 5

Keluarga Fern memang memuja ular, jauh sebelum Ratu Ginevra menaiki tahta dan kota Dorthive diambil alih Marquis Matthew, mereka sudah berurusan dengan ular yang tidak terhitung jumlahnya.

Keluarga Fern memiliki ambisi tersendiri yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh keluarga kerajaan, yang mungkin juga tidak pernah dibayangkan oleh orang-orang berjiwa suci.

Siapa pun yang menghalangi langkah mereka, adalah musuh.

Musuh harus mati.

Sederhananya, tidak peduli itu darah dagingmu sendiri atau seseorang yang muncul dari tempat antah berantah, sekali musuh tetap musuh, sekali mengusik keluarga Fern, maka akan jadi musuh selamanya.

Marquis Matthew, Marquis Leo, dari generasi ke generasi Emmanuel, semuanya adalah musuh.

Apalagi wanita ini, Renee yang dari leluhur berjiwa suci.

"Hah …." Ular itu membuka mulutnya dan lidahnya yang bercabang itu bergetar. "Generasi keberapa kamu?"

Renee mundur, terkejut karena baru kali ini ia mendapat ular yang bisa bicara.

"Apa maksudmu?"

"Sudah bertahun-tahun," lanjut sang ular dengan desisan rendah di mulutnya, ia bergerak dan Renee bisa melihat jika sisik-sisik yang menempel di tubuhnya itu berkilap, terlihat licin. "Sejak orang berjiwa suci berani mengusik kami dulu, sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak melihat cahaya jingga."

Ular bertanduk itu mengendus Renee, seakan tengah memastikan sesuatu, ia kemudian mengeluarkan suara geraman rendah.

"Kau … kosong?"

Renee menjauh, bahkan jika ia bodoh ia bisa tahu kalau yang dimaksud sang ular bertanduk itu adalah kekuatan jingga miliknya yang telah hilang.

"Bagaimana bisa?"

Mata ular itu memicing, warnanya yang berwarna kuning cerah itu terlihat menyala dan menjadi fokus utama Renee tanpa bisa ia sadari.

"Kau ini … terlahir ... campuran?"

Renee tidak bisa mengerti semua yang ia katakan, tapi kalau yang dimaksud sang ular dengan campuran itu adalah pernikahan Ayah dan Ibunya, maka itu memang benar.

Ayahnya manusia biasa, Ibunya … Renee tidak tahu apa itu ….

"Kau sepertinya tahu lebih banyak dari yang kukira."

Renee menarik napas, ia bisa merasakan kalau suasana hati sang ular menjadi senang tanpa alasan yang kuat.

"Jangan salah paham, sebenarnya aku menyukai kalian, orang-orang berjiwa suci mempunyai hawa yang nyaman, hangat." Ular itu mendesis dan mengitari tubuh Renee, sisiknya yang berkilauan itu terlihat sangat nyaman bergerak di atas tanah yang lembab. "Tapi kalian selalu menganggu kami."

Renee tidak tahan berada di dalam situasi seperti ini lagi, ia mengayunkan tangan mayat yang ada di tangannya ke arah sang ular.

PRAK!

Sang ular bergeming, ia bahkan tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali, ia mengibaskan ekornya ke arah Renee.

BANG!

Renee terhempas, ia menabrak para mayat yang ada di belakangnya, wanita itu terbatuk-batuk.

"Sungguh, keberadaanmu adalah sebuah lelucon."

Renee bisa merasakan penghinaan dari kalimat sang ular, ia tidak tahu apakah ular ini ada hubungannya dengan laki-laki yang ada di atas sana atau tidak tapi ... ia merasa kesal.

Hewan tidak ditakdirkan untuk bicara, sama sekali tidak boleh bicara!

"Tidak punya kekuatan leluhurmu tapi berani masuk ke sarang ular, kau ini bodoh."

Nada bicara sang ular menjadi sinis dari waktu ke waktu, tatapan matanya itu bukan lagi tatapan yang menyenangkan, melainkan tatapan sengit.

"Nyawamu akan jadi milikku."

Renee berdiri, ia menghapus debu di wajahnya.

"Coba saja, ambil kalau kau bisa."

Ia sudah berada di sini dan ia tidak bisa lari kemana-mana, sekarang hidup atau mati, ia hanya bisa ada di sini dan menghadapi ular bertanduk di depannya ini.

"Ayo, aku sudah melawan banyak ular sebelum ini, tidak sulit mengatasimu."

Ular bertanduk itu memiringkan kepalanya, ia mendesis dan sisik-sisik di sekitar lehernya bergetar dengan suara yang keras.

Sang ular tidak berkata lebih lanjut lagi, tapi kepalanya langsung melesat ke arah Renee, siap mematuk dengan kekuatan gigi terkuatnya.

Renee menarik lebih banyak lagi tangan-tangan dari mayat yang ada di sekitarnya, meski rasanya sangat mustahil tulang yang rapuh dan keropos itu mampu menghancurkan ular bertanduk yang ada di depannya ini, Renee tetap mencobanya.

Karena di saat ini ia tidak punya pilihan sama sekali kecuali melawan dan melawan.

KRAK!

Ular bertanduk itu terus menyerang tanpa henti, Renee semakin mundur ke belakang, mayat-mayat yang ada di sekitarnya sebelumnya dengan mudah terlibas oleh ekor sang ular, suara ratapan dan jeritan kesakitan terdengar seakan-akan mereka bisa merasakan betapa sakit dan perihnya tubuh mereka yang tercerai-berai.

"Sakit, aku akan mati!" teriak seseorang dari kejauhan, suaranya sarat akan marah dan penderitaan.

"Dia tidak datang untuk menyelamatkan kita, dia datang untuk menghancurkan kita!"

Yang lain berteriak lagi, kali ini suaranya sarat akan tuduhan yang jahat pada Renee, mungkin jika orang yang berteriak ini ada di hadapan Renee maka ia bisa saja berkacak pinggang dengan pongahnya.

"Aku … aku … di mana tubuhku?!"

Terdengar hiruk pikuk, seakan sadar akan sesuatu, para mayat mulai panik dan mencari-cari tubuh mereka, seakan-akan kalau bertemu, mereka bisa meyatukannya kapan saja seperti boneka kain yang dijahit dengan benang.

"Sakit sekali! Aku tidak tahan lagi, mati saja!"

Keluhan dan ratapan terdengar, kemudian ada tangis yang melengking nyaring, seakan-akan mereka tidak bisa menerima apa yang telah terjadi.

"Uh … ini menyakitkan didengar."

Renee mengerutkan keningnya, ia harus bertahan menghadapi serangan sang ular dan suara yang terus bersahutan di sekitarnya, telinganya berdengung dengan kuat dan tubuhnya terhempas lagi.

Ular bertanduk itu tidak memberikan Renee sedikit pun waktu untuk bernapas, ekornya bergerak menangkap tubuh Renee dan melilit dengan kuat.

BRAK!

BRAK!

"Kau tidak bisa kemana-mana lagi," katanya dengan suara sinis, Renee bisa merasakan sisik-sisik yang mengkilat itu dingin di kulitnya, perlahan-lahan dari kaki hingga dadanya terlilit sang ular. "Kau sudah terperangkap."

Wanita itu berusaha melepaskan diri, tapi kemampuannya tidak sebanding dengan besar dan kuatnya lilitan sang ular, Renee terjatuh, bahkan jika ia bisa melawan, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Renee menahan napas, dalam satu kali tarikan saja bisa dipastikan semua tulang-tulangnya akan patah dan ia akan berhenti bernapas.

Wajah Renee menjadi pucat, ia menatap mata sang ular yang menatapnya dengan dingin.

"Leluhurmu pasti akan kecewa." Sang ular mendesis, lidahnya yang bercabang itu terjulur keluar penuh penghinaaan.

Renee mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan rasa marah di dalam hatinya, kedua tangannya tidak bisa lagi ia gerakkan sedikit pun.

"Persetan denganmu, ular."

Renee menatap sang ular dengan tatapan menantang, membuat ular bertanduk itu merasa marah, ekornya menguat dan di detik berikutnya Renee merasakan rasa sakit yang membuat telinganya terasa berhenti berdengung.

Ah, ia merasakan satu demi satu, tulang-tulangnya patah dengan suara yang dramatis.

Sialan, sangat menyakitkan!

avataravatar
Next chapter