webnovel

Dalam Kegelapan 4

Rasanya hal seperti ini tidak sekali dua kali terjadi pada Renee, sensasi dingin, lembab dan aroma lumpur yang kuat terasa di mana-mana, belum lagi kegelapan yang tiada akhir di sekitarnya.

Renee bangkit dengan kepala yang terasa berputar, tubuhnya terasa sangat berat dan ia mencoba melihat ke sekitar.

"Leo?" panggil Renee dengan suara pelan, tidak ada jawaban, hanya gema suaranya yang terus terdengar..

"Leo? Kau mendengarku?"

Renee mencoba berdiri dengan perlahan, ia merogoh saku, mencoba mencari sesuatu yang bisa digunakan di dalam kegelapan seperti ini.

Ia tidak punya pemantik, Leo yang memiliknya, ia juga tidak memiliki batu yang bercahaya. Renee sedikit menyesal karena ia terlalu meremehkan tempat ini.

Renee tidak menemukan apa-apa di sakunya, pedangnya juga entah kemana, menghilang begitu saja ketika ia jatuh dan Renee tidak tahu di mana ia harus menemukannya lagi.

"Laki-laki itu sepertinya leluhur keluarga Fern." Renee menghela napas, ia mengusap wajah dan melihat ke atas, tidak ada cahaya lagi, semuanya gelap gulita. "Ada berapa orang sebenarnya mereka?"

Selain laki-laki itu, Renee hanya tahu Celia dan Karren, selebihnya di arsip kerajaan semua wajah itu tidak terlihat seperti wajah yang mudah diingat, mereka semua memiliki wajah yang samar dan sama.

Renee mencoba untuk tenang, ia melangkahkan kakinya tanpa arah, berharap kalau ia bisa menemukan sesuatu yang bisa membuatnya sedikit terbantu.

Renee tidak tahu berapa lama ia melangkah, tidak tahu seberapa jauh ia berjalan, rasanya tidak ada akhirnya, rasanya ia tidak menemukan ujungnya. Kakinya terasa panas dan ia terengah-engah.

Wanita itu jatuh terduduk, menatap ke atas. Renee menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya, mencoba untuk tenang.

Entah sudah berapa lama ia memejamkan matanya, Renee perlahan mendengarkan suara-suara samar di sekitarnya.

"Apa?"

Renee membuka mata, melihat keadaan sekitar, tidak ada apa pun di sekitarnya, masih gelap dan kosong.

Wanita itu bertanya-tanya, mungkinkah ada sesuatu yang tidak bisa ia lihat di dalam kegelapan sana?

Renee kembali memejamkan matanya dan mencoba untuk tenang, suara itu kembali terdengar, seperti menembus dimensi yang berbeda.

"Siapa itu?" Renee tidak membuka matanya, ia mencoba untuk tetap tenang.

Suara-suara itu kembali terdengar, seakan sedang berbisik di telinganya, seakan-akan tidak hanya satu atau dua orang saja yang berbicara, tapi ada puluhan orang yang berbicara di saat yang bersamaan, tepat di dekat telinganya.

"Sssh!"

Desissan ular ikut terdengar, Renee mengangkat tangannya dan meraba di sekitar.

"Apa? Siapa yang datang?"

"Sshh!" Desisan ular terdengar, seakan sedang menegur.

"Aku akan menikah denganmu saat melihat matahari, kapan kita bisa keluar dari sini?"

"Aku kedinginan, aku hampir mati! Tolong!"

"Sshh!" Desisan ular kembali terdengar, kali ini lebih nyaring.

"Kau tidak akan membuat dia mati, kan?"

"Hei, dia akan menyelamatkan kita atau sebaliknya?"

"Aku kelaparan, di sini tidak bisa melihat matahari, keluarkan aku!"

"Sshh!" Desisan ular menjadi lebih nyaring dan Renee merasakan ular itu mendesis tepat di depan wajahnya, ia menjadi bertanya-tanya apakah ia saat ini berada di tengah-tengah orang banyak atau semua ini hanya ilusi saja?

"Aku benci dengan keluarga Fern!"

"Ah! Aku ingin mati!"

Suara-suara itu terus berseru di saat yang bersamaan, perkataaan mereka tidak bisa Renee dengar sepenuhnya, membuat kepalanya sakit.

"Ah, hentikan!" Renee mengeluh, ia menjatuhkan tubuhnya di lantai yang dingin dan lembab, berusaha menutupi telinganya kuat-kuat, suara-suara itu semakin keras, telinganya berdengung, rasanya bagian dalam telinganya mulai nyeri dan cairan hangat mulai mengalir keluar.

"Sial!" Renee mengggertakkan gigi, ia membuka mata.

Ada cahaya dari lentera yang tergantung di langit-langit, cahayanya tidak kuat, justru temaram.

Pemandangan yang Renee lihat langsung membuatnya terjungkal ke belakang, yang tadinya gelap gulita kini telah berubah, seekor ular ada di depannya dan puluhan mayat dengan tubuh yang tidak lengkap berserakan di dekatnya, tubuhnya mengering, seakan-akan tidak ada darah lagi yang tersisa, mata dan mulut mereka terbuka lebar.

Belum lagi di leher, tangan dan kaki mereka, terbelunggu rantai.

"Sshh!" Ular yang ada di depan Renee mendesis, wanita itu langsung terlonjak mundur dan bahunya terkena tangan mayat yang menggantung, langsung patah dan jatuh ke lantai.

Renee menarik napas, ia sudah terbiasa dengan segala keanehan di tempat ini, ia juga tahu kalau di tempat ini, di kota Dorthive, pengaruh keluarga Fern sangat kuat.

Renee bertanya-tanya sebenarnya Iblis macam apa yang dipuja oleh mereka sampai-sampai mereka mampu melakukan hal segila ini?

"Menjauh dariku."

Renee meraih tangan yang patah itu dan mengayunkan pada sang ular yang membuka mulutnya pada Renee, wanita itu tanpa rasa takut membuat lengan mayat yang lain terlepas dan menghantamkannya ke kepala sang ular.

PRAK!

"Aku benci ular." Renee menarik napas, ia tidak bisa menemukan pedang dan hanya bisa melawan dengan seadanya.

"Ssshh!" ular itu mendesis, tubuhnya yang menjuntai ke belakang itu bergerak dengan gerakan yang lambat, sepasang mata berwarna kuning itu terlihat menakutkan, di atas kepalanya ada tanduk yang mencuat.

Ular yang ada di depannya ini berbeda dengan ular yang pernah ia lihat sebelumnya, ular ini mungkin jauh lebih kuat.

Lidah sang ular menjulur keluar, perutnya bergerak dengan pelan mendekati Renee, gigi taringnya gemerutuk.

"Tanpa cahaya jingga, kau bukan apa-apa."

Renee melirik ke samping, mayat yang tergantung di sekitarnya itu tiba-tiba saja menggerakkan leher secara bersamaan, menatap Renee dengan matanya yang kusam.

"Kau juga … akan berakhir … seperti kami." Salah satu mayat membuka mulutnya yang hampir sobek itu terlhat mengerikan.

"Ya … ya … kau juga akan … mati seperti …kami."

Suara-suara lain terus bergumam, Renee mengggelengkan kepalanya dan menatap ke arah ular yang terus mendekat padanya.

"Sialan, permainan kalian memang selalu kotor seperti ini ya, kelurga Fern."

Renee mendengkus, mencoba mengabaikan suara demi suara yang menyayat hati di sekitarnya, darah di telinganya terus mengalir dan rasa sakit semakin kuat.

Renee menahan napasnya dan memegang lengan yang ia cabut dari salah satu mayat yang kini menjerit marah padanya.

"Sshh!"

Sang ular bertanduk mendesis, perlahan tapi pasti Renee bisa melihat kalau sudut mulut sang ular membentuk sebuah seringai yang aneh di wajahna.

Tidak salah lagi, ular ini memang berbeda dari yang lain, sepertinya ia mengerti dan bisa berpikir seperti manusia.

"Ah," gumam Renee tiba-tiba, seakan tengah menyadari sesuatu yang seharusnya tidak ia sadari sama sekali, ia mendengkus dengan kasar.

"Tidak mungkin kalau kau adalah, iblisnya, kan?"

Mata sang ular menyipit, jelas ia sangat tidak senang dengan perkataan Renee.