webnovel

Bab 8 : Bukan Pelayan Biasa

Matahari telah menyingsing dari ufuk timur, sinarnya menelusup dari balik tirai jendela. Aretha telah bangun sedari tadi, membasuh dirinya sendiri tanpa perlu bantuan Louis lagi. Namun, beda halnya saat ia berpakaian. Gaun panjang yang menjadi pakaian kesehariannya itu agak merepotkan jika harus ia kenakan sendiri.

"Apa iblis sepertimu benar-benar bisa jadi pelayan yang bagus?" tanya Aretha tanpa melihat Louis yang sibuk membenahi pita-pita gaunnya.

"Oh? Anda meremehkan saya?" Louis menarik sebelah alisnya. Seringaian khasnya tak luput dari bibir tipis itu. "Apa mata Anda minus? Apa yang sedang saya lakukan sekarang jika tidak bisa melayani Anda."

"Bukan begitu. Aku hanya takut kamu melakukan sesuatu hal magis di depan banyak orang." Aretha merentangkan kedua tangannya ketika Louis kembali membetulkan pita di bagian pinggangnya. "Aku tidak mau dianggap aneh karena kedatanganmu yang tiba-tiba."

Louis hanya diam, fokus pada penampilan Aretha saat ini. Sementara Aretha kembali menghela napas, kembali memutar otak untuk memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah ini.

"Hmm, menarik," ucap Louis setelah menyelesaikan pita terakhir pada gaun Aretha.

"Apanya?" Aretha menarik sebelah alis.

"Apa manusia tidak suka dengan hal berbau magis?"

"Tidak semua orang suka. Lagipula itu bukan hal baik untuk dilakukan," ucap Aretha, kembali menghela napas panjang. "Dan ada segelintir orang yang juga tidak mau berhubungan dengan hal itu."

"Termasuk Anda?"

"Iya, dulu."

"Kalau sekarang?"

Aretha tidak menjawab. Hanya melengos sambil memutar bola mata malas. Kemudian beranjak keluar kamar terlebih dahulu.

Louis hanya tersenyum geli melihat ekspresi wajah sang majikan yang tampak tertekan. Dia tentu tahu kalau perjanjian ini hanyalah sebuah keterpaksaan. Kalau saat itu kebencian dan amarah Aretha tak hilang kendali seperti kemarin, mungkin Louis tidak akan pernah terpanggil ke hadapannya.

Tapi, terus berada di sisi gadis bangsawan ini membuat Louis semakin tertarik. Di sisi lain, Louis juga sangat ingin memiliki apa yang ada di dalam diri Aretha.

"Anda benar-benar menarik, My Lady."

Ya, dia sangat menginginkan jiwa Aretha.

****

Aretha kembali tertegun setelah melihat aneka hidangan yang tersedia di atas meja makan. Ada sayur, daging, kentang, salad, bahkan sampai buah-buahan yang beraneka ragam. Dia tahu kalau persediaan sayur mentah di dapur masih banyak.

Tapi masalahnya, apakah Louis sanggup membuatnya sendiri? Apalagi dari tadi lelaki itu menemani Aretha berpakaian.

"Kamu menggunakan kekuatanmu lagi, ya?" tuduh Aretha seraya melirik Louis dengan tajam.

"Tentu saja, My Lady."

"Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menggunakan kekuatanmu lagi?" Intonasi suara Aretha sedikit meningkat.

"Tapi itu merepotkan. Akan lebih cepat dan mudah dengan kekuatan, kan?" Louis menyengir khas. "Kalau ada sesuatu yang lebih mudah, kenapa harus menggunakan cara yang lebih sulit?"

"Bukan begitu masalahnya, Louis." Aretha memijit kedua keningnya, heran dengan sikap Louis yang begitu keras kepala.

"Lalu apa? Bukankah semua makanan sama saja?"

Aretha membuang napas kasar. Jawaban yang sangat lugas. Padahal baru saja tadi dia bilang pada Louis untuk tidak menggunakan kekuatan saat melayaninya. Tapi sekarang, Louis sudah melanggar aturannya?

Dasar, iblis.

Namun, karena cacing-cacing dalam perutnya juga sudah keroncongan, akhirnya Aretha memilih untuk mengambil sendok dan garpu, kemudian mengambil salah satu hidangan di sana, yaitu steak panggang. Meskipun warna dan penampilannya sangat cantik, tapi tidak ada aroma sedap yang menguar dari sana.

Dan ini membuat Aretha sedikit berfirasat buruk.

"Baiklah, kuanggap makanan ini sehat dan aman," ucap Aretha sebelum memotong steak panggang di hadapannya. "Selamat makan."

Baru saja Aretha menyuap sepotong steak itu ke dalam mulutnya, wajahnya langsung pucat pasi. Detik kemudian, gadis itu langsung memuntahkannya kembali dan buru-buru meminum air putih.

"Ada apa, Lady?" tanya Louis dengan nada sedikit panik.

"Mentah. Sama sekali tidak enak!" kecam Aretha seraya mendelik tajam.

"Hah? Maksud Anda?"

Aretha menjulurkan lidahnya kesal. Diicipnya juga sayur wortel yang terhidang tak jauh darinya. Detik kemudian, ia kembali memuntahkannya dan meringis pelan. Wortel itu benar-benar keras seperti tidak direbus terlebih dahulu.

Ini benar-benar sebuah kesalahan fatal.

"Lihat apa yang kamu lakukan dengan makanan-makanan ini! Semuanya mentah dan tidak bisa dimakan, Louis!" kecam Aretha dengan penuh penekanan.

"Er … ya? Ada yang salah?" Louis menyengir paksa.

"Tentu saja salah! Kesalahan terbesar!" bentak Aretha sambil menggebrak meja makannya. "Makanya kan aku sudah bilang jangan menggunakan kekuatanmu untuk sesuatu hal yang normal!"

Melihat Louis yang kebingungan, Aretha segera menusuk potongan steak yang masih sisa banyak dengan kasar dan menyumpalkannya ke dalam mulut iblis itu. Ekspresi Louis pun ikut berubah, sebelum akhirnya menelan potongan steak itu dengan terpaksa.

"Kalau kamu mau membunuhku, bukan dengan cara seperti ini, Louis!" ucap Aretha dengan penuh penekanan. "Bunuh aku secara langsung! Aku tidak mau tersiksa dengan makanan seperti ini!"

Dulu, Aretha tidak pernah marah seperti ini pada pelayan. Kalaupun pelayan itu melakukan sebuah kesalahan, pastilah ia akan berkata dengan baik-baik. Tapi kali ini, Aretha merasa ia tidak perlu berkata dengan cara yang baik untuk memarahi Louis. Karena Louis adalah iblis yang tak bisa ia duga sama sekali.

Aretha mengira kalau Louis akan berkilah. Namun sebaliknya, ia justru membungkukkan badannya begitu dalam, benar-benar seperti seorang pelayan yang melakukan kesalahan pada umumnya.

"Maafkan saya, My Lady," ucap Louis dengan pelan. "Saya sama sekali tidak berniat membunuh Anda. Saya berjanji tidak akan melakukan hal ini lagi ke depannya."

"Ck, benar-benar merusak mood."

Aretha menghela napas panjang seraya melipat kedua tangannya. Nafsu makannya seketika langsung lenyap. Dia tidak lagi berselera setelah menebak semua makanan di depannya ini masih mentah dan tidak layak untuk dimakan.

Apa seharusnya ia menambah koki saja ya?

"Ah, sudahlah. Aku sarapan di luar aja," ucap Aretha seraya beranjak dari bangkunya. Diliriknya arloji yang ia kenakan, masih pukul tujuh pagi.

"Serius Anda mau pergi sekarang?" tanya Louis, menghentikan langkah Aretha. "Saya bisa memasak untuk Anda, Lady."

Aretha membuang napas kasar. Memasak bagi pemula bukan suatu hal yang mudah. Apalagi Louis adalah iblis. Aretha tidak tahu apakah iblis memiliki cita rasa yang sama atau tidak.

Masih mending kalau sama, tapi bagaimana kalau nyatanya makin buruk? Ugh, Aretha tidak bisa membayangkannya.

"Aku enggak mau. Aku mau makan normal di luar saja," ucap Aretha pada akhirnya. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya menatap Louis dengan dingin. "Untuk pagi ini, aku tidak mau nunggu kamu belajar masak. Karena itu bakal buang waktuku banget."

Louis mengangguk paham. "Anda mau pergi?"

"Ya, dan kamu harus menemaniku." Aretha mengangguk. Sepasang iris sapphire kembali memancarkan ketegasan. "Kita ke kepolisian kerajaan."

"Oh?" Louis menyeringai tipis, tertarik dengan pancaran aura dalam jiwa Aretha. Tanpa sadar, manik ruby itu berkilat antusias.

Sepertinya ini akan semakin menarik.