webnovel

Lady Advocate

Sylvi benar-benar tak menyangka kasus yang ditangani firma hukumnya akan membawa kepada sebuah konflik yang begitu menegangkan. Bukan hanya ketenaran karena kasusnya berskala nasional, namun justru maut yang menghadang! Kini keselamatan hidupnya dipertaruhkan, begitu pula dengan Anto dan Sahat selaku rekan kerjanya di firma. Belum lagi kemunculan sosok lelaki misterius yang beberapa kali menyelamatkannya dari maut. Siapakah pria misterius itu?

warddicson · Fantasy
Not enough ratings
34 Chs

Chapter 15; Menakar Lawan

Gedung mewah yang memiliki dua puluh tujuh lantai itu berdiri sombong menantang. Pagi jam sepuluh waktu indonesia bagian barat, waktu tersibuk bagi pegawai perusahaan ini, membuat elevator di samping kiri dan kanan selalu berhenti di tiap lantai. Laki laki dan perempuan dalam balutan baju kantoran tumpah ruah berjalan dengan kecepatan konstan. Percakapan riuh rendah terdengar dari telepon genggam yang berdering. Tidak ada canda atau omong kosong yang keluar dari mulut mereka. Semua elemen terlelap dalam pergulatan bisnis. Terpasung dalam pembicaraan saham mana yang seharusnya dibeli atau dijual. Kemudian terbelalak dengan berita perusahaan besar yang sebentar lagi akan mengalami kebangkrutan.

PT. Adiguna Masakatsu menempati tiga lantai di gedung miliknya sendiri: lantai dua puluh lima, dua puluh enam, dan lantai terakhir. Bisnis perusahaan ini merambah segala lini yang menguntungkan. On line shop, IT, fashion dan makanan, bahkan barang tambang dan bisnis perminyakan tak luput juga disentuhnya.

PT. Adiguna Masakatsu tahun ini meraup laba bersih ratusan milyar rupiah. Membuat perusahaan ini masuk dalam salah satu daftar perusahaan penyumbang pajak besar di Indonesia.

Dari berbagai sumber yang kudapatkan, PT. Adiguna dibangun oleh tiga orang warga negara Indonesia: Adiguna Wibowo, Herman W dan satu lagi nama pendirinya yang tak pernah muncul di permukaan. Entah apa kepanjangan "W", tak satupun informasi yang bisa kudapatkan.

Wajah Adiguna Wibowo sering menghiasi layar kaca. Namun, dua pendiri lainnya tidak pernah muncul walau di internet sekali pun. Ada yang mengatakan, Herman W sudah mengundurkan diri dari kepemilikan saham, tapi ada pula yang mengatakan justru Herman W inilah pemilik sebenarnya dari perusahaan. Semua berita tentang dua pemilik saham lainnya serba misteri. Serba simpang siur.

Aku seperti disambar geledek ketika Johan muncul di apartemenku dengan segebok dokumen tentang PT. Adiguna dan kemungkinan keterlibatan pemilik perusahaan dalam skandal pembunuhan yang dituduhkan ke Sion. Tidak mudah untuk mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan. Berkali-kali aku menelepon dan mengirim surat kepada pihak manajemen untuk meminta waktu bertemu, namun tak satupun yang ditanggapi. Bahkan aku sendiri yang membawa surat ke perusahaan itu. Mentok diterima staf penerima tamu di lobi.

Sementara itu sidang awal dakwaan sudah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri. Aku yakin sidang ini akan dipenuhi pengunjung, diliput puluhan wartawan dari berbagai media. Tidak ada cara lain untuk menarik perhatian PT. Adiguna kecuali aku bisa mencoba mengail di air keruh.

Selepas menjenguk Sion tiga hari lalu, aku sempat dicegat beberapa wartawan. Pertanyaan-pertanyaan mereka tidak kujawab lugas. Ketika pertanyaan seorang wartawan berkisar alat bukti yang akan kuajukan untuk melawan dakwaan Penuntut Umum, dengan tegas kusampaikan bahwa aku punya informasi penting yang akan melibatkan sebuah perusahaan multi internasional. Tentu saja aku tidak menyebutkan nama perusahaan tersebut. Suara riuh mengejar pernyataan lanjutan tidak kugubris. Setengah berlari menuju mobil, aku tersenyum meninggalkan mereka dalam kericuhan.

Hari berikutnya, pernyataanku tentang perusahaan multi internasional yang terlibat itu seperti bola liar. Memantul kesana kemari. Memunculkan spekulasi nama perusahaan yang mereka kira-kira sendiri, dan menyimpulkan sendiri keterlibatan perusahaan itu dan pejabat yang kemungkinan terkait. Dua hari kemudian pancinganku berhasil. Teleponku berdering tadi malam. Seseorang yang mengatasnamakan PT. Adiguna memintaku untuk datang ke kantor pusatnya. Tepat jam sepuluh pagi.

Gabungan pengacara dan media laiknya dua sisi tajam mata pedang. Masing-masing sisinya sanggup memotong sekuat apa pun pertahanan lawan. Tiga puluh menit sebelum waktu yang dijanjikan, aku dan Sahat sudah duduk di ruang tamu perusahaan itu.

Untuk sebuah ruangan tempat menerima tamu, segala fasilitas yang ada di ruang tamu berukuran seluas apartemenku ini terbilang mewah. Seperangkat kursi dan sofa impor terbuat dari kulit sapi asli menarikku untuk langsung menghempaskan pantat. Lukisan tujuh kuda berlari dengan warna cerah tergantung besar di dinding. Dari goresannya, aku yakin lukisan itu bukan repro. Pastilah harganya berlipat-lipat dibanding penghasilanku sebulan dengan beberapa kasus perceraian.

Di sudut ruangan, gemericik air dari aquarium besar yang hanya berisikan satu ikan koi besar mengingatkan tentang status lajangku. Temboknya dibalut dengan cat warna krim yang teduh. Semakin bola mataku berkeliling, semakin aku merasa kecil dalam ruang tamu yang besar dan mewah ini. Ini baru ruang tamunya, bagaimana dengan ruang direkturnya?

Tidak lama menunggu, seorang office lady dengan rambut terurai sebahu menyambut. "Mohon maaf telah membuat Anda berdua menunggu. Perwakilan perusahaan sudah siap menyambut Anda."

Nadanya kenes dibuat-buat. Wajahnya dipoles dengan rias wajah mentereng. Dari tubuh wanita ini bau harum minyak wangi selera tinggi menyergap hidungku. Kemeja putih tipis slimfit lengan panjang yang membalut ketat tubuh bagian atasnya dibiarkan dua kancingnya terbuka.

Penerima tamu itu agaknya sengaja memberi pemandangan indah bagi makhluk adam untuk tidak mengalihkan tatapan mereka. "Leny" nama yang tertulis di Kartu Pengenal sengaja direkatkan di saku kemejanya yang menonjol, seolah menantang siapapun untuk menikmati dadanya yang subur. Hatiku panas dibakar cemburu. Dadaku tidak sebesar itu!

Sebelum aku menjawab, Sahat yang sedari tadi diam membuka suara. Matanya mencari nama di gundukan saku wanita itu. "Terima kasih, e ... Nona Leny. Kami dari kantor Advokat Anto and partner."

Hatiku semakin memanas. Napas jengkel kuhembuskan keras. Aku tidak suka dengan nada Sahat yang lembut namun terkesan atraktif murahan dengan ramah tamahnya.

"Anda pasti Pak Sahat? Boleh saya panggil Bang Sahat saja?" kata Leny centil.

Sahat melemparkan senyumnya yang paling manis. Wanita genit ini menatap Sahat seperti ingin menelannya bulat-bulat. Harus kuakui, wanita ini memang bertubuh indah dengan kaki panjang yang dibalut rok ketat. Pantatnya pun menonjol indah.

"Pastilah wanita ini berotak tumpul di sela keindahan tubuhnya," hiburku pada diri sendiri. Sebelum batinku meracau lagi, Leny mempersilahkan kami untuk mengikutinya

"Silahkan Bang Sahat ikuti saya. Bapak pimpinan menunggu."

Wanita itu mengerling manja ke Sahat tanpa sedikit pun menggubris kehadiranku. Sahat seperti kerbau dicocok hidung, mengikuti wanita bahenol itu dari belakang. Aku mencubit pinggangnya keras, berusaha menyadarkan dia dari mantra nenek sihir yang berlenggok di depannya. Sahat nyengir berlagak tidak menghiraukanku. Kuumpat diriku. Menyesal aku mengajak partnerku ini.

Sebelum aku menyatroni perusahaan ini, kutunjukkan dokumen yang kuterima dari Johan. Seperti biasa, Anto dan Sahat mencercaku habis-habisan dari mana aku mendapat informasi ini. Mereka semakin mencak-mencak manakala aku diam tak mau memberi tahu sumberku. Berbagai cara dilakukan Sahat dan Anto mendesakku untuk membocorkan informanku. Tetapi semakin aku didesak, semakin aku diam seribu bahasa. Akhirnya keduanya mengalah. Mereka kenal sifatku. Tak akan mereka bisa memaksaku walau harus membunuhku sekali pun.

Ruang kantor yang kami lewati laiknya labirin yang disekat kaca tembus pandang. Dari luar aku bisa melihat para pekerja seperti ikan di aquarium. Dari cara mereka memandang dan berbicara, baik dengan teman sejawat maupun lewat telepon, tidak ada mulut terbuka lebar, tertawa terbahak, atau hanya sekedar berbisik menggosip. Kamera yang terpasang di banyak tempat selalu mengintai, membuat mereka tak bisa bebas lagi sebagai manusia. Mereka seolah robot, teratur dengan ritme yang sama dalam satu panel instruksi.

Langkah kaki Leny mulai perlahan. Tepat di sudut bangunan yang paling dalam, dia berhenti. Wajahnya yang tadi sexy dan genit berubah menjadi tegang. Sorot kamera di atas pintu membuat langkahnya menjadi tak percaya diri lagi. Setelah mengatur napas dan dandanannya, dia mengetok pintu.

Dari balik pintu, suara berat terdengar mempersilahkan. Leny membuka gagang pintu dengan senyum yang dipaksakan, sedikit mendorong aku dan Sahat melangkah ke dalam. Tidak seperti kala menemuiku, gadis pemilik tubuh indah itu sekedarnya saja mempersilahkan kami, kemudian tergesa kembali ke ruang miliknya sendiri di lobi.

"Silahkan masuk. Kami menunggu anda berdua," kata suara berat itu. Suara yang sama dengan suara yang meneleponku.

Tepat seperti dugaanku. Ruangan yang luas nan mewah menyambut kami. Cat temboknya berwarna biru muda dengan dua lukisan besar tergantung di dindingnya. Satu lukisan menampilkan gambar tiga ikan koi, satu lukisan lagi berisi coretan warna-warni tanpa bentuk. Mungkin lukisan abstrak, hanya saja aku tak tahu pesan apa yang ingin ditampilkan dari lukisan itu.

Korden blinder warna putih dibiarkan dalam keadaan terbuka. Dari sela blinder itu, sebuah jendela kaca yang besar menyuguhkan pemandangan luar yang dipenuhi gedung-gedung menjulang. Aroma wangi dari pengharum ruangan bersekutu dengan dingin mesin pendingin yang menderu, membuat perutku mengeras merasakan ketegangan yang dihantarkan. Ruang sekira tiga kali luas ruang kantorku itu hanya diisi satu meja besar memanjang berbentuk oval diisi puluhan kursi kantor.

Ruang pertemuan ini terasa membeku karena hanya dihuni tiga manusia. Dua pria berumur sekitar lima puluhan, dan satu perempuan yang menurut pandanganku belum juga memasuki usia tiga puluhan. Tidak ada yang istimewa dari penampilan dua laki-laki ini, kecuali sudah bisa kutebak; Advokat yang mewakili perusahaan. Rambut putih setengah botak, senyum dingin yang dipaksakan, sorot mata nyalang menguliti, dan tubuh tambun yang dibalut jas perlente.

Keduanya menyambut kami dengan menggoyangkan dua tangannya seolah ingin menunjukkan gemerlap cincin berlian penghias jemari, dan arloji mewah di pergelangan. Sekaligus memberi sinyal pada kami berapa honorarium yang mereka terima.

Wanita yang berdiri di samping dua lelaki itu seolah tidak ingin kalah. Berbadan tinggi, sexy dalam balutan rok mini, kalung mengkilat dengan bandul permata yang sengaja diperlihatkan. Seperti Leny, kancing bajunya paling atas dibiarkan terbuka, memperlihatkan sedikit belahan dada penuh terbalut kulit putih. Rambut ikalnya sepanjang bahu dibiarkan tergerai. Mata lebarnya dihiasi bulu mata sambungan, mengepak ria kala mata wanita itu bergerak menutup dan membuka memberi kerling manja pada Sahat.

Hatiku kembali memanas lagi. Dalam rentang waktu yang tidak lama, dua kali aku kalah sebagai seorang wanita.

"Perkenalkan, kami Advokat yang mewakili PT. Adiguna," kata salah satu laki-laki yang paling tua.

Kami menyalami mereka satu persatu. Genggaman kedua laki laki ini kuat, meremas tanganku, menyampaikan inyarat, "Jangan macam macam!".

Mario Wijaya, laki laki yang meneleponku itu bertubuh pendek, tambun. Kancing jasnya seolah enggan merekat bagian perutnya.

"Nah, apa yang bisa kami bantu?" kata Mario Wijaya membuka percakapan setelah mempersilahkan kami duduk. Tekanan nada yang diucapkannya dibuat seramah mungkin.

Manakala kami tak menjawab sapaan salamnya, dia mulai memamerkan kemewahannya.

"Bapak Sahat, Ibu Siylvi, what would you like to drink? Oh ya, saya punya red wine bordeaux, asli dari french. Very dillicuous. Wanna try it?"

"Maaf, kami tidak minum-minuman keras," tolak Sahat kecut.

"Oh, Ok. Mungkin kopi atau teh?"

Sebelum kami mengiyakan, dia sudah memutuskan sendiri apa yang ingin kami pesan. "Linda, please make coffe for these gentelemens," perintah Mario pada si sexy.

Wanita itu segera beranjak ke sudut ruangan, kemudian berkutat dengan peralatan kopi dan teh mengkilap mewah di atas meja kecil. Sebagai sesama wanita aku merasa kemenangan ada dipihakku. Wanita sexy yang dipanggil "Linda" itu ternyata hanya pembuat kopi!

Kemenangan sesaatku segera menguap. Aku sedang tidak ingin minum. Aku hanya ingin secepatnya mengakhiri pertemuan ini setelah membuat mereka merintih. Belum sempat kubuka suara, Advokat perusahaan sudah menimpali dengan tekanan suara dibuat seberat dan seserius mungkin.

"Perlu Anda berdua ketahui, sebelum kita membicarakan ini, saya beritahukan bahwa segala ucapan dan tindakan anda direkam oleh kamera."

Dia menunjuk empat titik di kanan-kiri, depan-belakang. Aku menatap kamera-kamera itu. Naluriku mengatakan beberapa pasang mata memperhatikan sejak kedatangan kaki kami memasuki ruangan ini. Solah tahu apa yang kupikirkan, Mario menambahkan, "Segala hal yang berbau fitnah dan tuduhan akan berbalik menyerang kantor Advokat anda".

Sahat menggeram tak mampu lagi menahan amarahnya. "Silahkan! Saya senang sekali Anda merekam pembicaraan ini. Kita lihat, lidah siapa yang akan terpeleset nanti!"

Wajah laki laki disebelahku itu merah padam. Agaknya sejak tadi dia juga menahan perasaan yang sama dengan kami. Muak.

Menit-menit berikutnya kami terjebak dalam debat panjang penuh kekakuan dan ketegangan. Masing masing pihak berusaha menakar kemampuan masing-masing. Sahat kubiarkan memimpin pembicaraan. Pertanyaan-pertanyaan dari Advokat dijawabnya lugas. Pernyataan dibalas pertanyaan, Undang Undang dimentahkan oleh Undang Undang lainnya, Pasal-Pasal dilontarkan untuk melawan Pasal lain.

Selama sesi tanya jawab yang membosankan itu, aku dan wanita yang duduk di sebelah majikannya hanya mendengar dan mencatat.

Lebih dari satu jam aku diam seribu bahasa. Pantatku terasa panas, lengket dengan kursi. Aku tak tahan lagi. Kusentuh perlahan lengan Sahat. "Aku ingin mengakhiri ini," bisikku.

Sahat tersenyum dan mengangguk. Pertempuran sebenarnya akan dimulai. Kukeluarkan amplop putih dari tas. Kuberi mereka pandangan tajam dan senyum tipis. Sengaja dengan gerakan lambat kubuka dan kukeluarkan isi amplop di tanganku. Kubasahi lidahku dengan kopi sebelum melakukan serangan.

"Kami punya bukti-bukti kuat tentang keterlibatan perusahaan ini dengan kasus kami." Aku menyorongkan dokumen-dokumen beserta foto-foto yang ada ke hadapan mereka.

"Bukti apa? Anda jangan mengarang! Saya bisa laporkan anda dengan pasal 311 ayat (1) KUHP!" bentak Advokat perusahaan itu tanpa berusaha melihat dokumen dan foto yang kusodorkan.

"Jangan ajari kami tentang pasal-pasal! Kami tahu apa pasal itu, dan bagaimana pasal itu digunakan," sergah Sahat dingin.

"Kami bukan anak kemarin sore yang hanya bisa asal ngomong tanpa bukti yang cukup," tambahku.

Mario Wijaya yang sejak tadi menyerahkan semua pembicaraan pada Advokat di sampingnya mulai bereaksi. Penuh perhatian dia membaca dan meneliti dokumen dan foto yang terpampang. Mimik wajahnya berubah, kulit wajahnya yang penuh dengan kerutan semakin mengerut, memerah. Ia membolak-balik bundelan kertas yang kusodorkan. Matanya mengerjap, menyipit, memastikan angka dan kalimat yang tertulis dalam dokumen itu bukan karangan belaka. Lelaki itu menghela napas panjang.

"Nah, siapa yang amatiran sekarang!" kataku dalam hati.

Dokumen yang kudapatkan dari Johan menguliti semua transaksi busuk perusahaan ini. Mulanya aku, Anto dan Sahat terkejut dengan data data yang disajikan. Kami tak menyangka sama sekali perusahaan besar yang melakukan banyak transaksi dengan perusahaan-perusahaan Jepang ini tak lebih dari kumpulan orang-orang jahat yang berusaha mengeruk keuntungan pribadi dari tanah air.

Sebut saja mulai dari Price fixing, false advertising, sampai dengan money laundering yang dilakukan dengan cara the placement atu konversi dari uang tunai ke dalam berbagai asset deposito bank dan saham). Tentu saja mereka juga merambah the layering, penyimpanan dana di bank dengan memakai kuasa orang lain.

Dengan menggunakan kepanjangan tangan partner mereka di Jepang, perusahaan ini melakukan tipu daya finansial dan kejahatan korporasi lainnya untuk mengeruk keuntungan yang tidak sehat. Tidak itu saja, mereka dengan lihai mengelabuhi perpajakan dengan cara yang sistematis melalui transfer pricing dan penggunaan faktur pajak palsu.

Semua yang tertulis di dokumen yang kuterima dari Johan cukup untuk membuat perusahaan ini dituntut pidana, dan menyeret direktur utama, komisaris dan siapa saja yang ikut terlibat dalam kejahatan korporasi itu ke dalam sel.

"Ba -- bagaimana kalian bisa mendapatkan dokumen ini?" Nada suara Mario bergetar. Laki laki tambun itu mulai tertekan.

"Tidak penting bagaimana kami mendapatkan dokumen ini. Kami punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan anda," jawab Sahat tegas.

"Kami mengingkari keabsahan dokumen ini. Anda tidak bisa menjadikannya sebagai alat bukti di pengadilan."

"Kita lihat saja nanti," kataku.

Mataku menatap dalam-dalam mata Advokat itu. Dia mengerjap dan membuang pandangannya. Terasa ketakutannya tak bisa ditutupi.

"Foto ini pun tidak membuktikan apa apa," sela Mario Wijaya.

Dia melempar empat lembar foto itu ke meja tanpa kesopanan. Dia memancing kesabaran kami meledak sehingga mengaburkan otak kami untuk berpikir sehat.

"Belum," jawabku tenang.

Sahat menunjuk dua sosok laki-laki yang jelas terekam di foto sambil menyarungkan tinju kecemasan ke arah mereka. "Dua sosok manusia yang menarik perhatian. Kami tahu manusia macam apa mereka berdua. Menyenangkan bisa berbisnis dengan mereka, kan?"

"Semua orang bebas keluar masuk gedung ini," bantah Mario.

"Kami tidak mengenal mereka," pertegas si Advokat.

"Oh ya? Kami tahu dengan siapa mereka bertemu. Yang pasti bukan dengan staf rendahan, atau office boy yang suka dugem di diskotek, kan?" kataku sinis.

"Tetap saja anda tidak bisa menuduh kami dengan mengaitkan kedatangan orang ini ke kantor kami."

"Kita buktikan di pengadilan. Mereka akan menjadi saksi untuk klien kami," tegas Sahat.

Keduanya mendengus, mata mereka menyala menatap kami. Aku menikmati pemandangan itu.

"Cukup. Silahkan keluar! Kami ada rapat dengan pihak manajemen sebentar lagi," usir Mario.

Tanpa diusir pun kami akan pergi. Bom sudah ditanam, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meledak.

"Terima kasih atas waktunya. Aku yakin ini bukan pertemuan awal kita," kata Sahat sambil tersenyum penuh kemenangan.

Kami berdiri dari bantalan kursi yang semakin panas. Dokumen dan foto itu kami biarkan tergeletak begitu saja diatas meja. Sebelum meninggalkan ruang pertemuan, sekilas aku melirik lagi empat foto itu. Wajah keduanya tidak asing lagi. Seorang memakai pakaian necis dengan jas pink dan celana pink, rambutnya klimis mengkilat tertimpa sinar lampu, gerakannya lemah gemulai. Satunya lagi bertubuh tambun. Dorsi dan Bang Rud.