1 Orang nyasar

Sepulang dari kedai bakso tempo hari, aku terkapar tak lemas karena saat tiba di rumah bukan langsung berbenah rumah, melainkan buka email setelah duduk melepas hijab. Entah kenapa tanganku malah bergerak ke gambar mbah gogo, padahal bermaksud membuka aplikasi instan yang membuat gemas sekaligus geram.

Aku menggeser ke bawah melihat subjek email, sampai mataku berhenti pada subjek "Re: surat lamaran sekretaris Peramedina."

Tanpa jeda, surel itu langsung kubuka. Isinya menginformasikan bahwa aku diminta untuk datang dalam sesi Walk in Interview dua hari mendatang.

Waduh!

Syarat lainnya harus pakai baju kemeja putih, celana hitam, membawa ijazah asli, surat lamaran, CV, surat rekomendasi kerja, sepatu kulit hitam dengan tinggi tiga cm.

Tiba-tiba aku menjadi siuman setelah amnesia beberapa menit. Aku mendapat surat panggilan interview di usiaku yang ke 36 tahun? Apa mereka tidak salah? Mendadak juga aku baru ingat, bahwa surat lamaran itu sudah lama kukirimkan, dua tahun yang lalu.

Ah, tidak, tidak! Ini pasti cuma mimpi. Tidak mungkin aku dipanggil wawamcara kerja, sementara kebanyakan perusahaan sejak aku berumur tiga puluh tahun sudah mulai mencari fresh graduate, kalaupun berpengalaman yang diminta paling tua usia tiga puluh tahun.

Tapi, baiklah. Aku akan datang seperti lirik lagunya St n Ky untuk memenuhi panggilan mereka, agar aku juga bisa tahu alasan apa yang membuat mereka menimbang surat lamaranku yang sudah kadaluarsa itu. Selain itu, aku juga ingin coba mengulang petualangan jaman muda, masuk-keluar ruangan sampai ketemu pimpinan wilayah di ruangan interview.

Aku mulai menyiapkan semuanya. Mulai dari membuka lemari berisi dokumen-dokumen penting yang tersimpan rapi di masing-masing map folder. Salah satunya ijazah. Ini yang paling kujaga. Bahkan kertas selembar bertanda tangan bapak rektor dari tempat aku kuliah itu, kuberi laminating biar awet terawat. Kenapa? Karena butuh perjuangan bertahun-tahun demi selembar kertas yang bertempel foto hitam putih wajahku yang berukuran 4x6.

"Ini piring kenapa belum dicuci, Ree? Berantakan semua satu rumah!"

Hah... Kalau sudah menggelegar suara yang ini, sudahlah. Tidak ada ampun. Aku pun malas meladeni. Semua hasrat menggebu yang bahkan datang dari lelaki terkasih pun bisa berubah menjadi butiran debu. Aku lebih memilih diam membisu.

"Nasi belum masak?"

Aku tetap dalam kegeminganku. Tidak ada suara di sana yang kudengar, sampai suara tutup cosmic yang dibanting menggema ke seluruh pelosok rumahku yang bertipe 36.

Sudahlah. Aku tidak sanggup menghadapinya terus-terusan yang selalu mencari kambing hitam untuk setiap masalah. Aku ke kamar mengganti baju, sekilas nampak ponselku menerima pesan masuk. Kubuka dan kulihat Sari mengirim pesan.

[Gilak ya, pelakornya laki si Tia mulai beraksi].

Sari memancing percakapan panjang dan panas namun tak lebar seperti milik lelaki yang bernama Burhan. Urusan Tia belum kelar. Kami masih suka kepo lapak si pengkhianat dan istri barunya. Masih hujat-menghujat di sana. Noni berdiri paling depan. Tapi, sekarang aku sedang tidak berminat meladeni. Tidak juga nimbrung di lapak jahanam itu. Biarkan mereka hujat-menghujat, aku ambil pahalanya saja.

Waktu berlalu begitu lambat kalau berada di tempat dimana kita merasa tidak nyaman, pun walau rumah sendiri. Rumahku surgaku kalau orang-orang toxic itu tidak berada di rumah atau tidak serumah atau tidak lahir dari keluarga toxic.

Tapi, menjadi rumahku nerakaku kalau hidup dengan mereka atau di dekat mereka. Selesai membersihkan rumah tanpa ada perintah sana-sini yang didikte oleh orang yang melahirkanku, aku duduk di kamar membaca novel. Tidak ada iklan di medsos, tidak ada chat masuk yang membeli barang. Aku benar-benar jenuh. Mungkin aku akan terima pekerjaan itu kalau memang mereka membutuhkan tenagaku, dengan gaji yang sepadan tentunya.

Oh, tunggu!

Ada yang mengetuk pintu, kuharap bukan orang numpang bertanya. Ssbab hal itu sering terjadi di komplek perumahanku. Jujur, sangat kesal

"Ya, mencari siapa?"

Aku berdiri terbodoh-bodoh di pintu ruang tamu saat melihat tamu yang mengetuk pintu rumahku. Persis seperti orang yang didatangi pihak tv terus dikasih uang dan syuting masuk tv.

Aku tidak mengenalnya, tapi dia menyambangi rumahku. Dia gugup sebagai tanda bahwa dia bersikap sopan santun, memulai dengan senyuman manis sebagai mukadimah.

"Maaf, saya mau numpang tanya. Jalan Delima tiga no seratus lima puluh tiga, sebelah mana, ya?"

Laki-laki di depanku ini begitu menyihir diri ini sampai mataku tidak sanggup berpaling. Dia bahkan lebih cakep dari patung dewa-dewi Yunani. Mataku bahkan sudah beberapa kali berkedip, tapi tidak sinkron antara saraf otak dan mata. Kenapa mereka jadi enggan bekerjasama?

Dia tinggi, putih, rapi, wangi, kulitnya bersih terawat. Muka Indonesia sih, tapi hidungnya mancung kayak bule. Bola matanya hitam.

Ah, cepat sekali aku bisa mengurai ciri-ciri fisik dalam sekali pandang, pandangan pertama. Berbeda sekali denganku yang berkulit sawo matang ini, meskipun wajahku tidak jelek-jelek amat banyak yang mau. Cuma akunya saja yang milih-milih.

"Oh, di belakang, Mas. Lorong satu lagi. Balik aja dari sini, terus belok kanan," kataku menunjuk arah dan dia mengikuti petunjuk.

Tolong, jangan bilang aku geer sewaktu dia menatapku yang menjawab pertanyaannya. Tatapan matanya seperti terkesima melihatku berbicara. Oh, tidak. Saat tadi aku membuka pintu, dia juga sudah menunjukkan sikap bengong itu.

"Oh, belok kanan itu, ya?"

"Iya, Mas. Di situ."

"Oh, ya. Makasih, Mbak. Saya permisi."

"Sama-sama."

Aku membalas senyumnya saat pamit undur diri. Meninggalkanku yang bengong dengan otak kosong melompong, yang masih memandangnya punggungnya sampai menghilang dari jangkauan. Harum parfumnya tertinggal di teras rumahku, bahkan di ruang tamu. Oh, Ya Allah, bisa-bisanya laki-laki itu membiusku yang jones ini hanya dengan menjadi orang nyasar yang bukan mencari alamat palsu.

Aku masih berdiri di depan pintu, mengikuti lamunan yang entah membawaku kemana. Tanpa sadar, kakiku kembali melangkah ke teras untuk melihat dirinya yang sudah tidak lagi tampak. Ya, mungkin saja dia sudah kembali dari lorong belakang dan lewat di depan mataku yang menunggunya terlihat di ujung simpang lorong rumahku.

Baru saja teringat di kepalaku, dia tadi berjalan kaki, itu artinya dia membawa mobil yang diparkir di simpang mesjid. Rumahku memang dekat mesjid, cuma lima belas langkah menuju ke sana.

Ingin sekali rasanya aku menguntit laki-laki tadi yang bisa saja sosok yang dikirim Tuhan sebagai jodohku di pelaminan. Tapi, aku masih punya urat malu untuk melakukan itu. Biar jones-jones begini, aku bukan jones sembarangan. Apalagi pecicilan pada lelaki. Oh, tidak!

Tuhan, kabulkanlah doaku bahwa dia adalah jodohku. Dan, aku akan bersedekah lebih banyak pada anak yatim dan fakir miskin. 

avataravatar
Next chapter