webnovel

The Provenance

Saat itu aku tidak tahu jika pertemuan dengannya akan berakhir seperti ini. Sungguh, apa yang salah saat itu? Kenapa gravitasi menjatuhkanku dan dia di titik yang sama untuk bertemu?

***

Derit dari besi ayunan yang berkarat memenuhi kepalaku. Kakiku melayang-layang di atas pasir yang bahkan heran melihatku terus berada di sini sendirian. Anak-anak seumuranku di sana bermain, tetapi aku tidak termasuk ke dalamnya. Bukan mereka yang tidak ingin, tetapi aku banyak menahan diriku.

Aku, meski hanya berumur empat belas tahun, bisa mengerti jika seorang manusia diciptakan untuk bertemu dengan manusia yang lain menurut kehendak yang sudah mengatur untuk berada di dalam satu lingkaran yang sama. Tanpa usaha. Tanpa mengalami banyak penolakan. Tanpa harus melawan karakter diri hanya agar diterima karena seorang mengasihi seorang yang lain apa adanya.

Sebetulnya jika manusia memahami hal itu, maka akan banyak hati yang diselamatkan dari dendam dan dengki. Akan banyak keputusan-keputusan salah yang tidak terambil. Kejahatan mungkin akan berkurang juga. Tetapi jika dari sisi lain, hal itu pun menyebabkan banyak orang hanya diam menunggu gilirannya bertemu, takut untuk bertemu siapa yang tidak ditakdirkan.

Seperti aku.

Apa pikiranku naif? Ya, apa yang diharapkan dari aku yang masih empat belas tahun ini. Jika orangtuaku tidak bercerai, dan aku tidak dipaksa mengerti keadaan orangtuaku yang menikah tidak saling cinta, aku tidak akan mengerti filosofi seperti itu.

"Kamu sedang apa sendirian?"

Suara seseorang yang entah dari mana tiba-tiba menghancurkan pikiranku. Aku sedikit melonjak menyadari kehadiran seorang anak laki-laki sebaya yang berdiri di hadapanku. Dia di sana dengan kulit putih gading yang sedikit lebih pucat dan iris mata seperti lautan. Sedikit aneh untuk seorang yang tinggal di sini. Segera ku usap air mataku yang berjatuhan agar dia tidak melihat. Tidak berani menatap mata biru polos itu yang tertuju hanya padaku, aku menundukkan pandangan pada tanah di bawah kakiku yang melayang tertahan ayunan.

"Main ayunan. Kamu gak bisa lihat?" jawabku ketus. Setidaknya agar aku tidak terlihat lemah.

Dia tampak berpikir sejenak lalu melirik ke arah anak-anak di seberang sana. "Kenapa tidak bermain bersama mereka?" jarinya menunjuk.

"Gak, mereka anak laki-laki. Mereka bilang anak perempuan gak bisa bermain permainan anak laki-laki jadi aku gak bisa gabung dengan mereka" bohongku.

Han, mereka mengajakmu. Kamu yang menolak.

"Teman-teman perempuan kamu mana?" tanyanya polos dan penasaran.

"Gak ada anak perempuan lain selain aku di kompleks ini" aku mengerucutkan bibirku.

Iya, aku mengaku kalau aku sedikit tidak nyaman bermain dengan anak-anak lelaki itu karena mereka seringkali kasar dan tidak sopan. Sedangkan mencari anak perempuan sebayaku disini, tidak ada.

"Oh begitu, kamu kesepian dong?" ucapnya frontal. Menohok sampai dalam hatiku.

Dengan muka masam, aku meneriakinya, "Enggak! Ih nyebelin banget sih?!" bantahku sewot.

Oh tidak, aku kelepasan membentaknya. Aku segera menutup bibirku yang nakal dengan tanganku. Dadaku berdebar tidak karuan, takut jika dia sakit hati dengan nada bicaraku dan membentakku dengan lebih kasar lagi. Ah, dia pasti mengganggapku aneh dan akan menjauhiku. Hiks, mengapa aku selalu gagal dalam memulai pertemanan?!

Namun tidak, dia malah tersenyum.

"Boleh kutemani kamu? Mau aku yang dorong ayunannya?" tawarnya ramah, kontras dengan dugaanku. Senyumnya lebar dan terlihat manis. Membuat pipi putih kenyal itu terlihat seperti ada apelnya.

Aku menatapnya curiga. Curiga juga dengan perasaanku. Kenapa aku malah merasa senang? Aku tidak bisa membohongi diriku kalau aku sedikit bahagia dengan tawarannya.

"Ehm… Boleh...?" aku mengizinkannya dengan ragu, sebetulnya ragu pada diriku sendiri.

"Ya boleh lah! Nama kamu siapa?" balasnya lagi sambil berjalan ke belakangku.

"Ka-Kamu kenapa mau main sama aku?" tanyaku sekali lagi. "Kita mungkin ga cocok loh?" lanjutku berpegang pada filosofi awal. Aku takut pertemanan ini berakhir dengan permusuhan karena aku yang tidak pandai membina hubungan.

Dia diam. Kepalanya miring tanda dia kebingungan. Aku menatapnya gugup dari balik bahuku.

"Mau saja. Aku baru pindah ke sini, jadi belum punya teman. Aku mau berteman sama kamu" jawabnya polos.

Aku terdiam.

"Kenapa memangny-?"

Aku segera membalikkan tubuhku dan menggenggam erat kedua tangannya sebelum dia selesai bicara. Kulihat mata indahnya sempat terbelalak dan bibirnya mengatup secara otomatis karena perlakuan mengejutkan dariku. Tetapi aku tidak bisa menahan diriku, instingku mengambil penuh kendali diriku.

"Han! Hanessa Cherie! Namaku Hanessa Cherie! Aku tahu namaku agak aneh untuk orang Indonesia, tapi kamu bisa panggil aku Han!" kataku spontan.

Tunggu, apa ini benar aku? Mengapa bisa menerima orang sebegini lancarnya? Aku bahkan menjadi yang agresif.

"Hane..ssa..?" terbata, dia masih terkejut dengan serangan agresifku, tetapi kemudian bisa segera mengatur diri untuk bicara walaupun kebingungan. Sudah kuduga, namaku pasti asing di telinganya.

"I-iya. “Hanessa” bisa diartikan perempuan yang anggun. Sedangkan “Cherie” diambil dari bahasa Prancis artinya 'Sayang'" genggaman tanganku melonggar, siap melepaskan tangannya jika dia justru illfeel mendengar aku bicara.

Namun tiba-tiba tangannya yang menyambar kembali tanganku sebelum semakin menjauh. Lalu menggenggamnya erat seakan tidak membiarkan aku pergi. Seakan tidak ingin aku melepaskan dia. Kini berganti, aku yang terkejut menerima perlakuannya.

"Han..." dia tersenyum. Rona merah melintasi kedua pipinya yang pucat, membuatnya seratus kali lebih manis.

Jantungku berdebar.

"Namaku Joshua. Kamu pasti tahu artinya" lanjutnya.

Aku mengangguk pelan walaupun aku tidak tahu artinya. Maksudku, aku pernah mendengar nama itu berkali-kali tapi tidak pernah tahu makna aslinya. Meski begitu, nama itu terdengar seperti memiliki makna yang dalam. Seperti melihat punggung seorang pemimpin yang berkarakter kuat.

Dia masih tersenyum padaku, seperti menikmati saat-saat dia bisa menyentuh tanganku. Kurasakan dingin suhu tangannya memudar menjadi hangat, seiring Joshua juga menghangatkan perasaanku.

Sejak hari itu, kami mulai berteman dan tidak butuh waktu lama sampai kami menjadi lebih akrab dan bermain bersama layaknya anak-anak pada umumnya. Tidak memikirkan apapun, mau sebab ataupun akibat.

Saat itu, dengan polosnya kita memulai pertemanan tanpa tahu jika mungkin aku salah mengerti tentang banyak hal. Dengan polosnya aku menerima dia masuk kedalam lingkaranku.

***

Semua berlanjut begitu saja. Dua hari setelah aku bertemu dengannya, aku mengetahui kalau dia masuk ke SMP yang sama denganku. Rumahnya yang hanya selisih satu gang dengan rumahku juga membuatnya selalu menghampiri rumahku dahulu sebelum kami pergi ke sekolah bersama.

Ibuku berkenalan dengannya saat pertama kali dia mengajakku berangkat ke sekolah bersama. Dengan cepat mereka juga menjadi akrab. Begitu pula denganku, seiring waktu berjalan kami semakin akrab, Joshua sering mengajakku ke rumahnya dan aku pun menjadi cepat akrab dengan ibunya.

"Cherie, ini pertama kalinya Jo kenalin temannya sama tante, loh" Tante Widya, ibunya Joshua, menyapaku. Hanya tante Widya dan ibuku yang memanggilku Cherie. Tante bilang Cherie lebih cocok untukku karena terdengar manis seperti orang tersayang dan juga manis seperti buah ceri.

Aku tersipu, tetapi juga curiga. "Pertama kali?"

"Iya, sebelumnya, mungkin karena kami selalu berpindah-pindah negara, Jo tidak selalu berteman sama anak-anak disana. Kadang juga, tidak ada anak-anak yang sebaya dengannya. Beberapa kali memang ada anak-anak yang datang mengajak Jo bermain, tapi Jo selalu menolak. Jadi ini pertama kali tante kenal sama temannya Jo" jelasnya panjang lebar.

Aku diam mendengarnya, bahkan tidak mencoba tertawa atau tersenyum palsu agar kelihatan sopan. Joshua di sana masih menatapku dalam, tatapan yang justru membuatku tidak nyaman.

Hanya aku yang dianggapnya teman? Apa dia satu cara pandang denganku? Tidak, sepertinya Jo anak yang mudah berteman dengan siapa pun.

"Jangan khawatir" suara tante mengembalikanku pada kenyataan. "Jo itu, kepribadiannya dibentuk oleh kultur yang berbeda-beda dari setiap negara yang kami sempat tinggali, jadi terkadang dia memang kelihatan atau bersikap sedikit aneh, tapi sebetulnya dia anak yang baik. Tante kenal dia, dia anak saya" jelas tante Widya menenangkan perasaanku. Aku tersenyum menyambut kata-katanya.

Aku teringat ketika pertama kali aku masuk dalam rumahnya. Mereka bilang ini adalah rumah yang disiapkan oleh ayahnya Joshua untuk keluarganya jika ada sesuatu terjadi di luar dugaan. Rumah ini terhitung besar untuk penghuni yang hanya tinggal berdua. Joshua dan tante Widya pindah ke sini setelah kematian ayahnya.

Sebelum pindah ke sini, mereka sekeluarga tinggal berpindah-pindah negara dikarenakan pekerjaan ayahnya. Sejak kematian beliau, Joshua dibawa kembali ke Indonesia, negara ibunya sekaligus negara tempat dia lahir, untuk menetap di rumah yang sudah disiapkan.

Ayah Joshua adalah orang Inggris, hal itu menjelaskan kenapa wajah Joshua sangat tampan bahkan dalam ukuran remaja. Kulitnya putih dan matanya biru, sedikit tidak biasa disandingkan dengan rambut hitam lebat yang ia dapat dari ibunya. Tinggi Joshua juga diatas rata-rata remaja laki-laki biasanya. Joshua benar-benar definisi dari Pulchritudinous.

Tante Widya merupakan seorang wanita asal Manado yang sangat baik dan cerdas. Tidak heran keluarganya tetap stabil bahkan sejak kematian suami. Dia merupakan seorang wanita tipe pemimpin dan sepertinya hal itu diwarisi oleh Joshua.

Dekatnya kami dan keluarga kami membuat aku dan Joshua tidak melewati satu hari pun tanpa bertemu. Semakin hari semakin akrab dan kusadari satu-satunya teman yang ku punya hanyalah dia.

Tidak hanya itu, hal itu ternyata juga vice versa. Padahal, dengan penampilan fisik dan keramahannya, Joshua bisa saja berteman dengan siapa pun. Aku yakin juga semua orang ingin berteman dengannya. Sewaktu-waktu, dia bisa saja... meninggalkanku demi teman-teman barunya.

"Jo! Main bola yuk!" seru seorang anak laki-laki sambil berlari menghampiri kami. Tepat ketika aku berpikir untuk mengajak Joshua bermain sesuatu karena sepuluh menit yang lalu berlalu begitu saja tanpa kami melakukan apa-apa. Hanya Joshua yang bermain sendiri di tangga majemuk dan aku menontonnya.

"Kenapa?" balas Joshua, kritis. Dia melompat turun menghampiri anak itu.

"Kita kurang orang buat dua tim. Ayolah!"

Joshua menatapku yang sudah khawatir akan ditinggalkan. Aku tersenyum kecut, bersiap mengatakan "ya" kalau dia ingin ikut bersama mereka.

Tetapi Joshua justru bertanya padaku, "Kamu mau main bola juga, Han?"

Loh? Aku kan perempuan. Tidak apa-apa juga sih sebetulnya. Tetapi mereka pasti hanya akan menganggapku beban dan tidak bisa mengikuti permainan mereka.

"A-aku… Gak bisa main bola..." elakku cari aman. Suaraku bergetar, tanpa sadar hampir terisak.

Joshua menatap lalu tiba-tiba menyambar salah satu tanganku dan menariknya agar kami menjauh dari anak itu.

"Ya sudah, kita main yang lain. Ayo pergi, Han!" serunya. Kami berjalan menjauhi anak yang membawa bola tadi.

Kembali, aku terhenyak.

Joshua itu anak yang populer, setidaknya di sekolah dan di kalangan anak-anak kompleks rumah. Tetapi dia lebih mementingkanku lebih dari orang lain. Dia lebih memilih aku dari pada teman-teman sebayanya. Dia menjadikanku teman nomor satunya dan membuatku merasa lebih unggul dari orang lain.

Apa hal ini yang membuat aku begitu cepat menerimanya?

Aku bahagia.

ーyah, setidaknya saat itu.

Sebelum kejadian mengerikan mulai bermunculan.

•••

Next chapter