webnovel

Sang Penyintas

"Melihat reaksimu, sepertinya kau paham. Ya, aku adalah orang Svetlia." Kata Bibi Valeria pelan.

Aku masih merinding.

Bibi Valeria adalah orang Svetlia?

Bukankah orang-orang Svetlia itu kejam dan bengis?

Berbeda sekali dengan yang selama ini diceritakan...

Bibi Valeria itu baik.

Ya memang dia galak, tapi dia baik.

Sungguh berbanding terbalik dengan cerita yang kudengar tentang orang Suku Svetlia.

"Kenapa, Andre? Kau takut?" Kata Bibi Valeria, nadanya seperti orang tersinggung.

"A... Anu... Kudengar orang-orang Svetlia itu jahat dan kejam. Tapi... Bibi Valeria sama sekali tidak begitu. Ya Bibi Valeria memang galak sih, tapi baik." Kataku polos.

Mendengar kalimat terakhir, Paman Igor tertawa.

"Kau dengar itu, Val? Andre menyebutmu galak! Buahahahaha!!"

Bibi Valeria menjitak kepala Paman Igor, membuat laju kereta kuda sedikit kacau lagi tapi bisa segera dikendalikan oleh Paman Igor.

Bibi Valeria memandangku dengan wajah muram.

Ia menghela napas.

"Jadi itu yang diajarkan pada masyarakat yah... Sampai-sampai anak-anak sepertimu mengenal kami sebagai sekumpulan manusia yang jahat dan kejam... Yah, aku tidak kaget sih."

"Ma... Maaf, Bibi Valeria."

Bibi Valeria tersenyum lebar lalu mengacak-acak rambutku.

"Hahahaha, tidak apa-apa. Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh orang non-Svetlia. Aku juga bisa mengerti kalau kalian berpikiran begitu. Tapi katamu aku ini baik kan? Itulah kami sebenarnya. HAHAHAHA!!!" Bibi Valeria tertawa kencang.

"Ssssttt! Jangan keras-keras! Kau ini ya, hobi sekali kalau tertawa keras begitu. Ingat, kita masih dalam posisi bersembunyi!" Paman Igor mengingatkan Bibi Valeria.

"Hehehe, iya. Maaf!" Kata Bibi Valeria sambil menjulurkan lidahnya.

Kalau Bibi Valeria memang orang Svetlia, itu menjelaskan kenapa ia bisa sangat cepat berlari.

Itu juga menjelaskan kenapa ia bisa dengan mudah berkali-kali menangkapku yang mencuri jagung di ladangnya.

"Lalu, bagaimana bibi bisa keluar dari Rudnikaya? Bukankah semua orang Svetlia ditahan di sana?"

Wajahnya kembali muram begitu kutanyakan hal itu.

"Dua puluh tahun yang lalu... Aku berhasil keluar dari neraka itu." Katanya.

"Ayah dan ibuku, juga beberapa kerabat kami membantuku untuk keluar dari sana. Mereka menyelundupkanku melalui kereta mesin yang membawa Polizeum keluar dari Rudnikaya. Tak hanya aku sebenarnya..."

Bibi Valeria menghentikan kalimatnya. Badannya mulai gemetar, kulihat pancaran kemarahan dari mata keemasannya.

"Val... Kalau sulit, tidak usah kauceritakan. Lagipula, aku ragu Andre bisa menerimanya." Kata ayah sambil menepuk pundak Bibi Valeria.

Bibi Valeria menggeleng.

"Terima kasih, Novel. Tapi aku rasa aku harus menceritakannya. Agar Andre tahu, betapa kejam dan bobroknya kondisi pemerintahan Rusidovia saat ini. Kau memang masih sangat muda, tapi aku lihat kau sepertinya sanggup menerima kenyataan ini."

Aku mulai memandang Bibi Valeria dengan tatapan antusias.

"Saat itu... Usiaku masih 12 tahun. Jika dibandingkan sekarang, saat itu badanku jauh lebih kecil. Begitu juga dengan anak-anak seusiaku yang dikirim bersamaku. Total ada 7 anak yang dikirim keluar dari Rudnikaya, 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Hanya kami anak-anak yang sudah cukup besar saat itu."

"Kami disembunyikan di bawah tumpukan Polizeum yang baru ditambang. Sesak dan menyakitkan rasanya, tapi kami sudah dilatih sebelumnya oleh orang yang mengirim kami. Sebuah kalimat yang masih kuingat sampai sekarang sebelum kami berangkat: Ungkaplah pengkhianatan Alexei, kata mereka."

Alexei... Kaisar yang memerintah saat ini.

Bagi rakyat Rusidovia, ia dianggap sebagai pahlawan.

Tapi, mungkin bagi orang Svetlia ia dianggap sebagai pengkhianat.

Aku tak begitu mengerti, tapi aku terus mendengarkan cerita Bibi Valeria.

"Tapi... Hal itu tidak berjalan seperti yang kami harapkan. Kereta mesin dihentikan sebelum kami sampai di Isseldov. Para prajurit memeriksa muatan dengan teliti hingga ditemukanlah kami semua. Kami semua dipaksa turun dengan pecut dan pukulan. Kulihat ada seorang bangsawan di situ, aku ingat namanya: Pyotr Plavikonj. Dia mengumpulkan kami di depan kereta pengangkut Polizeum."

"Dia mengamati kami semua... Pandangannya sungguh menjijikkan. Setelah dilihati begitu, kami semua..."

"Valeria, cukup. Anakku masih kecil, dia belum siap dengan hal itu." Ayah menyela cerita Bibi Valeria.

Ah... Kenapa sih dihentikan, padahal baru seru-serunya.

Kisah Bibi Valeria memang mengerikan.

Aku yang masih bocah saja merinding mendengarkan ceritanya.

Ditambah dengan cara Bibi Valeria bercerita.

Bibi Valeria bercerita dengan penuh emosi.

Aku merasakan amarahnya meluap-luap, apalagi ketika ia menyebut nama bangsawan itu.

Bibi Valeria menghela napas.

"... Maafkan aku, sepertinya aku yang terlalu emosi. Aku lupa kau masihlah bocah berusia sebelas tahun. Tidak seharusnya aku mengatakan hal-hal mengerikan padamu." Bibi Valeria meminta maaf padaku dengan wajah yang tidak mengenakkan. Ia tampak menyesal namun terlihat ada ketidakpuasan dari dirinya.

"..."

"..."

"..."

Kami semua terdiam.

Ah iya, aku masih penasaran dengan sesuatu.

"Bibi Valeria... Anu... Rambut bibi kenapa bisa berubah warna begitu?"

"Oh, ini? Sebenarnya itu masih ada hubungannya dengan ceritaku tadi. Hmmph... Mungkin bagian yang tadi tidak usah aku ceritakan detailnya. Singkat cerita aku bisa kabur dari bangsawan tadi dan bertemu dengan seorang pedagang." Bibi Valeria mulai bercerita kembali sambil memainkan rambutnya.

"Pedagang itu awalnya ketakutan saat bertemu denganku. Tapi mungkin entah karena kasihan atau apa dia memungut dan merawat semua luka-lukaku. Aku tinggal bersamanya selama kurang lebih 2 tahun. Selama 2 tahun itu juga aku selalu diberi sebuah ramuan yang ia dapat dari Dwipa. Ramuan itulah yang membuat rambutku berubah warna. Tapi saat itu..."

Bibi Valeria tertawa kecil saat menceritakan hal ini.

"Rambutku selalu berubah warna dengan acak. Dosis pertama biru, lalu hijau dan seterusnya. Lalu saat itu aku tidak sengaja menumpahkan bubuk kayu manis ke dalam ramuan itu. Saat aku meminumnya, rambutku berubah warna menjadi coklat seperti ini. Padahal sebelumnya tidak pernah berubah warna menjadi warna-warna gelap, selalu saja warna-warni seperti Orang Ceres. Karena penasaran, aku iseng mencampurkan kayu manis lagi di dosis selanjutnya. Rambutku tidak berubah secara acak lagi, tetap coklat seperti ini."

Waahhh, ada ya ramuan seperti itu.

Aku jadi ingin mencobanya.

Tiba-tiba, kereta kuda yang kami tumpangi berhenti.

"Ada apa, Igor?"

"Serangan."