webnovel

Orientasi Wilayah (1)

Tak terasa sudah sore.

Padahal aku hanya membereskan gudang, tapi waktu berjalan dengan sangat cepat.

Mungkin karena belanjaannya sangat banyak jadi memakan waktu lama juga.

Budimir masih saja menggerutu saat aku bekerja dengannya, namun ia sudah tidak sekasar tadi. Malah ia terlihat merasa bersalah karena sesuatu.

Yah, mungkin itu memang sifatnya.

Jujur saja, mendengar gerutuannya membuatku ikut kesal juga. Tapi aku juga belajar banyak hal darinya bahkan di hari pertamaku ini.

"Fiuh, selesai sudah." Kata Budimir.

"Haah..." Aku menghela napas.

 

"Belanjaan hari ini benar-benar gila..."

"Ya... Banyak sekali memang... Tunggu, memang biasanya tidak sebanyak ini?"

 

"Biasanya hanya sedikit, soalnya aku sering mendata apa saja yang sudah mau habis lalu dibeli keesokan harinya. Biasanya salah satu dari kami yang belanja sendirian sudah cukup."

"Lalu kok tumben hari ini segini banyaknya pak?"

"Entahlah, tanya sendiri sana sama master."

Kami berdua terdiam sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajah kami.

Hari ini benar-benar melelahkan...

"Hei... Anu..." Budimir mulai bicara kembali.

"Hmm...?"

 

"Aku minta maaf untuk yang tadi... Aku benar-benar minta maaf karena sudah membentak-bentakmu dan mengatai ayahmu." Katanya sambil mengulurkan tangan.

Aku sedikit terkejut melihat Budimir yang sikapnya benar-benar berbeda dari tadi siang. Tadi ia sudah minta maaf sih, tapi kali ini aku melihatnya minta maaf dengan tulus.

Kuulurkan tangan padanya sebagai tandaku menerima permintaan maafnya.

"Sama, aku juga minta maaf untuk yang tadi karena sudah memukul bapak."

"Ya... Aku tidak tahu kalau kau sudah kehilangan ibumu. Maaf aku tadi sampai mengatainya juga."

 

"... Yah... Tidak apa-apa... Tunggu, bapak tahu dari mana?"

"Tadi master yang bercerita padaku."

Jadi... Master tahu mengenai ini...? Siapa yang memberitahunya? Lalu, sudah sampai sejauh mana ia tahu?

"Ada apa?" Perkataan Budimir membuyarkan lamunanku.

"Ah, tidak apa-apa pak."

 

"Kalian masih di sini rupanya."

Sesosok pria yang kukenal muncul dari balik pintu belakang kedai.

"Ah, Paman Fyodor! Sudah selesai bekerja?"

"Tentu saja belum. Bukankah ini sudah waktunya, Ndre?"

Waktunya...? Ah iya!

Aku harus menemui David setelah ini untuk berlatih.

"Ah, iya juga. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Terima kasih atas bimbingannya hari ini, Pak Budimir! Besok ayo kita bekerjasama dengan lebih keras lagi!" Kataku sambil membungkukkan badan pada Budimir.

"Hah, lebih keras? Yakin nih ya, besok siap-siap saja kau!" Kata Budimir dengan tatapan tajam.

Oke, aku mengharapkan dia akan tertawa, tapi kalau begini aku malah jadi takut.

"Anu... Mungkin seperti hari ini saja cukup, pak..."

Seketika saat aku mengatakannya, tawa Budimir meledak.

"BUAHAHAHAHA!!! Ya sudah, sana pergi kau! Kutunggu besok!"

Mendengarnya tertawa aku menjadi sedikit kesal karena aku dipermainkan.

Aku pun segera ngeloyor masuk kedai untuk berpamitan pada master.

Niatku ingin berpamitan dengan yang lain juga, tapi karena kedai sudah mulai beroperasi, lebih baik aku tidak mengganggu pegawai lain.

Setelah berpamitan, aku segera meninggalkan kedai lalu bergegas menuju tempat David.

Kalau tidak salah... Harusnya lewat sini, tapi kenapa nggak ada?

Kan di sini perempatannya lalu...

Tunggu... Aku tersesat?

 

...

 

Aduh, aku betulan tersesat.

Padahal kota ini sepertinya tidak besar-besar amat.

Ahh... Kenapa harus nyasar sih...!?

Mana tidak ada orang yang kukenal lagi...

Sebentar, coba kembali ke tempat tadi.

Eh... Tadi itu lewat mana ya...?

AHHHHH!!!!

AKU TERSESAT BETULAN!!!!!

 

...

 

Hari semakin gelap, dan aku masih saja berputar-putar di kota.

Percuma, sepertinya aku tidak akan menemukan tempat itu kalau tidak bertanya.

Kulihat ada seorang prajurit sedang berpatroli, kuputuskan untuk menghampirinya.

"Selamat sore, paman. Bolehkan saya bertanya?"

Orang yang kusapa melihatku dengan tatapan yang tidak mengenakkan.

"Ya, ada apa, bocah?"

"Anu... Aku mencari kediaman... Aduh siapa namanya ya? Pokoknya penguasa kota ini."

Prajurit itu semakin menatapku tajam.

"Hah? Mau apa bocah sepertimu ke sana?"

"Saya mau bertemu guru saya di sana, seorang prajurit namanya David."

Prajurit itu mengernyitkan dahinya.

"Mana ada orang asing yang menjadi prajurit Plemenita. Sudahlah, kau tak usah membual. Pulang sana!"

Lah, bukankah menurut persetujuan kemarin David dan ayah menjadi prajurit? Apa ada kesalahan ya?

"Anu, atau prajurit yang bernama Novel? Adakah? Aku putranya."

"Tidak ada! Pergi sana!"

Prajurit itu menghardikku supaya aku menyingkir.

Cih, tidak usah sok keras gitu juga kali. Toh aku bertanya juga dengan baik-baik.

Setelah membentakku, prajurit itu bergumam dengan rekannya, entah apa yang ia katakan tapi rekannya terlihat agak kesal setelah ia berbicara.

Urgh! Ada apa sih dengan orang-orang!? Dari tadi bekerja sampai sekarang perasaan aku tiap bertanya baik-baik pasti dibalas dengan tidak enak begitu.

Karena kesal, aku memutuskan untuk pergi mencari sendiri kembali kediaman tuan... Ah siapalah itu namanya.

Mungkin salahku juga karena sampai lupa nama penguasa kota ini.

Aku berjalan terus, tapi semakin aku berjalan semakin aku berada di tempat yang asing.

Apa aku bertanya lagi ya?

Tapi bagaimana kalau jawaban yang kudapatkan malah tidak mengenakkan seperti sebelum-sebelumnya?

Sudah capek fisik, malah nambah capek hati nantinya.

Aih sudahlah, persetan dengan perasaanku. Aku ingin segera bertemu David dan ayah.

Kulihat ada tiga orang yang sedang membicarakan sesuatu, wajah mereka terlihat serius dari balik kerudung yang mereka kenakan.

Kuberanikan diriku untuk mendekati mereka.

"A... Anu... Maaf mengganggu."

Seketika mereka bertiga langsung menoleh ke arahku.

Wuah... Wajah mereka sangar sekali ternyata...

Ada satu orang yang memiliki bekas luka sayatan di wajahnya.

Satu orang brewokan.

Satunya lagi terlhat masih muda, tapi sorot matanya terlihat paling tidak mengenakkan.

Sepertinya aku bertanya ke orang yang salah.

"Ada apa?" Tanya si brewok.

"A-anu... Saya mau tanya arah..."

Badanku gemetar.

Terasa sekali aura intimidatif dari mereka bertiga.

Si-wajah-terluka memandangiku dengan saksama.

Ia melihatku dari atas sampai bawah.

"Mau ke mana kau?" Tanya si-wajah-terluka.

"A-aku... Ke-ke-ke tempat tuan..."

Aduh, kenapa aku malah berkata seperti itu...

"Kau mau ke tempat kami? Memangnya kau siapa?" Tanya si muda.

"A-anu, bukan... Maksudku..."

"ANDRE!!"

Kudengar suara yang tak asing berteriak dari jarak yang tak terlalu jauh.

Seperti yang kuduga, itu suara David.

"Kau ngapain di sini, hah? Bukannya latihan malah jalan-jalan. Aku sampai capek mencarimu!"

David segera meraih tanganku.

"Maaf, sudah mengganggu anda, tuan-tuan." Kata David pada tiga orang tadi.

"Kau mengenalnya?" Tanya si brewok.

"Ya, dia muridku. Permisi, tuan-tuan." Kata David sambil membawaku menjauh dari mereka.

 

Setelah cukup jauh, David mulai berbicara.

"Kau beruntung aku menemukanmu."

"..."

"Mereka terlihat seperti orang-orang yang berbahaya, kalau kau sampai berurusan dengan mereka, bisa-bisa nyawamu yang jadi taruhan."

"..."

"Lagian, kenapa sih kau ini malah jalan-jalan sendirian di kota? Mana sampai dekat pasar gelap lagi. Kalau ada apa-apa gimana!?"

"Hiks... hiks..."

Aku menangis.

Sungguh lega rasanya melihat David, serasa bertemu dewa penyelamat.

Kami berhenti.

 

 

David mengelus kepalaku.

"Kau nyasar?"

Aku mengangguk perlahan.

David menghela napas.

"Demi Dewa Naga Helios... Bisa-bisanya kamu nyasar. Dari kedai Pak Kirill sampai markas prajurit kan tidak jauh."

"Tapi... Tapi... Aku belum... Aku belum hafal jalannya!"

David menghela napas lagi lalu berlutut dan memandang ke wajahku.

Dia terdiam sejenak sambil memandangku.

 

"Baik, malam ini kau harus menghafalkan jalan dari markas sampai kedai Pak Kirill. Harus benar-benar hafal, kalau kau sampai nyasar lagi, kau harus ulangi sampai bisa sampai. Besok kita belum akan memulai latihan bela diri, kita akan orientasi wilayah dan melatih navigasimu, mengerti?"

Glek...

Menghafal jalan... Navigasi...

Apa yang harus dilakukan...?

"Ayo, apa jawabanmu?"

"Si...ap."

 

"Hah? Apa? Aku nggak dengar."

"Si-ap pak!" Jawabku sambil menahan tangis.

 

Kami berdua lalu berjalan ke markas prajurit Plemenita.