webnovel

Luka

"AYAAAAHHH!!!"

Aku berlari mendekati ayah yang terjatuh.

Jangan, jangan sampai ayah mati.

Kulihat ada beberapa panah menancap di badannya.

Ayah terluka parah.

Tidak, ayah tidak akan mati!

"Ayah..."

...

"... Oh... Andre ya."

Tidak, tidak.

Jangan memandangku seperti itu.

Ayah pasti kuat.

Ayahku adalah mantan ketua kelompok ini.

Ayahku bisa mengalahkan orang-orang sebanyak itu sendirian.

Ayah kuat!

"... Ayah... Ngantuk... Ndre..."

"Tidak, ayah...! Jangan tidur!"

Gawat

Ayolah, yah!

Jangan menyerah!

Ayah pasti bisa!

Ayah jangan mati!

"...Tolong... Biarkan... Ayah... Tidur..."

Nggak

Nggak mau

Ayah belum boleh tidur sekarang

AYAAAHHH!!!

Dari kejauhan kulihat Bibi Valeria berjalan mendekat sambil menggendong seseorang.

"BIBI VALERIA! TOLONG AYAH!"

Bibi Valeria dengan panik segera berlari mendekatiku.

"Coba kulihat sebentar, Ndre."

...

...

"Groookkkk.... Groookkk..."

Ayah mendengkur.

"..."

"..."

"Ayahmu cuma tidur kok, Ndre. Jangan khawatir. Lukanya banyak tapi tidak ada yang mengenai titik vital. Ayahmu juga sulit tidur kan beberapa hari ini."

Lega sekali rasanya.

Syukurlah, ayah tidak mati.

Luka-luka ayah juga tidak ada yang serius.

"Oooiii!!"

Paman Igor berlari mendekati kami.

Saat ia sampai, ia dipukul oleh Bibi Valeria.

"Dasar bodoh! Goblok! Sudah berapa kali kubilang, jangan memakai senapan itu dulu! Senapan itu memang praktis, tapi mahal! Sudah berapa peluru yang kaugunakan hah!?"

Bibi Valeria marah-marah pada Paman Igor.

Oh, jadi benda aneh yang digunakan oleh Paman Igor itu namanya senapan, lalu pipa-pipa kuning yang dimasukkan itu namanya peluru.

"Elah, gak papa kan. Toh gara-gara aku pakai senapan itu nyawa Novel juga selamat. Tadi dia dikepung 15 orang, untung saja aku bisa pakai senapan ini, jadi aku bisa membantunya."

"Aku tanya, berapa peluru yang kaugunakan!?"

Bibi Valeria masih marah. Sepertinya ia marah karena harga senapan itu mahal.

"3... 4... Sepertinya sekitar 8 peluru."

"8! 8 peluru kau bilang!?"

Bibi Valeria nampak menghitung sesuatu lalu menepuk jidatnya.

"8 peluru itu berarti 2400 Novak! Kau benar-benar ya! Kau harus membayarnya dengan uangmu!"

2400!? Muahalnya...

Untuk biaya makan kami sehari-hari di Lesnoy saja hanya menghabiskan sekitar 20 Novak per hari, itu kata ibu sih.

"Enak saja! Aku menggunakannya juga karena terdesak! Kau pikir aku bisa melindungi Andre sekaligus membantu Novel dengan pedangku!?"

Mereka berdua bertengkar.

"CUKUP! Paman Igor, Bibi Valeria!"

Mereka berdua menghentikan pertengkaran lalu menoleh ke arahku.

"Sudahlah, yang penting kita semua selamat. Aku justru ingin berterimakasih pada Paman Igor karena bisa melindungi ayah dari jauh. Dan lagi, Paman Igor juga berhasil mencegah musuh mendekati kereta kuda berkat senapan itu! Kalau dia tidak menggunakan senapan itu entah bagaimana kondisi kami sekarang..."

Aku membela Paman Igor.

Tapi benar sih, kalau saja Paman Igor tidak menggunakannya atau tidak bisa menggunakannya...

Pasti ayah benar-benar sudah mati.

Kereta kuda kami berhasil diambil.

Mungkin Paman Igor juga tidak bisa mengalahkan sebanyak itu dan mati juga.

Aku mungkin akan dibawa entah ke mana oleh prajurit-prajurit itu.

Kulihat Bibi Valeria masih geregetan.

"Hmph! Ya sudahlah! Memang benar kata Andre, tapi kau tetap harus membayar harga setengah peluru itu!"

"Lah, kok masih saja suruh bayar!? Memangnya kita membeli peluru dengan uangmu!? Kenapa kau jadi marah!?"

Alamak... Bertengkar lagi...

"Sudah, sudah! Nanti kita diskusikan saja dengan Paman Pavel!"

Mereka terdiam lagi.

"Benar kata Andre... Nanti kita harus melaporkan hal ini pada Pavel. Biar dia saja yang menentukan bagaimana selanjutnya."

"Huh..."

Wah... Berhasil...

Sepertinya mereka berdua sangat mengandalkan Paman Pavel sebagai pemimpin.

"Baiklah, sekarang kita harus mengobati Novel lebih dulu lalu melanjutkan perjalanan. Bisa kacau kalau sampai ada serangan kedua atau kita tertinggal jauh dari yang lain. Seharusnya nanti sore kita sudah sampai Sergiograd."

Paman Igor membopong ayah yang masih tak sadarkan diri ke dalam kereta kuda.

Kulihat Bibi Valeria membawa seseorang.

"Itu siapa, bi? Kenapa dibawa?"

"Oh, dia sepertinya komandan pasukan yang menyerang kita tadi. Aku akan menanyai dia kalau dia sudah siuman."

Kami lalu melanjutkan perjalanan.

Bibi Valeria merawat luka-luka ayah, sementara Paman Igor mengemudikan kereta kuda seperti tadi.

Kulhat Bibi valeria mengeluarkan sebuah botol berisi ramuan berwarna biru.

Ia mengoleskan ramuan itu ke luka-luka ayah.

Ajaib sekali, luka-luka ayah langsung menutup.

"Ramuan apa itu bi?"

"Ini? Ini ramuan penyembuh. Aku mendapatkannya dari pedagang yang kami serang beberapa bulan yang lalu. Entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi karena hanya sedikit, aku harus benar-benar menghematnya."

Mendengar penjelasan Bibi Valeria, aku menjadi marah.

Jadi kalian punya ramuan ajaib seperti ini!?

Kenapa ibu tidak diobati menggunakan ini!?

Kenapa ibu harus mati!?

Padahal kalian punya ramuan ini!

"... Kenapa..."

"Hmm...? Kenapa apanya Andre? Kau tidak apa-apa?"

Tanpa sadar aku meraih leher Bibi Valeria.

"Ohok! Apa-apaan kamu Andre!"

Bibi Valeria dengan cepat melemparku hingga terhempas ke dinding kereta kuda.

Untuk sejenak, kereta kuda sedikit oleng.

"Ah! Kalian ini apa-apaan!"

Paman Igor berseru dari depan.

"... Kenapa... KENAPA IBU TIDAK DISEMBUHKAN DENGAN ITU!?"

Semuanya terdiam.

"...Padahal... Padahal... Ibu bisa... KENAPA KALIAN TIDAK MAU MENYEMBUHKANNYA!?"

"Andre, tenanglah..."

"KALIAN PUNYA RAMUAN AJAIB SEPERTI ITU, TAPI KENAPA!? KENAPA IBU HARUS MATI!?"

Aku kehilangan kontrol atas kata-kataku.

Aku marah sekali.

Apa karena ibu hanya orang biasa, jadi tidak perlu disembuhkan menggunakan itu?

Apa menurut kalian hanya orang-orang yang berguna bagi kalian yang pantas disembuhkan?

Ah iya, aku lupa.

Kalian ini kan perampok.

Mana ada perampok yang mementingkan nyawa orang biasa?

"KALIAN PASTI MENGINGINKAN IBU MATI, KAN! BAGI KALIAN IBU YANG TIDAK BISA BERTARUNG HANYA BEBAN KAN!"

PLAK...!

Bibi Valeria menamparku dengan keras.

"Andre... Cukup..."

Bibi Valeria gemetar...

Ia nampak marah, tapi ekspresinya sedih...

"Kalau saat itu... Aku bisa lebih cepat..."