webnovel

Kisah dari Seberang Lautan (2)

Setelah dua hari kami melakukan perjalanan, kami pun sampai di tempat yang kami tuju.

Arcto...

Setidaknya yang tersisa darinya.

Berita itu benar.

Arcto sudah hancur.

Yang tersisa darinya hanyalah puing-puing bangunan tercecer di mana-mana.

Kulihat pula beberapa orang berlalu-lalang di situ.

Kondisi yang sangat memprihatinkan.

Orang-orang ini kehilangan rumah, harta benda dan sanak saudaranya.

"Pakaian itu... kalian dari militer?"

Seseorang menyapa kami dari belakang.

Kami menoleh.

Bajunya seperti seragam militer, tapi tidak dengan kelengkapan lainnya.

Ia memakai topi fedora berwarna hitam.

"Siapa kau...?" Tanyaku pada orang itu.

"Ah, maaf. Namaku Alvaros. Aku di sini ingin melihat kota ini. Tapi sepertinya berita yang beredar itu memang benar. Di sini tinggal puing-puing."

Orang itu terlihat muram saat mengatakannya.

"Kau tidak apa-apa?" Kali ini Owen yang bertanya padanya.

"Oh, nggak papa kok, mungkin hanya lelah karena perjalanan jauh. Oh iya, kalian ini prajurit kan? Apa kamp kalian ada di sekitar sini? Dari tadi aku tidak melihat kamp militer di manapun."

"Tidak, kamp kami jaraknya sekitar 2 hari dari sini."

Mendengar jawabanku, ia terbelalak.

"2 hari!? Lalu kalian ngapain ada di sini? Memangnya sekarang patroli dilakukan sampai sejauh itu ya?"

"... Aku ingin memastikan keadaan keluargaku."

Apa orang ini tahu sesuatu?

Dia tampak seperti prajurit tapi tidak mengenakan perlengkapan seperti armor dan senjata.

Siapa dia ini?

"Ah... Keluargamu tinggal di kota ini?" Ia bertanya padaku.

Aku mengangguk pelan.

"... Maafkan aku..."

Kenapa ia meminta maaf?

Memangnya dia ini siapa sih?

Kami sama sekali tidak pernah bertemu sebelumnya.

Lalu untuk apa ia meminta maaf?

"Karena akulah kota ini menjadi seperti ini."

Maksudnya?

Aku tidak paham.

"Apa maksudmu?"

Alvaros menghela napas berat.

Ia nampak menyesal.

Tapi apa yang diperbuatnya?

"Jadi begini..."

Alvaros menceritakan semua yang ia lalui.

Semua yang ia lakukan.

Semua yang terjadi mengapa kota ini bisa jatuh.

Yang paling membuatku terkejut adalah...

Dia ini adalah orang yang berhasil mengakhiri perang.

Orang Dragnite yang berhasil menemukan artefak Ceres yang hilang.

Ia juga menceritakan mengenai artefak itu.

Owen terdengar lega setelah tahu bahwa artefak itu benar-benar tidak dicuri oleh Dragnite.

"Jadi begitulah ceritanya."

Tadinya, aku ingin menghajar orang ini karena dialah penyebab Arcto jatuh.

Apalagi saat itu dia malah memadu rasa dengan seorang wanita.

Tapi, setelah mendengar cerita lengkapnya, aku bisa memahaminya dan tak bisa menyalahkannya.

"... Baiklah. Terima kasih sudah mau berbagi kisah dengan kami. Sekarang aku harus pergi untuk mencari keluargaku... Setidaknya yang tersisa dari mereka."

"Biarkan aku membantumu."

"Terima kasih."

 

Kami bertiga lalu pergi menuju reruntuhan rumahku.

Semuanya runtuh dan rata dengan tanah.

Aku sampai sulit mengenali jalanan kota ini.

Berkali-kali kami salah tempat.

Namun akhirnya aku bisa mengenali rumahku.

 

Di hadapan kami...

Sebuah puing-puing rumah yang tak terlalu besar.

Terbayangkan olehku pemandangan saat rumah ini masih berdiri.

Aku berjalan masuk.

Ah... Dulu ini ruang makan...

Kulihat bayang-bayang Elena dan Arthur duduk bertiga bersamaku di ruangan ini.

Kulangkahkan kaki lagi.

Ah... Ini...

Kutemukan seonggok pedang kayu yang patah.

Arthur suka sekali dengan pedang kayu ini...

"Apa ini?"

Owen menemukan sesuatu.

Sebuah pita berwarna merah.

Ini milik Elena...

Ia selalu mengikat rambutnya saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Air mataku menetes...

"Elena... Arthur..."

Owen menepuk pundakku.

"Kami akan mencari informasi dari penduduk sekitar. Kau di sini dulu saja."

"Tunggu, aku ikut."

Owen menggeleng.

"Tenanglah. Akan kuberitahu kalau kami menemukan sesuatu. Kau di sini saja."

Sepertinya Owen berniat meninggalkanku sendiri untuk menenangkan diriku di sini.

Di rumah ini...

Tidak...

Di puing-puing kediaman keluargaku...

Aku mengangguk pelan.

Owen dan Alvaros meninggalkanku sendirian.

 

Ya ampun...

Semuanya benar-benar jadi berantakan...

Semua rencanaku...

Semua angan-angan kita berdua...

Ah...

"Kau... Kau ini Nak David kan?"

Mendengar namaku dipanggil, aku langsung menoleh.

Seorang wanita tua.

Dia sepertinya mengenaliku.

Tapi siapa...?

"Ya... Saya David. Apa nenek mengenal saya?"

Wanita tua itu terlihat senang begitu aku memastikan diriku.

"Syukurlah kau selamat... Istrimu sangat khawatir padamu... Berulangkali dia kemari kalau-kalau kau pulang."

Istriku... Khawatir... Berulangkali kemari...?

"Nek...! Apa kau tahu mengenai istri dan anakku!?"

 

"Tenang... Mereka aman bersama para penduduk lainnya. Ada sebuah kamp pengungsian di pinggiran kota. Mereka ada di sana."

Mereka selamat...

Mereka selamat...!

Syukurlah...

Dewa Naga... Terima kasih...

"Terima kasih nek!"

Aku langsung berlari dari rumahku.

Pinggiran kota...?

Pinggiran yang sebelah mana?

Ah kuputari saja kota ini.

Mereka masih hidup.

Keluargaku masih hidup!

Akhirnya aku sampai di sebuah tempat.

Banyak sekali penduduk di sini.

"ELENAAA!!! ARTHURRR!!!"

Aku berteriak memanggil mereka.

Orang-orang pada melihatku.

Aku tak peduli kalaupun aku dianggap gila.

Aku harus bertemu dengan mereka.

"ELENAAAA!!! ARTHUUURR!!!"

Tidak ada seorangpun yang menjawab seruanku.

"Hei bung. Kau mencari siapa?"

Seseorang menepuk pundakku.

"Jangan berteriak-teriak begitu. Suaramu mengganggu mereka yang sedang beristirahat."

"Maaf... Aku mencari istri dan anakku. Mereka penduduk sini. Namanya Elena dan Arthur. Apa kau mengenal mereka?"

 

"Istri dan anak...? Apa mungkin mereka ada di tenda anak-anak? Kudengar ada tenda khusus untuk anak-anak agar mereka bisa bermain bersama."

"Tenda anak-anak? Di mana itu?"

"Ada di tengah kota. Kau tahu bangunan balai kota? Ada tenda besar di situ, sebelahnya ada tenda anak-anak."

"Terima kasih."

Balai kota... Kalau tidak salah...

Duk!

"Aduh...!"

Aku menabrak seseorang.

Rambut itu...

Postur itu...

"Aduduh... Kalau jalan lihat-lihat dong..."

Suara itu...

Wajah itu...

"Elena!"

Aku memeluknya dengan erat.

"Adududuh... Sesak...!"

Oh maaf.

Kulepaskan pelukanku.

"Kau... David...?"

"... Aku pulang, Elena."

Kupeluk lagi dirinya.

Kutumpahkan seluruh air mataku.

Aku tak percaya...

Setelah sekian tahun...

Akhirnya aku bisa dipertemukan kembali dengannya...

"Anu... David..."

"Ya...?"

 

"Kalau kau mencari kakak, dia masih di tenda anak, menemani Arthur."

 

Ah...

Kuperhatikan lagi wajahnya.

Mirip sekali tapi ada perbedaan sedikit.

"... Ellen?"

Istriku punya saudara kembar, namanya Ellen.

Yang dihadapanku sekarang ini adalah adik kembarnya.

Dengan malu kulepaskan pelukanku.

 

"E... Ekhem... Maaf... Kupikir kau kakakmu. Wajah kalian sangat mirip."

Ellen tersenyum mendengar perkataanku.

"Ayo kuantar kau ke tempat mereka."

 

Kami berdua lalu pergi ke tenda anak.

"Kau tunggu di luar saja. Akan kupanggilkan kakak."

Aku menurut.

"Kaak, sini deh. Aku mau menunjukkan sesuatu."

"Kenapa? Apa lagi yang kau temukan?"

 

"Sudahlah, kakak pasti senang melihatnya. Ayo!"

"Apa sih yang membuatmu bersemangat begitu?"

 

Ellen dan Elena keluar dari tenda.

"Taa...daaa...!!"

Ellen dengan semangat menunjukkanku pada Elena.

"D... David...? Benar itu kau...?"

"Aku pulang... Elena..."

Kami berdua berpelukan.

Kami saling menumpahkan air mata.

Kerinduan yang tak sanggup diungkapkan dengan kata-kata.

Kebahagiaan, kelegaan dan kehangatan bercampur jadi satu.

Tumpah bersama air mata kami.

"Selamat datang kembali... David..."

 

 

Sayangnya...

Itu tidak berlangsung lama.