1 Pojokan kasur

Masih kuingat dipojokan kasur itu aku menangis ingin ikut bersama kakak perempuanku ke Kota Bogor, karena aku tidak ingin berpisah dengannya. Hanya dia yang selalu kusayangi lebih dari ibuku sendiri. Aku dimanjakannya dan dipedulikan dari aku kecil dijaga saat kakakku yang lainnya belajar di pesantren saja dan selepas di pesantren 2 kakak perempuanku di nikahkan dan merantau disebrang pulau.

Untuk 2 kakak laki-laki menikahi anak ustadz dan meneruskan pesantren di daerah masing-masing. Kini yang tertinggal aku dan kakak perempuanku dirumah yaitu kak Dewi.

Ibuku adalah pahlawanku. Meski anaknya banyak tapi ia selalu berdiri dikaki sendiri dengan semangat yang tinggi dalam mencukupi kebutuhan rumah tanpa mengemis ataupun meminta belas kasihan kepada orang lain.

Kak Dewi adalah anak dari bunda Laila. 4 bulan setelah kepergian ibunda Laila ke hadapan Tuhan maka Kak Dewi ini selalu di urusi oleh ibuku. Karena keseharian mengurusi anak seorang duda maka menikahlah ibu dan ayah Kak Dewi. 1 tahun setelahnya lahirlah aku bernama Marya adik kandung kak Dewi, Satu darah seayah dan beda ibu. Aku sibungsu.

Saat aku berumur 2 tahun ayah kami meninggal karena sakit.

Lalu ibuku membuka warung kecil-kecilan, hanya menjajakan makanan ringan ataupun air kopi asli turun temurun dari nenek moyang kami yang sangat khas wangi dan rasanya terkenal seantoro negeri sehingga tersebutlah kampung kopi oleh orang-orang disekitar. Warung ini selalu dibuka setiap sore selepas Ashar sampai malam sekitar jam 21.00 wib. Banyak yang mampir ke warung kecil kami karena ada kak Dewi yang menemani ibu kami di warung. Kak Dewi gadis polos yang sangat disukai oleh siapapun karena sikapnya yang supel, ramah dan gampang akrab dengan siapa pun.

Dikota Bogor kak Dewi membangun kehidupan baru, pernikahan sederhana yang bahagia. Dua sejoli yang saling mencintai terlihat bahagia dikursi pelaminan sambil memamerkan cincin permata berwarna hijau zambrud yang jarang orang lain memilikinya. Permata ini tentu sangat besar seperti cincin para putri ataupun ratu dari pangeran disebuah kerajaan. Banyak yang mengiri saat melihat cincin itu. Cincin itu sangat cocok dan pas sekali di jari manis kak Dewi. Foto itu terbingkai pada foto box di dinding kamarnya, dengan senyum yang sangat menawan. Aku yang melihatnya pun bisa ikut tersenyum bahagia.

Alif menikahi kakakku karena parasnya yang cantik dan tutur kata yang lembut yang tak bosan-bosan melihat dan mendengar celotehan suaranya yang selalu menentramkan hati tanpa menyakiti perasaan orang lain, meski sindiran pedas dari teman sebayanya sangat menggelitik hati. Ternyata kak Dewi baik hatinya dan tubuhnya yang semampai bagaikan model FTV. Tinggi badannya semampai itu seakan seperti tiang listrik. Banyak yang menyukai bila mengenakan baju apapun selalu pas dan bagus dipandang.

Pujian demi pujian selalu menghampirinya. Meski memakai baju jelek nan nenek-nenek pergi kesawahpun akan tetap menawan jika dikenakan oleh kak Dewi ini, hingga meskipun diladang ataupun di sawah ibuku akan tetap cantik dengan jentik-jentik keringat di tengah dahinya. Banyak tetangga yang menyayangkan jika gadisnya hanya bekerja diladang bersama ibuku. menanam ataupun memanen padi, mengambil rumput ataupun kayu. memberi makan hewan ternak dan menjaga warung kopi di depan jalan rumah kami.

Tetapi jika kak Dewi ini tak pernah menghiraukan omongan orang lain, yang ia niatkan hanya membantu orang tua saja. Meringankan beban orang tua. Sebagai anak hanya ingin menunjukkan bakti semampunya. Sungguh ceria dan tanpa mengeluh, karena dulu ia tidak bisa menunjukkan bakti terhadap ibu dan ayahnya sendiri dikala masih hidup.

Banyak pria yang meminta tangannya kepada ibuku, begitulah mereka menyebutnya kembang desa. Kembang yang mekar pada waktunya. Namun dari sekian pria itu hanya kak Alif yang bisa meluluhkan hati gadis desa itu.

Kak Arif seorang anak muda yang terbilang tajir di kota Bandung. Anak dari seorang pembisnis tanah air. Setelah sekian bulan mendekati kak Dewi akhirnya ia dan keluarganya datang kerumah kami untuk lamaran sekaligus memberlangsungkan pernikahan untuk keluarga, persiapan segala macamnya sudah di persiapkan oleh keluarga laki-laki.

Setelah pernikahan itu, malam harinya beberapa jam setelah sah menjadi suami istri maka diboyonglah ke perumahan di Kota hujan, dikomplek pegawai negeri, malam itu meninggalkan ibu dan keluarga dikampung Serang-Banten. Aku Marya anak bungsu langsung mengunci pintu dan menangis dipojokan kasur, menangis tak sudi jika harus jauh dari kakak tercinta.

Meski berat dan sangat melanggar norma desa yang notabennya masih berlangsung suka cita bahagia 7 hari tujuh malam masa itu ternyata pengantin sudah pergi meninggalkan keluarga yakni ibu tercinta. Ibupun mengerti bahwa kini ia hanya bisa melepaskannya bersama imam kehidupannya. Bahwa istri harus patuh kepada suaminya. Istri bakti untuk sang suami. Akhirnya cium tangan perpisahan ibu meridhai langkah kaki kakakku ini.

Saat terbangun aku melihat pipi putih itu didepan hidungku, seakan aku bermimpi. kusentuh hidung mancung itu dingdong .. kakakku terbangun. Akupun kaget.

"Merhaba Marya"

"selamat pagi cantik."

"Selamat pagi juga kak, lho ka Dewi kok tidur sama Mary?"

"Iya kakak tak ingin meninggalkan Mary dipojokkan kasur tersedu-sedu." sambil pengusap rambutku.

"Malam pertama kok jauh dari suami tercinta?" godaku kepada kak Dewi

"Kebetulan lagi PMS, jadi yang diboyong ketempat tidur adalah adikku tercinta untuk tidur dengan kakaknya yang cantik". pihaknya membela

"Biarlah kak Arif yang tidur dipojokan kasur kali ini." kuperhatikan tunjukan jari telunjuk ke samping kanan kasur dekat jendela.

aku pun menahan senyum sambil menutupi tangan kiriku kemulutku. melongo atas jawaban kak Dewi.

Kuperhatikan Ka Arif tersedu-sedu menahan tangis dipojokkan kamar itu, kuselimuti dengan selimut rainbow favorit kak Dewi, ku usap-usap punggungnya untu menenangkan dan kututup pintu rapat-rapat. kini ia tidur tanpa Ka Dewi.

Malam yang menyayat hati, rembesan air mata ini belum terhenti. Air mata kesedihan saat harus kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya. Memang sakit ka Dewi sudah bertahun-tahun tapi diagnosa dokter tanpa penyakit alias sehat. Sakit batin yang dipermainkan oleh orang-orang magic untuk menyakiti hati dan kehidupan.

Bila teringat pojokan kasur aku pun merasakan momen dimana Kak Dewi menangis sejadi-jadinya saat melihat foto dan video suaminya tengah berselingkuh dengan sekretaris kantornya.

Sepi, hanya terdengar isak tangis bertanda pipi ini selalu basah oleh air mata dan tempat untuk instropeksi diri dari kesalahan setelah bertengkar hebat adu mulut saat menuai masalah sambil mengelus kasur dan duduk dipojokan kasur.

Kini pojokan kasur menjadi saksi bisu semua kenangan suka dan duka pernikahan kehidupan kak Dewi dengan kak Alif.

Beribu-ribu kenangan tanpa henti mengeluskan dada ini semoga engkau tenang nan bahagia di alam sana.

avataravatar