1 Malam yang menjadi awal

Malam itu hujan mengguyur deras kota Bandung. Karina mencoba berjalan secepat mungkin, tapi tentu itu tak cukup untuk mencegah bajunya basah kuyup. Halte bis terdekat dari kantor publishing tempat dia bekerja berjarak sekitar 15 meter dan rintik langit itu semakin deras jatuh ketika dia berada diluar kantor.

Hanya ada dia sendiri di halte bus itu. Sesekali cipratan air dari genangan yang diterobos beberapa kendaraan mengenainya. Kaki jenjangnya kini dihiasi sedikit pasir.

Tiga puluh menit berlalu dan tidak ada tanda - tanda akan ada bus yang berhenti. Memesan taksi online juga tidak bisa dia lakukan. Daya ponselnya sudah mati sejak jam makan siang dan dia lupa membawa charger. Si introvet Karin yang malang, wajah nya yang terlihat dingin dengan mata tajam itu seolah menatap lawan bicaranya dengan sinis. Tiga bulan bekerja dan dia belum mendapatkan satu teman pun.

Netra hitamnya memperhatikan mobil hitam yang semakin melambatkan lajunya. Dan benar saja, sebuah Porsche Cayenne terparkir tepat beberapa meter didepannya, diam hingga beberapa menit selanjutnya. Karina tidak terlalu mempermasalahkan, mungkin hanya sekedar parkir untuk menelpon atau hal mendesak.

Namun semua menjadi berbeda ketika seorang pria paruh baya keluar dari mobol tanpa payung. Berjalan tergesa menuju gadis 24 tahun itu.

Jarak yang tak cukup jauh itu memang tidak membuatnya basah sepenuhnya, tapi jelas air air mulai menetes dari rambut yang mulai menua.

"Maaf, siapa ya ?" tanya Karina. Bukan terlalu percaya diri jika dia yang dicari, tapi jelas hanya dia yang ada disini. Tidak mungkin kan seorang pria turun dari mobil mewah dan ikut berteduh di halte ini setelah parkir beberapa saat ?

"Siapa namamu nak ?" mata pria itu turun pada lengan kanan Karina. Kemeja putih yang basah itu mempermudah akses untuk melihat apa yang ditutupinya. Sebuah tato berbentuk kupu - kupu terbentuk sempurna.

Belum sempat Karina menjawab pria itu kembali menyela, kali ini diikuti sebuah pelukan erat. "Dari jauh kau terlihat mirip dengan ibumu dan aku berhenti untuk memastikan. Lihatlah ! Kalian benar benar seperti seperti pinang yang dibelah dua. Tanpa melihat tanda kupu - kupu itu aku bahkan bisa menebak jika itu kau, sayang." Karina tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Dua puluh empat tahun hidupnya dihabiskan dalam sebuah keluarga miskin di pinggir kota tanpa mengetahui siapa orang tuanya. Lagipula dia tidak peduli. Dia sudah dibuang, tidak diinginkan. Apa lagi yang harus dicari tahu ?

Dan pria ini menyebut nyebut tentang sosok ibu yang 'katanya' sangat mirip dengannya. Haruskah dia percaya ?

"Apa kau tidak senang bertemu dengan kakek, sayang ?"

"Bukan seperti itu. Aku senang, baiklah kalau begitu sepertinya aku harus pulang." Karina tidak tahan. Lebih baik pulang dengan berjalan kaki, toh dia juga sudah basah kuyup kan.

"Mau kemana kau ? Apa tidak ingin pulang bersama kakek ? Lihat lah kau sangat basah, ayo kita masuk kedalam mobil sebelum bertambah dingin." saat lengan itu ingin menggiring langkah sosok gadis yang diakuinya sebagai cucu, langkahnya terhenti.

Karina melepaskan tautan tangan mereka. "Maaf kita orang asing. Aku tidak bisa ikut dengan sembarang orang." ujarnya.

Kakek itu tersenyum pahit, "Surya Mahendra. Kau pasti mengenali namaku. Jika terjadi sesuatu kau bisa menelpon dan pergi melapor pada polisi, jadi ayo kita pergi. Kau bisa sakit jika begini terus." dia memberi kode pada siapapun didalam mobil, seorang laki - laki dengan seragam berwarna hitam keluar dengan payung ditangannya.

Karina pasrah. Dia menuruti keinginan dari Surya Mahendra.

Siapa yang tidak mengenalinya ? Diusianya yang semakin tua, perusahaannya semakin berkembang tanpa adanya pewaris sah sama sekali. Kecelakaan dua puluh dua tahun lalu berhasil merenggut nyawa anak tunggal beserta keluarganya. Hanya jasad sang anak perempuan dan menantunya, cucu perempuannya yang kala itu berumur dua tahun tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan terlempar jauh kedalam jurang.

Tiga tahun pencarian tanpa hasil, Surya menyerah. Pemilik perusahaan SM ENTERTAIMENT itu hanya bisa berdoa jika cucunya masih hidup.

Dan lihatlah. Dimalam dengan tanggal yang sama saat kecelakaan itu terjadi, cucunya yang hilang kembali.

Keluarga yang selama ini merawat Karina hanya berisi tujuh orang anak dan seorang ibu tanpa sosok 'ayah' dengan lima laki - laki dan dua anak perempuan. Setelah bunda meninggal di tahun ketiga Karina ada disana, rumah kayu sederhana itu diambil alih oleh sang adik. Berbeda dengan bunda Ayu yang merawat mereka semua dengan kasih sayang, adiknya, mama Riska dan sang suami memanfaatkan semua yang ada disana semau mereka.

Termasuk tujuh orang anak yang ditinggalkan. Setelah pulang sekolah mereka harus berjualan koran dilampu merah, mencuci pakaian - pakaian laundri, hingga pekerjaan pekerjaan rumah seperti memasak dan menyapu. Usia lima tahun Karina memasak untuk semua orang di rumah itu.

Para anak laki - laki bekerja di sana - sini agar sang adik tidak perlu bekerja lebih keras dan dimarahi oleh mama Riska. Hingga di tahun terakhir sekolah dasar Karina mendapatkan beasiswa disalah satu sekolah swasta. Awalnya karina tidak setuju, apalagi ketika mereka masih harus membayar 25% dari uang sekolah. Jumlah yang tidak sedikit untuk mereka, tentu saja.

Namun kak Leo, sebagai yang tertua dari mereka memasukkan nama Karina secara diam - diam. Mereka tersenyum bangga ketika melihat Karina memakai seragam barunya di pagi hari. Dari sana tekad untuk memberi yang terbaik tertanam kuat.

Sayangnya, hanya Karina yang berhasil sekolah hingga SMA, itupun karena beasiswa full yang didapatkannya di SMA swasta sebagai peraih nilai Ujian Nasional tertinggi. Adela, sebagai si bungsu harus putus sekolah di tahun keduanya di SMP karena sakit, para anak laki - laki berhenti dan bekerja paruh waktu disebuah perusahaan minuman botol berkat koneksi dari salah satu orang tua murid disekolah.

Rasanya, puncak tahun itu seperti neraka. Karina yang harus fokus pada ujian nya, anak laki - laki yang terus bekerja seharian, dan sang adik yang sakit. Sebagai satu satunya yang mampu melanjutkan pendidikan, Karina merasa seperti penghianat. Apalagi ketika melihat binar redup milik Adel setiap pagi. Kemeja putih dengan jaz merah itu bukan lagi menjadi kebanggaan Karina.

Fakta jika dia juga tidak diperbolehkan untuk bekerja pun semakin membuat Karina bimbang.

"Jangan khawatir, ada kak Leo sama kakak - kakak yang lain. Tugas kamu sekarang adalah belajar, nanti setelah kamu lulus kuliah dan sukses kamu baru boleh bantu kerja."

"Karina nggak mau kuliah. Setelah lulus SMA Karina akan kerja, kak Leo Karina gak suka kalo cuman Karina yang bahagia."

Percakapan malam itu masih terekam dibenaknya. Karina yang tidak tidur menunggu sang kakak pulang diruang tengah duduk dengan gelisah. Lengan kokoh dengan banyak luka itu memeluknya lembut, memberi kehangatan selama tahun - tahun melelahkan.

Leo menggeleng, mengusap sayang rambut sang adik, "Kamu pikir kakak - kakak yang lain nggak bahagia pas lihat kamu lulus ? Kamu berdiri dengan piala didepan pintu masuk itu termasuk bahagia kami. Harusnya kakak yang bertanya, kapan kamu benar - benar bahagia ? Bertahun tahun kakak kenal kamu, kakak yang lihat kamu tumbuh sampai secantik ini. Dan lihat, sebentar lagi kamu lulus dan akan menjadi kebanggaan kita semua. Bahagialah Karina, bahagia untuk dirimu sendiri."

Karina terisak. Semakin kencang dalam dekapan yang lebih tua. Kakaknya benar. Dia terlalu sibuk untuk mendapatkan nilai sempurna, mendapat beasiswa yang dapat meringankan beban semua orang, sibuk membuat prestasi yang dapat mempermudahkan nya mendapat pekerjaan, memikirkan kebahagiaan semua orang sampai lupa jika selama ini dia belum bahagia.

Kapan terakhir kali Karina tidur lelap tanpa cemas akan apa yang terjadi esok hari ?

avataravatar
Next chapter