1 Pencarian Sebuah Kebenaran

Suasana di dalam mobil seketika hening dan mengundang perasaan serba salah di antara keduanya. Delmar tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi permintaan itu. Meskipun ia pasti mengabulkannya, membawa seseorang ke rumah sakit untuk cek kehamilan akan menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi Catalina belum menjadi istrinya.

Catalina mengerti jika Delmar tidak segera menjawab permintaannya secara tegas. Walau bukan hal yang sulit, ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung Delmar jika ia benar-benar melakukannya.

Catalina tidak sabar menunggu. Hingga akhirnya ia memecah keheningan ini. "Tapi kalau kau tidak mau, aku hanya-"

"Aku akan bantu," potong Delmar sebelum Catalina sampai di akhir kalimatnya. "Tapi kalau boleh … aku juga ingin meminta satu hal padamu." Delmar mengajukan syarat balasan.

"Apa itu?" Mata bulat Catalina menyambar tatapan Delmar.

Delmar sedikit tidak yakin untuk mengatakan syarat ini. Namun, hatinya sangat ingin berkata kalau dirinya menginginkan Catalina sebagai seorang yang spesial di hidupnya. Sayang sekali, keberanian itu tak kunjung muncul.

"Aku bercanda." Delmar tersenyum kecil. Ia lantas mengeluarkan ponselnya.

"Abdi, tolong amankan akses menuju rumah sakit Hasan Sadikin. Iya, sekarang. Em, ke dokter bagian ibu dan anak. Tolong ya, Abdi. Waalaikumsalam."

"Kau minta tolong Abdi lagi?" tanya Catalina sedikit tersenyum.

"Iya. Dia memang asistenku di segala urusan," jawab Delmar seraya membelokkan mobilnya ke arah jalan Cipaganti.

"Lama-lama kau akan jadi anak manja yang tidak bisa apa-apa, lho." Catalina menakut-nakuti Delmar dengan sebuah candaan klasik ala-ala anak TK.

"Untungnya Abdi sangat menyayangi anak kecil dan tidak pernah berani menyakitinya," sahut Delmar membalas candaannya.

Catalina tertawa mendengar fakta mengejutkan tersebut. Ia baru tahu kalau Abdi ternyata sangat menyukai anak kecil.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka berbincang dengan sangat akrabnya. Keduanya memiliki selera humor yang sama. Mulai dari membicarakan novel-novel bergenre komedi terbaru, sampai isu terpanas yang sedang menguasai beberapa platform berita di negeri ini.

Hingga sampailah keduanya pada persoalan pribadi Catalina. Ia berani menanyakan dari mana perempuan itu berasal. Juga bagaimana semua ini bisa terjadi menimpanya.

"Baiklah. Sesuai dengan apa yang dikatakan Dira, aku akan berbagi. Tapi … maaf jika aku malah berbagi hal-hal menyedihkan padamu." Catalina berwajah sendu ketika mengatakan kalimat pembuka dari jawabannya itu.

Delmar menghela napas berat. Ia siap mendengarkan semuanya. Meski ia tahu semuanya tidak akan berjalan ringan, Delmar sudah memantapkan hatinya untuk menerima semua kenyataan yang dialami Catalina dengan lapang dada dan menghindari penghakiman dari benaknya.

Tidak ada satu orang pun ingin dihakimi dari sebuah masalah berat yang menimpanya. Termasuk Catalina. Ia selalu menghidari curhat sembarangan akan semua kisahnya karena tidak mau membuat orang-orang malah menyalahkannya. Ya, begitulah kehidupan di negeri ini. Sering terjadi, seorang korban dari kasus kejahatan malah disalahkan hanya karena satu kelengahan.

"Aku … seorang mahasiswi Seni Musik yang merantau dari kampung di pelosok Jawa Tengah. Maaf kalau aku tidak mau menyebutkan nama kampus dan kampungku. Singkat cerita, untuk memenuhi kebutuhanku selama kuliah di Bandung, kami membentuk sebuah band indie dan berkali-kali manggung di beberapa tempat. Alhamdulillah, penghasilan itu cukup untuk kami menjalani masa kuliah dan biaya sehari-hari.

"Aku, Catalina, bertindak sebagai vokalis. Satu-satunya personel wanita di band itu. Awalnya aku merasa nyaman bekerja sama dengan keempat teman laki-lakiku itu. Terlebih, Kami memang satu kelas selama tiga tahun ini. Bisa dibilang kami sudah saling mengerti satu sama lain.

"Namun rupanya aku salah besar. Aku tidak memahami mereka. Ada satu hal yang aku lupakan bahwa lelaki tetaplah lelaki. Mereka memiliki nafsu yang sewaktu-waktu tak bisa ditahan. Apalagi keempat temanku itu memang sangat jauh dari iman dan agama. Hingga hari itu, mereka berempat bersekongkol untuk menikmati tubuhku."

Deraian air mata membasahi pipi Catalina yang tampak putih berseri. Dia tidak bisa menahan lelehan kesedihannya itu lebih lama lagi. Semakin ia katakan semua yang terjadi, semakin jelaslah bayangan-bayangan berengsek itu di kepalanya. Ingin rasanya ia berontak, namun tidak bisa. Studio band memang dirancang untuk kedap suara. Tidak mungkin ada yang mampu menyelamatkannya.

Delmar menangis mendengar kisah itu. Ia menyesal karena datang terlambat. Andai dia ada di sana sebelum semuanya terjadi, tak akan ada Catalina yang malang hari ini. Dan dia bisa menjalani hari-harinya dengan penuh kegembiraan bersama teman-teman sebayanya seperti perempuan lain di luar sana.

Keheningan suasana mobil ini kalah oleh isak tangis keduanya. Delmar sangat bersedih membayangkan bagaimana masa depan Catalina selanjutnya. Ia tidak mungkin melanjutkan studinya karena tidak tahan bertemu keempat teman sialannya.

Akan tetapi, jauh-jauh perantauannya ke Bandung akan sia-sia jika Catalina tidak mau melanjutkannya. Tiba-tiba timbullah perasaan ingin melindungi Catalina di hati Delmar. Ia ingin menjadi tempat bersandar bagi perempuan malang ini. Tidak peduli apa pun yang akan terjadi.

"Kuharap kau menemukan jalan yang baru. Sampai hari itu tiba, aku akan selalu menemanimu. Pegang janjiku, Lina."

***

Abdi berada di luar ruangan menemani majikannya menunggu hasil tes Catalina. Sambil menunggu, mereka berdua terlibat banyak topik pembicaraan yang menarik. Mulai dari progres proyek pembangunan jalur kereta cepat, sampai bagaimana semua pertemuan bersama para klien diwakilinya seharian ini.

"Aku ada satu tugas lagi untukmu, Abdi. Kau mau membantuku?" tanya Delmar sedikit berbisik.

Abdi mengangguk yakin. "Tentu, Pak. Akan saya lakukan."

"Tolong cari keempat pelaku yang telah berlaku keji pada Catalina. Ambil rekaman CCTV-nya di ruangan Farel. Jika kau yang memintanya, dia pasti akan mengerti meski aku tidak mengabarinya terlebih dahulu."

Abdi mengerti. Anggukannya bermakna sebuah keyakinan bahwa ia bisa menyelesaikan masalah ini. Tentu, semua itu untuk memenuhi keinginan sang majikan, Delmar.

"Tapi, Pak. Apa perlu kita melibatkan polisi?" Abdi mengajukan sebuah ide klasik.

"Jangan. Aku takut kasus ini akan mencuat ke publik jika meminta bantuan polisi. Kita selesaikan saja semuanya sendirian. Maksudku, tanpa melibatkan pihak lain. Jangan sampai Catalina merasa malu atas apa yang telah menimpanya."

"Baik, Pak."

Tidak berselang lama, Catalina muncul dari balik pintu ruangan pemeriksaan. Catalina berwajah muram. Sebuah gurat kesedihan tergambar jelas di wajahnya meski tidak dibarengi lelehan air mata.

"Duduk, Lina. Aku akan mendengarkan semua hasil pemeriksaannya."

Delmar menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Dengan satu kedipan mata, ia memita Abdi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak sulit untuk membuat Abdi mengerti akan bahasa isyarat yang ia layangkan. Semacam sudah ada kemistri yang erat di antara keduanya. Mereka selalu kompak dan saling memahami.

Catalina duduk tepat di sebelah kanan Delmar. Tangan kanannya menyingkap poni panjang yang menghalangi bola mata indahnya. Amat menawan gerakan sederhana itu. Sampai-sampai Delmar sendiri terhipnotis oleh pemandangan di sebelahnya.

"Kata dokter, aku …."

*****

avataravatar