webnovel

Ide Gila Kiara

Lusi kembali duduk menghadap leptop. Ia pura-pura mengerjakan tugas seperti yang dilakukannya tadi. meski hatinya berdebar sebab amarah tengah menguasai dirinya, ia berusaha setenang mungkin.

"Lus?" Rania yang baru saja masuk ke kontrakan seketika menyapa. "Kamu tadi ke rumah Bang Juan?" tanyanya langsung dan tanpa basa-basi.

"Gue? Nggak! Dari tadi gue di sini, kok. Kenapa emang?" tanya Lusi, seraya mendongak melihat teman satu kontrakannya itu. ia menatap heran, meski hatinya panas menahan geram.

"Beneran nggak? Mbak Kiara liat kamu masuk dan banting pintu lho. Kenapa? Ada apa?" Rania pun duduk bersila di samping temannya itu. menatap tajam dan bahkan menyelidik, sebab tahu kalau temannya itu sedang berbohong.

Lusi pun seketika menutup leptop yang baru saja dibukanya. Ia menghela napas panjang dan diembuskannya kasar. Ia juga memejamkan matanya seraya menekan amarah yang berkobar dalam hatinya. Ia memang menyukai Juan, tetapi juga menyayangi sahabatnya itu.

"Iya," timpal Lusi seraya menoleh seketika. Ia membalas tatapan tajam temannya itu sembarii memasang wajah dingin. "Gue memang datang ke rumah Mbak Kiara untuk menemani lu jagain Gio. Tapi—"

"Jangan kira gue setuju dengan permintaan Mbak Kiara." Rania pun menyela sembari menggelengkan kepala. "Itu ide gila! Sambungnya.

"Gue tau. Dah lah. Lu temenin lagi Mbak Kiara. Gue masih ada tugas!" timpal Lusi. Namun, ia tak langsung membuka leptop. Malah berdiri dan berlalu pergi menuju kamar mandi.

"Katanya mau ngerjain tugas. Kok, malah ke situ?" Pandangan Rania mengekor, mengikuti ke mana Lusi melangkah. Lalu beranjak bangun juga sebab memang dirinya harus segera kembali ke rumah Kiara.

"Gue kebelet boker. Mau ikut lu?" Lusi pun menoleh seraya menghentikan langkahnya. Barangkali, temannya itu memang mau ikut agar bisa membujuknya kembali.

"Dih! Ogah banget ikut yang mau boker. Bau bangke!" balasnya seraya buru-buru ke luar dari kontrakan. Takut kalau Lusi kembali dan malah menjambaknya.

"Sialan!" rutuk Lusi. Namun, karena ia memang benar-benar kebelet, langkahnya cepat kembali menuju kamar mandi. Ia akan menunda membalas ejekan Rania sampai selesai buang air besar nanti.

***

Rania melangkah malas ke dalam kontrakan Kiara. Selain karena tahu kalau temannya marah, ia pun tak habis pikir akan permintaan tetangganya itu. kebanyakan istri, tidak rela suaminya berdekatan dengan wanita mana pun. Namun, Kiara justru memintanya untuk menikah dengan Juan.

"A-ada?" tanya Kiara begitu Rania datang menghampirinya lagi di kamar. Ia masih telentang di ranjangnya. Sedaangkan Gio, telah bangun dan merengek.

Rania yang sebelumnya tak pernah mengurus bayi, perlahan menyentuh bayi mungil yang masih putih kemerahan itu. kedua belah sudut bibirnya melengkung tipis begitu menyadari kalau bayi di hadapannya itu amatlah lucu.

"Lusi ada, Mbak." Rania pun berucap tanpa melihat siapa yang baru saja bertanya. Ia justru fokus pada bayi di hadapannya. Sesekali ia mengajak Gio bermain. "Kamu pipis ya, Sayang, ya? Kasihan. Sini, biar tante ganti popoknya." Ia pun mengajak Gio bicara.

Gio yang bahkan belum bisa apa-apa hanya tersenyum sesekali, seolah mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan Rania. Senyum yang membuat Rania kahirnya semakin gemas.

"D-dia ti-tidak m-mar-marah, kan?" tanya Kiara lagi. Kiara yang senang melihat senyum anaknya, seketika melengkungkan senyum di kedua belah sudut bibirnya yang pucat itu. ia juga melirik Rania, sembari memohon dalam hati agar wanita itu mau melakukan apa yang dimintanya tadi.

"Tidak, Mbak." Rania berbohong sembari menoleh dan melihat Kiara yang berbaring di samping Gio. "Dia menutup pintu kembali karena lupa, di kontrakan lagi goreng telur, Mbak. Jadi nggak sempat masuk," katanya berbohong lagi.

"Syu-syukurlah." Kiara pun bernapas lega, meski tidak yakin kalau Lusi benar-benar tidak akan marah. Sebab, ia tahu betul kalau gadis itu kerap membercandai Juna. Sebagai wanita, Kiara tahu seperti apa perasaan Lusi terhadap suaminya itu.

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa, kok. Sekarang dia lagi makan, pas mau aku ajak ke sini. Dan lgi, masih ada tugas yang memang belum selesai ia kerjakan. Jadi, biar aku aja yang jaga Gio, ya." Rania tersenyum lagi pada Gio. Dan, ia berusaha berkomunikasi dengan bayi yang masih merah itu.

"I-iya. teri-rima-kasih." Kiara juga tersenyum lagi seraya memejamkan matanya barang sejenak. Terlalu lama membuka mata, ia sedikit merasa sakit dan lelah. Bahkan, rasa-rasanya mengantuk.

"Mbak ngantuk?" tanya Rania yang tadi sekilas melihat Kiara dari ujung matanya. Ia lalu menghadap tetangganya itu. Meski dirinya sebal, akan permintaan Kiara, tetap saja dirinya prihatin akan keadaannya.

"Se-sedikit." Kiara membuka matanya pelan sembari melirik Rania lagi.

"Ya, sudah. Kalau gitu Mbak tidur lah. Biar aku yang tidurin Gio." Rania langsung menepuk-nepuk pelan bayi mungil itu sembari mulai melantunkan sebuah shalawat.

Dan, Kiara pun mengangguk sembari menikmati setiap lantunan merdu yang keluar dari mulut Rania. Ia pikir, tak kan salah jika dirinya memilih gadis itu untuk menjadi istri Juan. Meski, ia pun sadar, akan susah membuat Rania menerima Juan. Sebab bukan hanya status saja yang menjadi penghalang, meleinkan juga keadaan.

Juan hanyalah seorang ojek online yang untuk makan saja, harus menunggu dapat tumpangan dulu. Sementara Rana sendiri, ia adalah seorang gadis kuliahan yang sedang berjuang demi masa depannya.

"Ini mungkin akan terdengar seperti sebuah lelucon. Permintaanku benar-benar konyol. Karena nggak mungkin banget seorang gadi kuliahan mau sama tukang ojek, yang bahkan mempunyai anak dan istri," batin Kiara sembari mengerucutkan bibirnya perlahan. "Tapi, apa salahnya tetap mencoba, kan? Kalau memang sudah Allah takdirkan, apa pun pasti terjadi," sambungnya seraya mengurai bibirnya lagi. Ia tidak tersenyum, tetapi juga tidak cemberut,

Sementara itu, dalam hati Rania, gadis itu berdoa agar Kiara tidak lagi mengatakan permintaan konyolnya tadi. Ia sungguh tidak mau menjadi duri dalam daging seorang perempuan lain. Sesuka apa pun dirinya kepada lawan jenis.

"Maafin aku, ya, Mbak. Kalau aku nggak bisa bantu," katanya dalam hati. Ia melirik sekilas wanita di sampingnya itu. Kiara sedang terpejam. "Kalau pun memang Mbak mau menikahkan suami sendiri dengan wanita lain, jangan pilih aku, Mbak. Karena selain akan menyakitimu, aku pun akan menyakiti Lusi," sambungnya dalam hati.

Kembali Riana melantunkan sebuah selawat. Sebab barusan, ia menjedanya sekejap sehingga membuat Gio yang masih bayi itu kembali membuka mata. Entah bayi tersebut tidak mengantuk dan hanya terpejam karena menikmati lantunannya saja. Atau memang mengantuk dan membuka mata hanya karena Rania berhenti berselawat.

"Adek, Sayang. Tidur, ya," bujuknya sebelum mengulang shalawat yang dilantunkannya berulang-ulang. Bayi yang dijaganya pun terlelap. Begitu juga dengan Kiara.

Namun, tidak begitu lama setelah Rania berhasil menidurkan ibu dan anak itu, Juan datang. Lelaki berperawakan sedang itu pun menenteng kantong keresek berisi makanan yang ia beli, dari hasil mengojek.

"Kamu di sini?" tanya Juan pada Rania yang tengah duduk di tepi ranjang yang ditiduri istri juga anaknya. Rania sedang menonton sebuah video dalam ponselnya, dengan suara sangat pelan.

"Eh, iya?!" Rania pun seketika menggenggam ponsel. Lalu berdiri tegak di hadapan Juan. Namun, mengingat permintaan Kiara, ia menjadi kikuk di hadapan Juan. Membuat ia seketika salah tingkah, dan berulang kali merapikan rambut.