webnovel

Bicara Tergagap Usai Koma

Dari jendela pembatas ruang neonatal intensive care unit, Juan menatap buah cintanya dengan air mata menggenang di pelupuk. Jemarinya menyentuh dan mengusap lembut dinding kaca, seolah ia sedang menyentuh bayinya itu. kedua belah sudut bibirnya menyungging tipis, tersenyum haru sebab mengingat keadaan Kiara yang sekali lagi harus berjuang untuk bertahan hidup.

Setelah melalui proses melahirkan dalam waktu lumayan panjang, Kiara yang mengalami pendarahan hebat pun harus melakukan operasi pengangkatan rahim, sebagai upaya untuk bisa menyumbat darah yang terus keluar dari jalan lahirnya. Juan baru saja menyetujui dan menandatangani beberapa berkas sebagai bukti akan setujunya itu, sehingga dokter langsung mengambil tindakan tersebut.

"Kamu manis sekali, Sayang." Suaranya bergetar saat untuk pertama kali mengajak anaknya itu bicara dari hati ke hati. Air mata yang sedari tadi menggenang pun akhirnya luruh. "Persis mamamu, Sayang. Dia juga manis, dan … cantik. Tapi, sekarang mama lagi berjuang di dalam sana. Doakan mama, ya, Sayang. Doakan agar mama bisa pulang sama kita," sambungnya.

Diusapnya air mata di pipi, sebab ponsel yang ada dalam sakunya bergetar. Satu panggilan baru saja masuk dari ibu mertua yang sudah sejak beberapa jam lalu ia beri tahu perihal keadaan Kiara.

"Ya, Bu." Juan pun berusaha bersuara dengan tenang, meski sedang terguncang.

"Gimana keadaan Kiara sekarang? Bayinya sudah lahir belum?" Suara perempuan tua di seberang sana itu terdengar bergetar. Bagaimana tidak? Kiara adalah anak perempuan satu-satunya yang mereka miliki.

"Oh. Iya, Bu. Juan belum sempat ngasih tahu kalau bayinya sudah lahir dengan selamat alhamdulillah." Nyeri di dadanya terasa amat sangat menusuk saat Juan mengucapkan hal tersebut. Sebab, ia takut, nasib apa yang akan terjadi pada Kiara.

"Terus Kiara-nya?" Suara itu makin bergetar, sebab di awal telah diberitahu kalau anaknya mengalami pendarahan hebat.

"Alhamdulillah Kiara baik-baik aja, Bu," timpal Juan. Namun, suaranya yang parau lagi bergetar sama sekali tak dapat menyembunyikan sebuah kebohongan. Terlebih saat Juan tak dapat menahan sesak sehingga tangisnya luruh kembali.

"Nak, Kiara kenapa?"

Untuk beberapa saat, Juan menumpahkan tangisnya dulu. Ia benar-benar tidak dapat berucap sebab sesak terasa begitu mencekat di tenggorokan. Barulah setelah beberapa menit, ia berdeham.

"Kiara masih pendarahan pas udah lahiran, Bu. Sekarang lagi menjalani operasi pengangkatan rahim," ucapnya, sembari menahan sesak yang lagi-lagi terasa naik ke tenggorokan.

"Astagfirullah, Ya Allah. Juan, Ibu nggak salah denger, kan?" Mertuanya itu tak percaya. Meski tetap, air matanya jatuh seketika. Sungguh ia tak mengira kalau keadaan Kiara akan setragis itu.

"Ibu nggak salah denger, Bu. Tapi, Juan juga nggak tahu, kenapa ini semua terjadi pada Kiara. Padahal, di dia itu wanita yang sangat baik."

"Ya, Allah." Wanita yang sedang dalam perjalanan itu menangis lagi. "Tapi kamu sama siapa di situ? Orang tuamu sudah datang?" tanyanya, di tengah-tengah isak tangis.

"Aku ditemenin ibu sama bapak pemilik kontrakan, Bu. Orang tuaku masih di jalan," katanya sembari menghela dan mengembuskannya perlahan. Hatinya yang patah, merasa terobati barang sedikit dengan geliat sang buah hati yang baru saja ia lihat.

"Syukurlah kalau kamu ada temennya. Ibu sama Bapak juga masih di jalan. Kemungkinan sampai, dua apa tiga jam lagi."

"Ya, sudah, Bu. Ibu sama Bapak hati-hati di jalan. Doakan Kiara bisa melewati masa-masa perjuangannya, Bu. Juan mau ke masjid dulu," katanya, kembali berusaha tenang dan tegar. Lantas, ia menutup telepon setelah mendengar Ibu mertuanya mengiyakan.

**

Dibuat tegang oleh terjadinya pendarahan sewaktu masih di kontrakan, Juan kembali dibuat tegang oleh keadaan Kiara usai melahirkan. Pendarahan yang tak mau berhenti, mengharuskannya mejalani operasi pengangkatan rahim. Awalnya Juan ragu, karena hal itu akan membuatnya kehilangan kesempatan untuk memiliki anak kembali. Namun, ia lebih memilih istrinya selamat daripada apa pun.

Sayangnya, cobaan seolah belum selesai sejak terjadinya kecelakaan jatuh di kamar mandi. Kiara yang telah selesai menjalani operasi memang selamat dari ancaman kehabisan darah akibat pendarahan. Namun, istrinya itu justru tak kunjung sadar. Kiara koma. Padahal, seharusnya, Kiara sadar setelah beberapa jam operasinya selesai.

"Nak Juan," Panggil Kinarsih yang sejak semalam setia menemani Juan, Bersama suaminya.

"Iya, Bu?" Juan pun mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk lesu di kursi, ruang tunggu. Wajahnya yang kelelahan akibat terjaga semalaman, terlihat semakin buruk akibat apa yang berjejalan dalam pikirannya.

"Ibu sama bapak pulang dulu, ya. Kamu juga sebaiknya istirahat dulu. Toh, sudah ada keluarga yang siap siaga di sini."

"Iya, Bu. Makasih atas semuanya ya, Bu. Juan sampek nggak tau harus balas budi dengan apa," timpal Juan.

"Nggak usah mikirin balas budi. Liat kamu bisa bawa pulang Juan ke kontrakan aja, ibu udah seneng. Jadi, berdoa banyak-banyak kamu. Jangan mengumpat atau menyalahkan siapa pun. Ingat, kalau kita ini hidup di bawah takdir Tuhan."

Sekali lagi Juan mengangguk sembari mengiyakan. Dan, sepasang suami-istri itu pun beranjak meninggalkan rumah sakit setelah sebelumnya pamit terlebih dahulu pada keluarga Juan. Mereka hanya akan beristirahat, dan kembali esok pagi untuk menjenguk Kiara yang barangkali sudah siuman dari komanya.

**

Tiga hari berlalu. apa yang diharapkan semua orang tidak terjadi. Kiara masih saja dalam keadaan koma setelah tiga hari berlalu. Membuat Juan yang sedang dalam keadaan kalut akibat kondisi Kiara, semakin kalut karena terpikir akan biaya yang harus dibayarnya nanti. Sedang dirinya, hanya seorang ojol di mana penghasilan tak seberapa besar. Bahkan kadang, tidak mendapatkan penghasilan sama sekali. Tabungan yang ia punya pun, rasa-rasanya tak kan mampu membayar hingga setengah dari total biaya persalinan dan perawatan Kiara.

Berusaha semampunya, Juan bahkan memberanikan diri menghubungi beberapa kerabat untuk meminjam uang. Akan tetapi, kerabat yang juga berasal dari keluarga sederhana, tak satu pun dapat meminjaminya uang.

Kembali merasa putus asa, Juan pun beranjak meninggalkan ruang di mana sejak dua hari lalu dirinya tinggal di sana menemani Kiara yang tak kunjung sadar, menuju masjid rumah sakit. Dalam sujudnya, seusai shalat hajat, lagi dan lagi ia berdoa.

"Allah … tak mengapa jika hari ini Engkau memberiku cobaan hingga bertubi-tubi. Tak mengapa jika Engkau membuat aku jatuh sampai terpuruk. Tapi, aku mohon … bangkitkan lagi esok pagi. Selamatkan lagi esok pagi."

Tak ingin berlama-lama meninggalkan Kiara di ruangannya, Juan segera meninggalkan masjid. Ia memang hanya seorang diri selama dua hari terakhir, karena kedua orang tuanya harus kembali ke kampung. Sedang mertuanya tinggal di kontrakan untuk membantu apa-apa kiranya ada yang dibutuhkan Juan selagi di rumah sakit.

Dan, betapa terkejut Juan begitu masuk ke ruangan di mana di dalamnya tak hanya ada Kiara seorang. Beberapa pasien dengan kasus berbeda juga ada di sana, meski terhalang tirai sebagai pembatas di antara mereka. Wanita yang ditunggu selama tiga hari menatap ke arahnya.

"Ay, kamu …," katanya dengan suara bergetar. Juan tak mampu melanjutkan ucapan karena tangis seketika berderai. Ia lantas menghambur, memeluk istrinya yang baru saja tersadar dari komanya.

Satu detik, dua detik, sampai akhirnya satu menit berlalu dengan begitu cepat. Namun, Kiara tak kunjung bersuara. Wanita itu diam dan hanya menikmati tangisnya yang seketika sama berderai. Ia juga sama sekali tak bergerak, apalagi membalas pelukan Juan.

"Aku baru saja berdoa, Ay. Dan Allah langsung mengabulkannya." Juan menarik diri, tersenyum haru sembari meraih dan menggenggam jemari Kiara. Lantas, diciuminya punggung tangan istrinya itu. "Aku benar-benar lega sekarang," sambungnya.

"B-ba … bay, bayi k-ki."

Kiara berucap pelan. Namun, seketika membuat Juan terheran-heran karena istrinya itu bicara terbata-bata. Ia bahkan tidak dapat mencerna apa yang dikatakan Kiara. "Apa, Ay?" tanyanya.

"Ba-bay," ucap Kiara lagi.

Sebab bingung dengan apa yang terjadi pada istrinya itu, segera Juan berlari ke luar ruangan untuk menemui suster jaga. Dan, mereka pun segera pergi memeriksa Kiara, dengan diikuti Juan.

"istri saya baru saja sadar, Sus. Tapi, saat bicara, istri saya terbata. Dia juga kayak nggak bisa gerak." Juan memberi penjelasan, sesuai dengan apa yang ia lihat dan rasa.

"Iya, Pak. Alhamdulillah istri Bapak akhirnya sadar dari koma. Kondisinya sudah jauh lebih baik. Tapi, untuk lebih jelasnya, dokter yang akan menjelaskannya besok," jawabnya setelah memeriksa dan mencatat kondisi terbaru Kiara.

Apa yang dikatakan suster jaga benar-benar tak membuat Juan puas. Namun, sebagai manusia awam, ia pun hanya bisa mengangguk dan menerima apa yang dijelaskan suster tersebut. "Baik, Sus. Terima kasih," timpalnya.

Para suster yang kebagian jaga malam itu pun meninggalkan ruangan. Waktu memang telah beranjak malam sejak lima jam lalu. Semua pasien beserta keluarga yang menunggu tiap-tiap dari mereka juga sudah terlelap. Di sana, hanya ada Juan dan Kiara saja yang masih terjaga.

Ditatapnya wajah Kiara, dengan kedua mata berbinar. Entah apa yang harus ia katakan, karena melihat Kiara membuka mata saja, dirinya kepalang senang. Baginya, senyum Bahagia sudah mewakilkan semua.

Namun, saat Kiara kembali berucap tergagap, Juan kembali merasa heran. Ada apakah dengan istrinya itu? pikirnya.

"Apa, Ay? Aku nggak paham," tanyanya.

"Bay-i ki-ki-ta m-ma-na?" Kirana mengulang pertanyaannya, sebab takut kalau bayinya kenapa-kenapa.

"Bayi kita?" tanya Juan, memastikan.

"I-i-iya."

"Bayi kita sudah dibawa pulang sama Ibu. Pulang ke kontrakan kita maksudnya. Dia alhamdulillah lahir dengan sehat."

Mendengar apa yang dikatakan Juan, Kiara pun merapatkan mulutnya pelan. Sebab senang bercampur haru seketika membuat matanya kembali basah. Ia menangis dalam diam.

"Jangan nangis. Kamu masih harus berjuang untuk benar-benar kembali pulih, Ay," sambung Juan, seraya berusaha menghibur istrinya itu. Meski, pertanyaan demi pertanyaan semakin memenuhi isi kepala.

"Istriku ini kenapa, Ya Allah? Kenapa dia terbata-bata gitu ngomongnya? Kenapa dia kayak susah untuk bergerak?" batinnya.