1 1.1

AKU sedang santai mengisap rokokku sembari menunggu seseorang. Katanya ia akan tiba tepat pukul delapan malam. Ya, aku yakin ia tak akan terlambat. Ia selalu tepat waktu.

Aku duduk di kursi besi yang biasa diletakkan di trotoar jalan, sembari meminum kopi yang biasa dijual oleh pedagang asongan. Malam ini begitu banyak orang yang berlalu-lalang, apalagi sepasang kekasih. Maklum saja, malam ini adalah malam minggu, malam yang panjang.

Setelah menghabiskan beberapa batang rokok, terlihat orang yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Ia mengenakan kacamata dan rambut yang dibiarkan terurai. Ya, masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. Ia pun duduk di sampingku, memesan segelas kopi, lalu menyilangkan kakinya.

"Apa kabar, Nay?" tanyaku membuka percakapan.

"Baik, Dharma," jawabnya dengan senyum pahit.

"Sudah lama ya kita tidak berbincang-bincang seperti ini," ucapku. "Sudah dua tahun, ya, dua tahun."

"Iya.."

"Sibuk kegiatan apa sekarang?"

"Sibuk kuliah."

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Suasana terasa kaku saat itu. Maklum saja, sudah lama tak bertemu. Kami pun terdiam beberapa saat.

"Kau tak hadir ketika perpisahan SMA. Terakhir kita bertemu itu ketika UN. Setelah itu kau pun menghilang tanpa kabar," ucapku untuk melanjutkan percakapan.

Nayyara hanya terdiam.

"Bahkan aku sampai tidak sadar kalau kita kuliah di kota yang sama," ucapku sembari menghela nafas. "Apa alasanmu memutuskan untuk menghilang?"

Di saat aku menanyakan pertanyaan yang menghantuiku selama dua tahun belakangan ini, kopi pesanan Nayyara pun tiba.

"Kak, ini kopinya," ucap si pedagangan asongan sembari memberikan kopi pesanan Nayyara tadi.

"Terima kasih, Bang," jawab Nayyara sembari membayar kopi pesanannya kepada pedagang asongan tersebut.

Pedangan asongan itu pun berlalu.

"Maaf, Dharma. Nanya apa tadi?"

"Apa alasanmu memutuskan untuk menghilang?"

Nayyara terdiam sejenak, lalu menarik nafas panjang.

"Sebenarnya tidak ada alasan. Bahkan aku tidak pernah berpikir untuk menghilang. Menurutku itu terlalu dramatis," jawab Nayyara. "Jadi, sebenarnya setelah UN aku memutuskan untuk ikut bimbingan belajar di luar kota. Aku ikut bimbingan belajar di kota tempat Kakakku kuliah. Kala itu aku memang fokus belajar untuk persiapan SBMPTN. Karena aku memang sangat ingin masuk ke kampus idamanku. Mungkin kau juga tahu soal itu."

"Hmm, terus?"

"Nah, setelah UN, aku sama sekali tidak ada kontak-kontakan dengan siapa pun selama sebulan penuh. Ketika aku mengecek ponsel, sudah banyak saja kabar miring tentangku. Ada yang mengatakan kalau aku sombong, pergi tanpa pamit, sampai ada yang mengatakan kalau aku kacang lupa kulit," ucap Nayyara dengan nafas yang terengah-engah. "Aku terkejut dengan semua respon teman-teman. Ya, aku memang pergi tanpa pamit. Tapi aku sama sekali tidak ada niatan untuk menghilang atau apa pun. Aku hanya ingin fokus belajar demi kampus idamanku."

"Kenapa tidak kau jelaskan saja apa yang sebenarnya terjadi?"

"Nasi sudah menjadi bubur, Dharma. Semua akan sia-sia," jawab Nayyara sembari mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya yang berada tepat di samping kami.

"Kau terlalu cepat menyimpulkan."

"Mungkin menurutmu begitu, tetapi menurutku memang sudah tidak ada yang perlu dijelaskan lagi," jawab Nayyara sembari mengalihkan pandangannya ke arahku dengan raut wajah yang serius.

"Lantas sekarang bagaimana? Apa cuma aku yang tahu keberadaanmu?" tanyaku dengan hati-hati.

"Ya, cuma kau," jawab Nayyara yang kini kembali mengalihkan pandangannya, tetapi tidak ke arah jalan raya, melainkan ke arah bawah.

"Apakah kau merasa terganggu?"

"Sedikit," jawab Nayyara. "Aku merasa telah meninggalkan masa laluku, dan kini kau hadir mengungkit semuanya kembali."

"Maaf."

"Tak apa-apa."

Suasana hening. Perkataannya seperti menjelaskan kalau ia menyesal bertemu denganku, dan ingin mengakhiri ini semua. Matanya pun kini sibuk melirik jam yang ada di tangan kirinya.

Angin bertiup sepoi-sepoi kearah kami. Ia menutup resleting pada jaketnya. Ia masih terdiam dan sesekali kembali melirik jam tangannya. Ia terlihat ingin cepat-cepat pergi. Padahal kami baru saja bertemu beberapa menit. Sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraanku.

"Dharma," ucap Nayyara membuka percakapan kembali.

"Iya Nay?"

"Apa tujuanmu mengajakku untuk bertemu?"

Wah, ia mulai menyerangku. Sepertinya ia telah sadar maksud dari pertemuan ini. Sebenarnya aku ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat renggang. Aku pernah coba untuk mendekatinya ketika SMA, dan tampaknya ia tidak menyukai itu.

Nayyara adalah wanita yang kusukai ketika SMA. Walau aku belum pernah mengungkapkan perasaanku, tapi aku yakin kalau ia sebenarnya sudah tahu kalau aku menyukainya. Dan jujur saja, ketika wanita yang disuka mengetahui kalau dirinya disukai, itu bisa menjadi suatu hambatan bagi orang sepertiku.

"Eee, ya karena aku tahu kau kuliah di kota yang sama denganku, dan kau itu teman SMA-ku. Sepertinya tak ada yang salah kalau aku mengajakmu untuk bertemu," jawabku untuk mengelak. Padahal selama ini aku memang mencari-cari keberadaannya.

"Kau yakin?"

"Ya, yakin."

Ia kembali terdiam. Kali ini posisiku dalam keadaan terancam. Bisa saja ini menjadi pertemuan terakhir kami kalau suasananya terus begini. Sia-sia saja tampaknya semua usahaku mencari keberadaannya kalau begitu.

"Oh iya Nay, masih ingat tidak waktu kita ngisi pentas seni dulu?" tanyaku coba mengalihkan topik.

"Sama sekali tidak ingin mengingatnya," jawab Nayyara. "Aku benci masa SMA-ku."

Sial! Ternyata aku mengajukan pertanyaan yang salah. Tujuanku ingin membuat suasana menjadi mencair, namun hasilnya malah sebaliknya. Hmm. Tampaknya aku tidak bisa mengelak. Aku harus meladeninya.

"Aku tidak yakin kalau kau benci. Kau hanya ingin coba melupakannya karena keadaan," jawabku memberikan argumen.

"Sok tahu," jawabnya ketus.

"Mau sampai kapan terus begini?"

"Selamanya!"

Aku benar-benar kehilangan arah. Tak ada celah yang bisa dimasuki untuk mencairkan suasana yang membeku ini. Ingin rasanya teriak dan mengungkapkan semua perasaan yang telah kupendam untuk sekian lama. Tetapi aku tidak boleh ceroboh, aku harus bisa menahan diri.

"Dharma, aku boleh pulang duluan?" tanya Nayyara.

Oh tidak. Hancur sudah. Tampaknya ini akan benar-benar menjadi pertemuan terakhir kami. Sepertinya ia memang sudah menyadari tujuan utamaku mengajaknya untuk bertemu.

"Tapi kan, kita baru sebentar bertemu, Nay," jawabku dengan terbata-bata.

"Aku ada keperluan, Dharma. Aku hanya bisa bertemu sebentar saja."

Ia mulai mencari-cari alasan. Ya, jawabannya itu seperti tamparan keras yang memaksaku agar mengizinkannya untuk pulang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Ya sudah, Nay. Mungkin kita bisa bertemu lagi lain waktu," jawabku tersenyum sembari menelan ludah.

"Sampai jumpa, Dharma," ucap Nayyara sigkat.

"Sampai jumpa," tutupku.

Ia pun berjalan pergi ke arah ia datang tadi. Ia terus berjalan, berjalan, hingga akhirnya ditelan gelapnya malam. Semua sudah musnah. Ia telah pergi.

avataravatar
Next chapter