4 BAB III Monster dan Desa

Beberapa gerobak yang terbakar hangus.

Pepohonan yang meninggalkan bercak darah di batangnya.

Lalu, monster.

...

Monster, bagi penduduk biasa pastilah suatu malapetaka yang dapat membahayakan nyawa. Terlebih dengan adanya beberapa jenis yang hanya menyerang dan aktif memburu manusia. Seakan mereka menaruh dendam pada jenis kami. Sungguhlah malapetaka di Eropa ini terlihat berbeda dengan benua lain. Meskipun tak menutup kemungkinan di benua lain juga terdapat monster, yang hanya saja belum pernah kudengar.

Tetapi aku sendiri tak terlalu terusik dengan mereka. Meskipun benar, bila beberapa rekanku pernah dimakan bahkan dibantai tepat di depan ku. Namun, itu semua tak membuatku serta—merta menyalahkan semua monster yang memiliki wujud dan bentuk yang sama. Aku tak sebodoh itu setidaknya, untuk menghakimi seluruh mahluk dengan sekehendakku begitu saja. Terlebih bila melihat mereka dari dekat...

Iris mata biru yang berbalut hijau jamrud bak permata. Sedangkan belati tajam negeri timur, menghiasi rahang mahluk bak baboon ini. Yang ini pertama kali kulihat. Species barukah?

Menjerit pun mahluk itu menunjukan rahangnya. Ia melompat, lalu dikibaskannya ekor berujung padatnya. Tentu aku melompat kesamping untuk menghindarinya. Satu-dua meter lompatan kesamping yang membuat situasi bahaya menjadi tertanggulangi. Kemudian terdengar pun dentuman di tanah, yangmana membuat tanaman hijau dan kerikil diatasnya pun tenggelam dalam tanah yang terpukul.

Apa isi dari ujung ekor itu, hah?! Batu?

Terserahlah, untuk saat ini, yang lebih penting dari itu adalah celah! Celah yang hanya berlangsung beberapa detik ini, tepat setelah tenaga monster ini terlimpahkan pada pukulan ekor tadi. Satu jalur bebas, menuju tenggorokan si Baboon. Ku kerahkan pun sisa-sisa tenagaku untuk menghunus pedang dan mengangkat perisai kedepan. Lalu, kuhentakankan pun kakiku mendorong tubuh menuju titik vital sang monster yang telah kuincar.

Menjerit tak bisa kuelakan bersama tiap langkah yang kuambil. Pedangku pun lurus menerjang tak mengkhianati tenaga yang ku kerahkan. Namun naifku, ... beberapa langkah sebelum aku dapat menjangkau jarak tusuk menuju leher sang baboon, dua tangan selebar batang tubuh ku segera menangkapku di kedua lenganku. Seraya pun monster ini melanjutkannya dengan menarik ku berayun. Berayun layaknya ketapel raksasa, ekor yang tadinya mengghantam tanah, ternyata dapat berfungsi seperti kaki.

"Sial!"Ucapku serapah, kendati keteledoran telah terlanjur kulakukan. Maka, dilemparnya pun aku menghantam beberapa ranting pohon yang kemudian patah.

Syukurlah monster tidaklah berakal. Kalau mereka berakal, habislah aku bila ia melemparku ke sebuah batu. Namun, meskipun mereka tergolong dalam mahluk bodoh yang hanya bergerak sesuai insting. Keganasan mereka tetap menjadi faktor yang menyusahkan untuk di hadapi.

Aku harus berfikir!

Ekor kuat yang memiliki jarak jangkauan sekitar sembilan kaki. Cengkraman tangannya pun tadi begitu kuat, dan itu membuatku tak bisa menyerang secara langsung dari depan. Sedangkan saat waspada ia merentangkan ekornya lurus ke belakang. Bagaikan bersiap untuk memukulkannya seperti tadi, sekaligus membuat serangan dari belakang akan menjadi sulit. Belum lagi taring bak belati itu. Aku harus mencari cara untuk menancapkan pedang usang ini ke tenggorokannya.

Dengan tameng dan pedang yang hampir mencapai batasnya ini, bagaimana aku bisa membunuh mahluk ini? ...

Sejenak kembali kulihat tameng usang di lenganku, yang sudah hampir tak bisa digunakan lagi. Juga pedang yang sudah banyak kehilangan mata pisaunya. Suatu ide pun muncul dibenakku, dan kupertimbangkan segera.

Ya ... mungkin hanya ini satu-satunya cara yang kumiliki sekarang.

Baiklah, lakukan atau tidak sama sekali!

Kuangkat pun perisaiku tinggi-tinggi keatas kepala, lalu belari pun aku menerjang sang monster. Yangmana sang monster pun merespon dengan mengayunkan ekor kuatnya selagi melompat. Aku pun menghindar dan monster itu mendarat dengan nafas berat. Celah, yangmana hanya berlangsung beberapa detik selagi ia mengembalikan tenaganya. Namun mengingat kesalahanku tadi, tak bisa aku kembali mengulangnya dengan berlari tanpa pikir panjang lagi. Untuk bisa mencapai titik vital dari leher baboon ini, aku harus menciptakan pengalihan fokus!

Maka, kulonggarkan pun peganganku pada tameng penuh cuil ini. Lalu, kulempar tepat menuju mata sang baboon. Melesat pun tameng tersebut, namun kedua tangan sang baboon segera menangkapnya. Yangmana membuat tameng itu tepat berhenti di depan mata sang baboon, seraya membuat pandangannya tertutup untuk sesaat.

Tak menyia-nyiakan kesempatan ini, aku pun segera memperpendek jarak kami dengan berlari sekencang mungkin. Lalu, begitu sang baboon bangkit kemarahannya dengan merobek tameng itu menjadi dua. Aku pun muncul dari balik tameng yang ia belah. Muncul, dengan ujung mata pedang yang terhunus lurus menuju lehernya. Jalur sempurna pun tak terelakan bagi si baboon. Mempersilakanku menanamkan bilah lurus hingga ke dalam tengkorak belakangnya.

Bersyukur aku bila mengingat kalau roti yang gadis kecil itu berikan ternyata berisi daging. Benar-benar suplai tenaga disaat terakhir.

Otot-otot sang baboon pun terhenti kaku di tempatnya. Selagi pandangannya geram melihat helm teropongku. Mulutnya hendak mengamuk, namun tak sanggup lagi ia gerakan menyerangku. Darah merah hangat pun mengucur dari luka di sekitar pelindung pegangan pedangku. Mengepulkan asap tipis selagi membawa bau anyir khas darah menuju penciumanku.

Perburuan selesai. Sang baboon pun ambruk membawa pedangku yang masih tertancap. Aku bisa bernafas lega, setidaknya tameng usang itu masih mendatangkan manfaat disaat-saat terakhirnya. Enam puluh koin perak harganya kalau tak salah. Yangmana bertahan di sekitar delapan perburuan dalam bulan ini? ... entahlah, mungkin lebih dari itu aku tak menghitungnya. Yang pasti, aku harus segera mencari perisai baru. Terlebih pedang ini juga sudah mencapai batasnya.

Maka kutarik pun pedangku, dan ku potong beberapa jari mayat sang baboon. Cukuplah untuk menjadi bukti pada penduduk desa setempat. Tapi, tunggu!

Langkahku yang hendak kembali ke desa terhenti. Lalu, pandanganku berbalik lagi pada mayat sang baboon.

§

Sembari berjalan menikmati angin sepoi-sepoi, ku angkat tinggi bola mata sang baboon membelakangi matahari. Bola mata sekeras kristal yang memiliki iris indah berkilauan didalamnya. Kudengar di Bordeux ada pengepul yang mau membeli bagian tubuh monster yang terlihat berharga. Kebetulan kota itu searah dengan Britannia yang menjadi tujuanku. Kerajaan para ksatria, Britannia Raya. Kerajaan, yang kudengar dari Ibu, adalah kampung halaman Ayahku yang seorang ksatria. Mungkin disana aku bisa mendapatkan petunjuk, atau bahkan bala bantuan! Yang pasti aku hanya perlu melewati dua kota lagi dari sini. Bordeux, lalu Poitier

Tunggulah Ibu, Kaheed, dan semua ... aku akan segera membawa Ayah kembali.

.

.

.

"Tuan, apa kau sudah membunuhnya?" Beberapa penduduk sudah menungguku di pintu masuk desa.

Tak banyak bicara, kutunjukan pun jemari yang tadi ku potong. Mereka pun terkejut. Lalu, kuarahkan telunjuk ku belakang, mengarah pada satu pohon besar di antara rimbunnya pepohonan yang menutup hutan.

"Disana ..., di sekitar pohon beringin besar itu kutinggalkan mayatnya. Bakarlah, agar dagingnya tak membusuk dan menyebarkan penyakit pada warga disini."

"B-baik, tuan. Sekali lagi terimakasih!"

Beberapa pun berusaha mengulurkan tangannya untuk menyalamiku. Lalu, beberapa lelaki bergegas pergi ketempat mayat sang baboon.

Hmm ..., begitu saja? Setelah aku kehilangan perisaiku juga beberapa luka, apa mereka benar-benar hanya menyalamiku saja? Hari yang sial, namun monster tetap harus dibasmi. Berdesah pun aku, dan berbalik pergi. Pikirku, setidaknya aku masih bisa menjual dua benda ini, bola mata bak batu, dan taring bak belati ini.

Lalu, ku buka pun kantong koin ku. Dua puluh koin tembaga saling bertumpukan didalamnya. Yangmana untuk membeli sarapan pun tak akan cukup. Membuatku kembali mendesah saja...

"Tuan Ksatria, tunggu dulu!"

Berhenti aku pun menoleh. Seorang anak laki—laki berlari menghampiriku.

Ditangannya kulihat ia memegang sebuah kantong kulit, yang kemudian diulurkannya padaku selagi nafasnya tersenggal-senggal.

Pandanganku pun kembali menuju pintu masuk desa, dan kulihat seorang kakek berdiri melambai padaku dengan berlimang air mata.

"Kata Kepala Desa, terimakasih karena sudah membunuh monster yang membunuh anaknya minggu lalu."

... begitukah. Jadi, anaknya terbunuh baboon itu

Meskipun sebenarnya tujuanku bukan untuk membalaskan dendam kakek tersebut. Namun lebih baik kuterima, untuk meringankan perasaannya.

"Baiklah, kalau begitu kuterima ini."

Anak itu pun mengangguk sembari tersenyum, lalu berlari kembali ke desa. Lalu, kulihat pun isi dari kantong koin ini. Enam koin perak dan sepuluh koin tembaga. Sehingga bila ditambahkan dengan koin yang kumiliki, totalnya akan berjumlah, enam koin perak dan tiga puluh koin tembaga.

Tak banyak, namun setidaknya aku bisa membeli sarapan dan makan siang untuk tiga hari ini. Maka, kututup kembali kantong koin itu dan kusimpan di tas perbekalanku di punggung, bersama dengan pedang usang yang harus segera kuganti.

Namun, tak lama aku berjalan suatu suara terdengar samar-samar. Mengundang rasa ingin tahuku, maka aku pun terhenti. Kucoba memfokuskan pendengaran, sembari kutelusur kesekitarku.

Tetapi, begitu pandanganku terarah kebelakang, anak yang tadi memberiku koin terlihat kembali dengan wajah yang begitu panik.

Maka, teringat pun aku kata-kata anak ini tentang anak kepala desa. Yangmana katanya anak kepala desa meninggal seminggu yang lalu karena serangan monster.

Sial! Kenapa aku tak segera menyadari ini saat anak ini mengatakannya tadi?!

Kematian karena monster yang terpaut seminggu, dan monster baboon yang hanya menyerangan gerobak dan pemilik gerobak hingga mati, tanpa memakan sang pemilik gerobak. Kalau orang desa bisa tahu anak sang kepala desa benar mati karena monster. Maka, bukti dari kematian yang meyakinkan orang-orang desa bahwa anak kepala desa benar telah diserang monster hanyalah satu, yaitu bekas gigitan monster!

Maka, segera pun aku memacu kaki kembali kearah ke hutan, bahkan sebelum anak yang berlari kearahku sampai padaku. Perhitunganku salah! Penduduk yang sedang membakar mayat baboon itu dalam bahaya!

"Tuan?!" Anak yang hendak menghampiriku pun ke lewati, dan itu membuatnya berhenti kebingungan.

Namun, aku benar-benar tak punya waktu untuk menjelaskannya.

Karena, kalau dugaanku tentang anak kepala desa itu benar, artinya monster yang mengancam desa ini bukanlah satu. Dan monster yang satunya lagi, pasti monster yang berbeda dari sang baboon yang hanya membunuh manusia, tanpa menyentuh lagi mayatnya.

Monster yang kuhadapi ini, pastilah jenis yang memakan manusia!

... sial!

avataravatar
Next chapter