1 Awal Pertemuan

Samiya berjalan pelan dengan kepala tertunduk, entah ke mana kaki akan melangkah. Sudah tiga jam berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di Kota Seoul, tapi langkahnya masih terus berlanjut. Dirapatkan jaket parasut tebal ke tubuh, karena angin pagi terasa semakin dingin. Walaupun kerudung telah menutupi kepala, tetap saja dingin begitu kuat terasa.

Sesekali perbincangan dengan sahabatnya sebelum berangkat ke Seoul, kembali terngiang di telinga.

“Kamu yakin mau bekerja ke Korea?” tanya Putri tidak yakin, saat Samiya mengungkapkan keinginannya untuk bekerja ke Korea.

Samiya menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan. Dia bertekad ingin memberikan kecukupan materi untuk keluarganya. Perempuan itu tidak tega melihat orang tua yang sudah memasuki usia senja, masih bekerja membanting tulang, demi mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi.

“Apa kamu sudah tahu risiko bekerja di sana?” tanya Putri lagi.

“Ya, aku tahu,”-Dia berhenti sejenak dan menjepit bibirnya-“tapi demi keluarga, aku harus bekerja ke sana. Gaji di tempatku bekerja saat ini masih kurang untuk melunasi sisa utang gadai sawah orang tuaku. Aku sudah tidak sanggup melihat mereka bekerja banting tulang di usia mereka saat ini.” Terlihat genangan air mata membasahi mata cokelat besar itu.

Harapan demi harapan yang dipupuknya saat berangkat ke Korea, menjadi puing-puing penyesalan. Gaji yang didapatkan sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan bekerja di Indonesia, menjadi tidak berarti. Tiga bulan bekerja di salah satu perusahaan swasta di Korea, ketenangan spiritual semakin tidak didapatkannya. Waktu untuk salat yang tidak menentu dan terburu-buru membuatnya semakin tidak nyaman. Sehingga ia memutuskan untuk berhenti bekerja, saat tanda tangan perpanjangan kontrak kerja.

Samiya menghentikan langkah dan menatap lurus ke arah gerbang masuk Namsan Park (Namsan Gongwon), sebuah taman luas yang terletak di Kota Seoul. Angin musim gugur telah merontokkan daun dan bunga yang sebelumnya bermekaran di musim semi.

Tanpa berpikir panjang, perempuan berkulit sawo itu langsung masuk ke taman tersebut. Pada hari Minggu pagi, taman ini biasanya dipenuhi oleh orang-orang yang berolahraga. Terlihat orang lalu lalang di sana, berolahraga dan juga menikmati pemandangan kota Seoul dari ketinggian.

Dengan tarikan napas panjang, Samiya lalu melangkahkan kaki menapaki taman yang dikelilingi pepohonan tinggi yang daunnya sudah mulai gugur. Sesampainya di dekat tangga yang berada di dalam taman, Samiya berhenti sejenak memerhatikan detail tangga yang berjejer panjang. Entah berapa jumlah anak tangga tersebut, sehingga membuatnya berpikir untuk menaiki.

Lagi-lagi ia menarik napas panjang, lalu dengan setengah berlari dinaikinya anak tangga itu satu per satu. Tepat di anak tangga keenam, tiba-tiba bahunya menghantam sesuatu dan pandangan Samiya menjadi gelap. Wanita itu pingsan tak sadarkan diri, setelah tubuhnya terguling ke tangga pertama.

***

Perlahan-lahan mata Samiya mulai terbuka, aroma obat-obatan dan cairan anti-septic tercium olehnya. Dia merasakan perih yang teramat sangat di siku lengan. Dan tangannya? Kenapa tangannya tidak bisa digerakkan? Terlalu sakit untuk digerakkan. Dengan cepat mata cokelat terang itu segera terbuka lebar.

Matanya bergerak-gerak mencari tahu di mana saat ini ia berada. Samiya kemudian melihat seseorang berpakaian serba putih berdiri di sebelah sana.

“Euisa (dokter).” Samiya berusaha memanggil dokter yang berada tidak jauh darinya.

Terlihat seorang dokter muda yang kira-kira berusia akhir tiga puluhan, berambut panjang, kulit putih, dan bermata sipit. Dokter itu berjalan mendekati Samiya yang terbaring di kasur pasien.

“Ah, Agassi (oh, Nona). Anda sudah sadar?” Dokter melangkah ke arah Samiya dan memeriksa keadaannya.

“Museun-ilimnikka (apa yang terjadi pada saya)?” tanya Samiya dengan bahasa Korea seadanya, karena belum terlalu fasih berbahasa Korea.

“Jamsimanheyo (tunggu sebentar).” Dokter menyuruhnya untuk menunggu dan meninggalkan Samiya yang sedang kebingungan.

Tak lama kemudian, dokter kembali bersama seorang pria bermata sipit, hidung lancip, dan tubuh atletis dengan tinggi 186 cm. Wajahnya tidak kalah tampan dengan aktor-aktor papan atas Korea. Dilihat dari penampilannya, pria itu seperti berusia dua puluh sembilan hingga tiga puluh tahunan.

Samiya makin terlihat bingung. Keningnya berkerut dan terlihat berpikir. Bertubi-tubi pertanyaan hinggap di kepala. Kenapa ia bisa berada di rumah sakit? Kenapa tangannya di-gips? Dan siapa laki-laki yang sedang tersenyum kepadanya?

Dia tidak ingat apa yang telah terjadi padanya. Samiya hanya ingat sebelumnya sedang berada di taman Namsan, kemudian mencoba untuk menaiki anak-anak tangga. Dan kemudian, ya perempuan itu ingat, sesuatu menghantam tubuhnya. Tiba-tiba saja dirinya sudah berada di rumah sakit dengan tangan yang sudah di-gips.

Dokter yang melihat Samiya kebingungan, langsung menjelaskan, “Agassi, Anda baru saja mengalami kecelakaan, karena terjatuh dari tangga. Kim-ssi (Tuan Kim) yang mengantarkan anda ke sini.” Dokter lalu memperkenalkan pria tadi kepada Samiya.

Pria itu lalu berjalan ke arah sisi tempat tidur Samiya.

”Annyeonghaseyo, Agassi. Jeoneun Kim Tae Ho Imnida (saya Kim Tae Ho).“ Pria bernama Kim Tae Ho memperkenalkan diri kepada Samiya.

Pria bernama Kim Tae Ho itu mengenakan pakaian olahraga lengkap, seperti selesai melakukan olahraga.

“Jeoneun Samiya Imnida (Saya Samiya). Terima kasih telah menolong saya, Tuan Kim. Jeongmal Gomapseumnida (terima kasih banyak).”

“Oh tidak, Nona. Saya seharusnya yang meminta maaf kepada Anda, karena kecerobohan sayalah Anda terjatuh dari tangga.” Kim melihat ke arah perempuan yang memiliki mata indah itu.

Samiya malah mengernyitkan kening. Dia benar-benar tidak ingat bagaimana bisa terjatuh dari tangga itu.

“Saya sedang tergesa-gesa, karena manajer saya menelepon agar saya segera pulang ke rumah. Saya berlari menuruni anak tangga dan tanpa sengaja menabrak Anda. Anda lalu terjatuh ke tangga paling bawah dan tidak sadarkan diri. Saya benar-benar menyesal. Joi-songhamnida (maaf),” ucap Kim sambil membungkukkan badannya sebagai tanda penyesalan.

Dia sangat merasa bersalah, karena keteledorannya tangan Samiya menjadi patah.

“Anda sudah boleh meninggalkan rumah sakit, Nona,” kata dokter kepada Samiya, “jangan lupa seminggu lagi, Anda datang ke sini untuk melepaskan gips.”

Kim Tae Ho segera menyelesaikan seluruh biaya administrasi, karena Samiya telah diperbolehkan pulang. Setelah itu, ia kembali menghampiri perempuan itu dan mencoba mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.

“Maaf Tuan Kim, saya bisa berdiri sendiri,” tolak Samiya sopan.

Kim Tae Ho menarik kembali tangan yang sudah diulurkan ke arah Samiya, kemudian tersenyum.

“Baiklah, Nona Samiya. Tapi jangan tolak tawaran saya untuk mengantarkan Anda pulang ke rumah. Saya akan merasa sangat bersalah jika membiarkan Anda pulang sendirian dengan keadaan seperti ini,” bujuk Kim.

Samiya diam sejenak, lalu berpikir apakah akan menerima tawaran Kim Tae Ho atau tidak. Dia juga tidak tahu di rumah sakit mana tempat dirinya berada sekarang.

Kim melihat Samiya dan masih menunggu jawabannya.

“Oke, tawaran Anda saya terima. Saya juga tidak tahu sekarang berada di Rumah Sakit daerah mana.” Samiya lalu tersenyum. Senyum indahnya begitu sempurna di wajah khas Indonesia.

Setelah keluar dari Rumah Sakit, Samiya baru menyadari bahwa ia baru saja dirawat di Rumah Sakit terbaik di Kota Seoul. Gedungnya mewah, bersih, tenaga kesehatan yang ramah, dan pelayanan yang exclusive membuat Rumah Sakit tersebut begitu diminati oleh kalangan kelas atas di Korea. Entah berapa ratus ribu won telah dihabiskan pria ini untuk biaya perawatannya.

Perempuan itu bertanya-tanya siapakah sebenarnya pria ini? Dia seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Samiya berusaha mengingat, tapi tetap tidak ingat.

Tak lama, Samiya melihat seorang pria keluar dari mobil sport mewah seri terbaru. Ternyata pria itu adalah pria yang tadi bersamanya di ruang IGD.

“Silakan masuk, Nona.”

Kim mempersilakan Samiya masuk ke mobil setelah membukakan pintu untuknya.

“Eh, ya. Terima kasih.” Samiya terlihat gugup

Dua puluh lima tahun hidup di dunia, baru kali ini ia menaiki mobil mewah.

Samiya segera masuk ke mobil. Aroma lemon parfum mobil Kim Tae Ho tercium olehnya. Dia terlihat menikmati aroma yang menyegarkan itu sehingga lupa memberitahu alamat tempat tinggalnya.

“Boleh saya tahu, ke mana saya bisa mengantarkan Anda, Nona?” tanya Kim mengagetkannya, “anda belum mengatakan kepada saya, ke mana saya harus mengantarkan Anda.”

Kim menoleh ke arah perempuan muda yang duduk di sampingnya kemudian tersenyum.

“Eh? Yang Cheon-Gu (distrik Yang Cheon),” jawab Samiya pendek.

“Oke, kita segera ke sana.” Kim memacu mobilnya dengan kecepatan sedang.

Pemuda itu sesekali melihat ke arah Samiya.

“Oh ya, Anda berasal dari mana? Malaysia? Arab?”

Dia mencoba menebak dari penampilan Samiya yang berjilbab seperti orang Malaysia dan Arab yang sering dijumpai di kawasan dekat tempat tinggalnya.

“Indonesia. Jeoneun Indonesia Saram Imnida (Saya orang Indonesia).”

“Anda di sini bekerja?” tanya Kim lagi.

“Ya, satu bulan yang lalu saya bekerja di salah satu perusahaan elektronik di pinggiran Kota Seoul. Tapi sekarang sudah tidak lagi.” Samiya menundukkan kepala, melihat ke lantai mobil.

“Kenapa? Anda dipecat?” Kim berusaha menebak.

Samiya menggeleng.

“Lalu kenapa Anda melepas pekerjaan Anda?”

“Di sana saya tidak dapat melakukan ibadah tepat waktu,” jawab Samiya.

Kim Tae Ho menaikkan kedua alis dengan pandangan masih fokus ke depan.

“Apa rencana Anda sekarang?” tanya pemuda itu.

“Sekarang saya sedang mencari pekerjaan yang bisa memberikan ruang untuk saya beribadah.”

Meski Kim tidak paham dengan Ibadah yang dimaksudkan oleh Samiya, tapi ia berusaha memahami perasaan perempuan yang duduk di sampingnya.

“Anda bisa berbahasa Inggris?” tanya Kim.

Samiya menganggukkan kepala.

“Wah, seharusnya Anda tidak akan kesulitan menemukan pekerjaan di sini. Lihatlah, Anda bisa berbahasa Inggris, bahasa Korea Anda juga bagus. Selain itu Anda juga good looking,” puji Kim.

Samiya tersenyum samar.

“Ya, saya hanya bisa berharap dalam waktu dekat ini, bisa menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan saya. Saya tidak ingin menjadi wanita pengangguran dalam waktu lama di Korea,” candanya.

Tawa Kim pun meledak, walau berkerudung tapi Samiya sosok yang supel dan humoris. Itulah yang membuatnya tidak merasa canggung dengan perbedaan di antara mereka. Pemuda tampan itu bisa merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Samiya saat ini. Sendirian menjadi orang asing di negeri yang asing baginya. Perempuan itu butuh pekerjaan yang bisa memberikan waktu untuknya beribadah tanpa tergesa-gesa.

Kim terdiam dan larut dalam pikirannya. Dia sedang memikirkan pekerjaan apa yang bagus untuk Samiya?

Belum bisa menemukan solusinya, mobil pun telah sampai di wilayah tempat tinggal Samiya. Sebuah wilayah yang cukup mewah dengan apartemen-apartemen mewah yang berdiri megah.

“Anda tinggal di sini, Nona Samiya?” Kim melihat-lihat ke arah apartemen mewah yang berada di sisi kanan mobil.

Samiya menggelengkan kepala dan menjepit bibirnya.

“Anda bisa mengantarkan saya sampai di sini, karena butuh berjalan kaki tiga puluh menit untuk sampai ke tempat tinggal saya,” ujar Samiya menunjuk jalan setapak yang berada di sebelah apartemen berwarna putih bercampur abu-abu. Jalan setapak yang hanya cukup dilewati oleh satu mobil saja.

Kim lalu mengangguk dan bertanya lagi, “Boleh saya mengantar Anda sampai di rumah?” Melihat Samiya keberatan, ia lalu melanjutkan, “saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin mengantarkan Anda sampai tujuan, karena Anda saat ini sedang terluka.”

Samiya berpikir sejenak, bola matanya bergerak ke atas. Dia pun menganggukkan kepala.

Kim kemudian memarkir mobil di dekat kawasan apartemen. Mereka melanjutkan perjalanan menapaki jalan kecil di belakang apartemen mewah itu. Tidak ada percakapan di antara mereka, yang terdengar kali ini hanyalah bunyi sepatu mereka dan sepeda motor yang sesekali melewati mereka.

Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Samiya sedang memikirkan, siapa Kim Tae Ho sebenarnya? Dan apa pekerjaannya? Dia terlihat seperti orang kaya, tapi begitu rendah hati.

Sementara Kim Tae Ho juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia begitu kagum dengan keteguhan Samiya. Seorang wanita yang sampai rela kehilangan pekerjaan demi agamanya, meskipun begitu ia masih bisa tersenyum dengan masalah yang dihadapinya saat ini.

“Saya sangat percaya kepada Tuhan, Tuan Kim. Tuhan pasti sedang mempersiapkan sesuatu yang begitu indah untuk saya suatu saat nanti.” Kalimat yang diucapkan Samiya saat di mobil tadi, kembali terngiang di telinga Kim.

Tuhan? Bagi Kim, Tuhan hanyalah untuk orang-orang yang percaya kepada agama. Sedangkan dia? Baginya agama hanyalah formalitas saja.

Samiya berhenti di depan perumahan yang cukup padat penduduk, karena sejauh mata memandang hanya terdapat rumah berjejer rapi.

“Kita sudah sampai, Tuan Kim.” Samiya memecah keheningan.

“Tempat tinggal Anda di mana?” tanya Kim Tae Ho dengan mengedarkan pandangan dari satu rumah ke rumah lainnya.

“Saya tinggal di sana, Tuan Kim.” Samiya menunjuk sebuah kamar yang berada di atas atap rumah.

Para pekerja sepertinya menyebut dengan rumah atap. Rumah atap rata-rata berukuran kecil dan hanya terdapat satu ruangan. Dapur dan tempat tidur berada dalam satu ruangan.

Kim Tae Ho mengerutkan dahi kemudian tersenyum samar. Dalam hati ia tidak setuju Samiya tinggal di rumah seperti itu. Bagaimanapun dia adalah seorang wanita.

“Anda bisa mengantarkan saya sampai di sini. Terima kasih telah mengantarkan saya selamat sampai tujuan.” Samiya kembali memperlihatkan senyum indahnya.

“Itu sudah kewajiban saya, Nona. Anda jangan lupa, ini terjadi karena kecerobohan saya.” Kim tersenyum memperlihatkan giginya yang berukuran kecil dan terlihat rapi.

“Baiklah Nona, saya pamit dulu. Oh ya, jangan lupa minggu depan Anda harus ke Rumah Sakit untuk melepaskan gips. Saya akan menjemput Anda,” lanjut Kim pamit.

Samiya awalnya keberatan dengan tawaran Kim Tae Ho, tapi ia bisa melihat niat tulus dari sorot matanya. Pria itu melakukannya hanya sebagai ungkapan permintaan maaf atas kesalahannya.

Sebelum pulang, Kim meminta nomor handphone Samiya, agar bisa dengan mudah menghubunginya.

Bersambung....

avataravatar
Next chapter