webnovel

Kisah Pelacur yang Bercerita Panjang Tentang Akhir Zaman

Kau masih terus menunggu kapan ia mulai bercerita, dan bunyi 'nging kesunyian’ yang memuakkan masih menerkam benakmu bulat-bulat. Lalu, setelah ia menghirup nafas agak panjang, dan kau pun telah bersiap mendengarkan apa yang akan ia ceritakan itu dengan saksama, kemudian setelah ia membuang habis seluruh udara yang tadi ia hirup, ia pun memulai ceritanya; bahwa pada suatu masa yang jauh sekali ke belakang terhitung mulai dari sekarang, hiduplah seorang gadis buta di sebuah kampung di tepi sebuah sungai besar yang telah mengering bernama Plancaisa. Gadis buta itu, ke mana pun ia ingin pergi, maka ia akan selalu dituntun oleh seekor anjing hitam besar yang besarnya hampir sama dengan tubuh gadis itu, dan perihal penglihatan gadis itu, semua orang-orang yang ada di sana tak pernah satu pun yang mengetahui kapan persisnya gadis itu kehilangan cahaya pada kedua matanya—mereka hanya tau bahwa gadis itu tiba-tiba telah begitu saja sejak ada di kampung mereka, dan mereka juga tak pernah bisa memastikan sejak kapan pastinya anjing hitam besar itu mulai menemani sang gadis. Dan untuk yang tadi telah disebutkan, akhirnya membuat semua penduduk kampung itu hanya bisa mengira-ngira perihal apa pun tentang si gadis. Sebagian dari mereka bahkan ada yang beranggapan bahwa keduanya dilahirkan dalam waktu bersamaan; dalam artian mereka berdua itu juga keluar dari lubang yang sama—tentu saja yang dimaksud lubang di sini adalah lubang penanda bagi setiap manusia yang berlubang, dan meski setiap manusia memiliki lubang, tapi lubang yang satu ini bisa digunakan untuk membedakannya antara satu manusia berlubang dengan manusia berlubang lainnya yang tidak memiliki lubang yang satu dan khusus ini, melainkan memiliki tanda yang berbeda dan bukan dalam bentuk lubang, tapi berbentuk seperti sebuah pensil yang ujungnya diraut agak kasar, sehingga ujungnya jadi berbentuk lancip namun tumpul. Lalu suara 'nging kesunyian' tiba-tiba kembali berbunyi dikepalamu, dan kau kemudian melihat kepada bibir perempuan itu; yang ternyata juga telah berhenti bergerak. “Apakah kau masih mendengar ceritaku?” ucapnya kemudian setelah sejenak berhenti untuk memastikan bahwa kau masih mendengar ceritanya. Sementara itu, otakmu tengah melayang-layang terbang jauh menuju tempat yang tadi ia sebutkan dalam ceritanya, tapi sampai detik ini tempat itu masih saja belum bertemu oleh jangkauan radar ingatanmu.

Pati_Barau · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Bab 3

Kau lalu mengangkat gelas sejajar dadamu, dan tanpa melepaskan pandangan dari kedua matanya, kemudian dengan lagak meyakinkan bak seorang pemabuk andal kau pun mengajaknya bersulang.

Ia menyambut ajakan itu dengan seutas senyum yang ia lukis sendiri pada wajahnya, menggoyangkan kepalanya untuk menyibakkan rambutnya yang jatuh menutupi setengah pelipisnya sebelah kiri, lalu mengangkat gelas selokinya sejajar denganmu untuk kemudian dari masing-masing gelas terdengar bunyi yang beradu nyaring dan lantang, dan itu sekaligus menjadi pengantar bagi malam yang sedang menanjak naik di langit Komune Pigalle yang tenang tapi tak pernah tidur, dan desir angin sudah dari tadi pergi meninggalkan Komune sombong itu untuk menuju puncak Montmartre yang perkasa, lalu melintas berkelok sambil mengangkangi kubah-kubah Basilica Sacre Coeur, meninggalkan piuhnya di sudut-sudut bar Le Kremlin yang merah terang, lalu berkesiur mencari tempat pulang di antara bangunan-bangunannya yang tua dan pongah tapi masih selalu siap menantangi waktu—bangunan-bangunan yang pada setiap dindingnya menyimpan banyak kesedihan dan kesenangan yang tersimpan dari tiap-tiap zaman, merekam setiap keangkuhan dan segala-gala keserakahan, sepanas-panasnya api gairah dan sekeras-kerasnya desahan, menyingkap seluruh kebinalan dan juga kebanalan; serta segala hal yang menjadi ciri khas bagi makhluk malang yang disebut dengan manusia ini.

Lalu setelah itu, hanya dalam satu tarikan nafas, kemudian gelas yang tadinya berisi setengah tersebut kini telah kosong dan sama sekali tak menyisakan sesuatu apapun di dalamnya, kecuali hanya udara malam kota yang masih saja setia dan tersisa pada setiap ruang yang kosong—yang selalu menyimpan keterhubungan setiap jiwa pada makhluk yang hidup dan masih terus berkehendak pada Tuhan yang selalu sibuk menyembunyikan diriNya.

Persis seperti sebelumnya, tiba-tiba saja matanya kemudian memejam dan dahinya mengerut buruk seakan terisap ke dalam kedua bola matanya. Tapi tak lama, hanya sebentar, lalu setelah itu kedua matanya terbuka lagi dengan senyum yang mengembang lalu perlahan-lahan berubah menjadi tawa, yang renyah dan bergairah.

Dan seperti tawa-tawa yang renyah dan bergairah lainnya—yang tanpa sadar akan dapat mempengaruhi orang-orang untuk ikut masuk ke dalamnya. Hal itu tanpa sadar juga ikut membuatmu tertawa saat mendengar suara tawanya yang seperti memanggilmu untuk masuk ke dalamnya tanpa banyak tanya, dan tanpa bisa protes perihal apapun yang sedang ia tertawakan.

"Bagaimana!? Apa kau sekarang sudah ingat tentang kejadian semalam?" tanyamu kemudian dengan diikuti tawa renyah yang tak bisa kau tahan.

Tawanya tiba-tiba berhenti sejenak saat mendengar apa yang kau tanyakan, sedang matanya memandang padamu dengan lekat seolah sedang mengingat sesuatu dengan keras, menunggu, menunggu, dan menunggu. Tapi sepertinya ingatan yang ia tunggu dan harapkan itu tak kunjung datang menghampiri tempurung kepalanya. Lalu ia pun kembali mengulum senyumnya sendiri.

"Masih belum," ungkapnya tak lama kemudian, suaranya terdengar berbeda dari sebelumnya, ia seperti menahan sesuatu yang menggelitik di dalam mulutnya, atau mungkin dari dalam hatinya, atau malah bisa saja dari dalam perutnya.

Lalu, tanpa ada jeda sedikit pun dengan akhir kata yang ia ungkapkan, kemudian sekali lagi tawanya pecah berhamburan ke udara, mengisi ruang-ruang kosong, berderai di antara rerumputan yang mengembun, lalu jatuh di antara semak-semak—tawanya kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya.

Kau pun sekali lagi tanpa sadar ikut tertawa karena melihat ulahnya yang demikian—yang tanpa ada alasan pasti tiba-tiba saja ia menumpahkan semua tawanya sepuasnya. Dan sama seperti tadi, kau sama sekali tak memiliki kesempatan untuk memikirkan alasan yang membuatnya tertawa, sedang bagimu alasannya sudah pasti karena terbawa oleh suara tawanya yang memang mempunyai daya magis yang mampu membawamu untuk ikut terbawa dan tertawa sama sepertinya. Itu terjadi dalam waktu yang agak lama. Berulang-ulang, sampai wajahmu menjadi merah padam, dan urat-urat pada batang lehermu menyembul seperti selang air yang ujungnya tersumbat.

Dan setelah puas, dalam jeda yang tak dapat disebutkan; antara kau berhenti tertawa dan saat ia mengambil nafas untuk menghabiskan sisa tawanya. Kau kemudian sekali lagi mencoba bertanya.

"Sudah ingatkah kau sekarang?"

Ia lalu menatapmu, dengan perasaan yang entah apa kini ada di hatinya, begitu bias dan sangat sulit untuk diterka. Tatapan yang hampir sama seperti tadi, tapi mulai berat dan binarnya memperlihatkan cahaya kebahagiaan yang tak terkira—walau masih menyembunyikan perih jauh di dalamnya.

"Aku tak mau tau," katanya kemudian dengan lugas dan cepat, lalu disusul Kembali oleh suara tawanya yang bertambah keras.

Sementara itu, kau hanya bisa memandangnya dengan pandangan yang kecut sambil bibirmu menyungging berat ke sebelah kanan, hatimu sebenarnya sedikit jengkel dengan ulahnya yang sedikit kekanakan itu, sedang di balik sifat kekanakannya itu kau pun perlahan mulai mengagumi cara bagaimana pikirannya bekerja, yang kadang dengan mudah dan tiba-tiba saja terbang tinggi, setinggi-tingginya, jauh dan tinggi sekali, kemudian meliuk-liuk, lalu menukik tajam sesuka hatinya, serupa seekor burung yang baru saja lepas dari sangkarnya yang pengap, dengan girang meloncat ke sana ke mari tanpa beban sedikit pun, dan berkicau semaunya, begitu lepas begitu bebas. Lalu, kini kau pun jadi mulai menerka-nerka dan bertanya, apalagi kira-kira yang lebih berharga dan menyenangkan dari menjadi seorang manusia selain tetap menjadi kanak-kanak?