23 Penyesalan

"Itu… barusan…"

"Air putih" Jawab Velina cepat.

Eh?

Jun menatapnya bingung. Sementara, Jena mengulum sebuah senyuman. 

"Itu cuma air putih. Prototype yang baru saja kita berikan pada Afriza tidak akan membahayakan hidupnya untuk jangka panjang. Selama ia banyak minum air putih, dalam waktu 18 jam ia akan baik-baik saja". Velina menerangkan.

"Lalu…"

"Aku mengatakan itu agar dia dapat fokus pada hidupnya. Bayangkan, kalau kamu tak punya uang, tapi kamu perokok. Maka, kamu akan menghabiskan uangmu untuk selalu beli rokok. Padahal, untuk satu bungkus rokok yang kamu hisap setiap harinya, bila ditabung dengan jumlah yang sama, dalam sebulan saja sudah lumayan tabunganmu." Velina tersenyum simpul pada Jun.

"Aku juga mencium sedikit bau alkohol di tubuhnya. Ia terlihat agak depresi. Seseorang tak akan bisa berpikir jernih dan menata hidupnya kembali bila tubuh mereka sudah terpengaruh dan tenggelam dalam alkohol." Lanjutnya lagi.

Jun: "..."

"Aku tak mengerti, kenapa kakak justru memberikannya uang bukannya menghukumnya? Ia hanya melihat Nadine sebagai mesin uang!" Jena mendengus kesal.

"Apa yang terjadi pada Nadine, juga merupakan salahku. Sebagai seorang kakak, aku tidak tahu apapun tentang adikku sendiri." Jawab Velina lirih. Kepalanya menunduk, menatap lantai.

"Selama ini aku bersenang-senang di luar sana, tanpa memikirkan jika ia sedih atau senang… Aku seperti tak mau tahu, tenggelam dalam kehidupanku sendiri…" Lanjutnya lagi.

"Tapi, kakak juga tak selalu hidup enak-enakan di luar sana! Kita sering menjalani misi rahasia dan tak seorangpun boleh tahu keberadaan kita dan apa yang kita lakukan! Aku bahkan tak punya media sosial…" Sahut Jena lagi.

Jun menyentuh bahu Jena, menggelengkan kepalanya, memberikan sinyal untuk diam.

"Aku… tak tahu apapun tentang Nadine…" Velina berkata lagi, matanya memerah.

Akhirnya, Jena menggigit bibirnya. Kini ia mengerti maksud Velina. Dalam hati, kedua kakak beradik itu merasa bersalah karena telah "merebut" kasih sayang Velina yang semestinya dia curahkan pada adiknya, bukan pada mereka. 

Jena merasa ia sangat serakah. Ia sudah memiliki seorang kakak yang sangat menyayanginya, namun, ia juga menginginkan kasih sayang Velina. Sebelas tahun yang lalu, mungkin, jika ia tidak mencoba untuk menghentikan kepergian Velina dari Kota Hang Zhou dan tidak merengek padanya agar jangan pergi, mungkin gadis itu tidak akan mengadopsi mereka berdua, Dan dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan adiknya, Nadine.

Sementara itu, Jun yang mengerti apa yang terjadi, melangkah ke arah Velina. Ia berjongkok di hadapan Velina yang tengah duduk di kursinya, sambil menatap kedua matanya lekat-lekat.

"Kak, aku minta maaf, karena kami berdua, kau justru malah mengabaikan adikmu sendiri..." Ujarnya lirih. 

Jena kemudian juga ikut berjongkok di hadapan Velina. "Kak, maaf, andai saja dulu aku tidak merengek padamu meminta ikut denganmu…" Ujarnya, air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meskipun terlihat cuek, Jena sebenarnya adalah seorang gadis yang sensitif.

Ia sama sekali tidak bisa membayangkan jika Velina dan keluarganya tidak mengadopsi mereka, mungkin mereka masih tetap akan tinggal di bawah jembatan. Teringat masa-masa suramnya yang selalu penuh dengan ancaman, mencuri makanan, berebut makanan, diusir dari depan toko di malam hari ketika mereka tengah tidur beralaskan karton, ia lalu mulai menangis kencang, bergidik membayangkan jika tak ada Velina dalam hidupnya. 

Sementara itu, Jun, menjadi kebingungan. Ia merasa terjebak berada diantara dua wanita. Ia mulanya berniat untuk menghibur Velina yang sedang bersedih, namun kemudian ia juga harus menenangkan adiknya yang justru ikut bersedih dan malah menangis sesenggukan. Jun tak tahu jika dia harus tertawa atau menangis melihat keadaan seperti ini.

Akhirnya, Jun menyadari sesuatu. Pantas saja Nadine terlihat dingin padanya. Mungkinkah gadis itu merasa cemburu melihat kedekatan mereka dengan kakaknya? Meskipun mereka sangat jarang bertemu apalagi berinteraksi, namun Jun dapat melihat beberapa kali ketika dahulu Nadine sesekali menghubungi Velina. Baik itu panggilan telepon ataupun video, bila ada Jun atau Jena, mereka tidak akan berbicara lama-lama. 

Mulanya ia benar-benar mengira Nadine memang sosok introvert yang pendiam dan tak banyak bicara, namun, siapa sangka kalau ternyata… salah satu penyebabnya adalah… dirinya dan adiknya?. Ia menghela napas panjang. Disatu sisi ia merasa malu, sama seperti Jena, ia juga merasa jika ia telah merebut kasih sayang yang bukan miliknya dan merampasnya dari seseorang yang lebih berhak.

Velina lalu juga ikut duduk di lantai, memeluk mereka berdua dengan penuh sayang. Dia juga merasa bersalah pada mereka berdua karena telah membuat mereka berdua merasa tak enak hati, padahal memang dia sebenarnya merasa telah tak memperdulikan adik kandungnya sendiri, karena dia mengira adiknya sudah hidup enak tinggal di rumah yang besar bersama dengan kakek dan ayahnya, sementara dia dan kakaknya dari kecil sudah harus hidup mandiri karena kakeknya yang menyuruh mereka untuk berlatih keras agar dia dapat menjaga dirinya sendiri di kemudian hari. Ingin menjadi anak yang berbakti, Velina dan Marino pun menuruti kemauan ayah dan kakeknya, pergi meninggalkan rumah untuk mempelajari kerasnya kehidupan di luar rumah.

Velina menghela napas yang berat.

*******

Sementara itu, di suatu gedung perkantoran yang sibuk.

Nadine sedang mengamati hasil laporan bulanan yang baru saja diserahkan oleh sekretarisnya. Tiba-tiba saja, ia merasakan jika dadanya berdegup kencang. Ia mengerutkan keningnya, 'Apa aku sedang sakit? Apa sakitku kambuh lagi?'. Untuk sesaat, ia terdiam cukup lama. 'Tapi, kenapa ini terasa beda dari biasanya? Aku tak merasa keringetan kok!'.

Ia sama sekali tidak mengira, jika perasaan aneh yang dirasakannya adalah karena kakaknya, Velina, sedang merasakan kesedihan  karena merasa bersalah telah mengabaikan adik satu-satunya dan justru sempat merasa iri padanya karena diantara mereka bertiga, hanya Nadine-lah yang tidak pernah merasakan latihan yang sangat keras di luar sana hingga sempat membuat Velina stress berat.

avataravatar
Next chapter