22 Pengakuan Afriza

Velina tertegun mendengar pernyataan pria yang didudukkan di hadapannya itu. Dia sama sekali tak menyangka, jika orang yang dikiranya adalah salah satu musuh yang mengincar keluarganya, ternyata justru merupakan mantan pacar adiknya. 

Nadine tak pernah sekalipun bercerita tentang hal ini padanya, meskipun sesekali mereka tetap saling menelepon ketika Velina masih hidup nomaden di luar negeri. 

"Siapa namamu?" tanya Velina. Dia ingin memastikan jika pria di depannya itu memang benar-benar mengenal adiknya, bukan musuh yang sedang menyamar.

"Afriza.. Afriza Nadim!" Jawabnya. 

"Baiklah, Afriza… Tolong ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian berdua" pinta Velina, dengan nada datar.

Afriza lalu mulai menceritakan kisah mereka, dari awal bertemu sampai ketika mereka berpisah. 

"Aku… Terlahir dari sebuah keluarga yang miskin. Dari kecil sampai aku kuliah, aku bisa bersekolah karena aku selalu berhasil mendapatkan beasiswa…" Ia mulai menceritakan kisah hidupnya. 

"Aku mulai mengenal Nadine, karena dulu kami sering berpapasan di perpustakaan kampus. Kemudian, kami menjadi dekat. Namun, aku tidak memiliki perasaan apa-apa padanya." Ia menghela napas panjang.

"Suatu hari, beberapa orang mahasiswa dari jurusan lain menghadangku, mereka mengatakan jika aku berhasil memacari Nadine selama dua minggu, mereka akan memberikan aku uang yang banyak. Saat itu aku memang sangat membutuhkan uang, jadi aku mau menerima perintah mereka…" Afriza menggigit bibirnya. 

Detik itu juga, Velina dapat membayangkan kelanjutan cerita Afriza.

"Singkatnya, aku berhasil memacari Nadine, dan sehari sebelum aku harus memutuskan hubungan kami, dia kebetulan mendengar obrolan para mahasiswa itu tentang tantangan yang mereka berikan padaku. Saat itu juga, Nadine mencariku untuk mengetahui yang sebenarnya. Setelah itu, aku tak pernah melihatnya lagi…"

Dada Velina tiba-tiba terasa sesak. Dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang adik kandungnya sendiri! Padahal dia punya banyak mata-mata yang dapat dengan mudah dia mintakan tolong untuk mengawasi adik satu-satunya itu.

"Lalu, sekarang kau menguntitnya?" Tanya Velina, sambil memicingkan kedua matanya. 

Afriza menelan ludah melihat ekspresi Velina yang menurutnya menakutkan, membuatnya merinding. "Aku tak sengaja bertemu dengannya beberapa hari yang lalu di kafe tempatku bekerja. Pada saat itu dia tidak mengenaliku! Aku... Aku… aku sangat membutuhkan uang saat ini! Jadi.. Aku memberanikan diri untuk dapat meminjam uang padanya, karena hutangku besar sekali!" Lanjutnya, terlihat sangat khawatir. 

"Kau pikir karena adikku banyak uang, dia akan memberikannya padamu semudah dia kentut?" Tanya Velina, jelas terlihat sangat sebal. Pria di hadapannya ini benar-benar tidak tahu malu. 

"Aku berhutang pada rentenir untuk pengobatan ibuku! Sekarang ibuku sudah meninggal dan aku tidak punya apa-apa lagi selain hutang!" Jawabnya, sambil menangis. 

Velina tahu ia tidak berbohong. Dia terdiam lama sekali, sambil menatap Afriza yang masih tersedu-sedu, ia terlihat sangat putus asa.

Dia lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam dompetnya, dan menuliskan sesuatu diatasnya. Lalu, dia memberikannya pada Afriza. 

Afriza menerimanya dan membaca tulisan diatas selembar kertas itu. Tiba-tiba, kerongkongannya tercekat. Ternyata, itu adalah selembar cek, bertuliskan angka 250.000 dollar!. Ia membelalakkan kedua matanya lebar-lebar, sama sekali tak mempercayai penglihatannya. Ia mengucek-ngucek matanya berkali-kali, lalu, ia menatap Velina dengan pandangan tak percaya. Ia berusaha mengatakan sesuatu, namun, tak satu katapun keluar dari dalam mulutnya.

"Aku ingin kau enyah dari kehidupan Nadine untuk selamanya. Ini bukan permintaan. Ini perintah! Anak buahku akan selalu mengawasi keberadaanmu." Velina menatap kedua mata Afriza dengan tajam.

"Ini… Terlalu banyak…" Ucap Afriza akhirnya, merasa malu dan tak berdaya.

"Kau bisa membayar hutang-hutangmu dan menggunakan sisanya untuk memulai hidup baru. Syaratku hanya satu, jangan pernah kau dekati adikku lagi!" Ancam gadis itu.

"Lalu…"

"Kau boleh pergi sekarang" lanjut Velina lagi. 

"Bagaimana dengan racun di tubuhku?" Tanyanya takut-takut. 

Velina menghela nafas, lalu dia membisikkan sesuatu pada Jena. Jena pun kemudian  mengangguk mengerti dan segera pergi. Tak lama setelah itu, ia kembali dengan sebuah baki kecil yang berisi segelas cairan berwarna bening.

"Minumlah penawar ini. Kau akan merasa baikan dalam beberapa jam" Velina memberitahu.

Dengan agak curiga namun tak berani membantah, Afriza mengambil gelas yang berisi cairan berwarna bening itu. Dengan cepat ia segera meneguk habis cairan tersebut, karena ia takut Velina akan berubah pikiran.

Setelah ia menelan cairan itu, ia mengerutkan dahinya, dan agak memiringkan kepalanya ke kiri. 'Kenapa penawar ini rasanya seperti air putih? Apa dia mencoba membodohiku?' Pikirnya dalam hati.

Ia jadi meragukan kebaikan Velina.

"Oh ya, aku harus memberitahumu sesuatu. Residu racun akan selamanya menempel di tubuhmu. Kau tak boleh merokok dan meminum minuman beralkohol karena hal itu akan memacu detak jantungmu. Apa kau mengerti?"

Afriza hanya dapat menganggukan kepalanya dengan bingung. Ia sama sekali tak mengerti. Baru beberapa saat yang lalu wanita muda di hadapannya ini terlihat sangat kejam.

Lalu kenapa dia tiba-tiba terlihat sangat pemurah? Pasti ada sesuatu yang tidak diketahuinya!

Velina lalu menjentikkan jarinya, dan seseorangpun mendekat.

Setelah itu, anak buah Velina segera menutup kepala Afriza dengan menggunakan sebuah kantong penutup kepala berwarna hitam pekat. Bahan kain itu sangat rapat, sehingga Afriza sama sekali tak dapat melihat sekelilingnya. 

Setelah melihat kode persetujuan dari Velina, anak buahnya itupun lalu pergi sambil membawa Afriza bersamanya, keluar dari dalam gedung fasilitas rahasia itu.

avataravatar
Next chapter