webnovel

KING OF THE WARRIORS

“Katakan padaku apa yang harus aku lakukan agar kau bersedia menjadi panglima perangku?” Raja Alventius memandang tajam pada sosok pria yang badannya tidak lebih tinggi darinya, namun lebih tegap dan berkharisma di antara jenderal-jenderal yang pernah ditemuinya. Pria itu, Rendevis Oldernys, hanya diam mematung. Ia tidak memberi jawaban apa pun. Ini adalah kesekian kalinya, dirinya kedatangan pembesar-pembesar kerajaan di wilayah utara. Kemampuannya yang tidak hanya dapat memahami bahasa manusia, tetapi juga hewan, tumbuhan dan alam ghaib, membuatnya menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar yang ingin menjadikan dirinya sebagai panglima perang mereka, untuk membantu mereka menjadi penguasa tunggal dunia. “Apa yang kau inginkan? Harta? Berapa banyak yang kau inginkan? Atau wanita? Aku akan memberikan gadis-gadis baru setiap harinya untuk memuaskan nafsumu. Atau kau ingin menjadi pemimpin para jenderal? Aku akan dengan mudah memberikannya padamu.” Bujuk rayu para pembesar itu terus saja dilontarkan agar pria gagah dan tampan itu bersedia bergabung bersama mereka. Lain hari, pemimpin dunia sihir datang bertamu dengan tujuan yang sama. Hingga mereka menawarkan ramuan keabadian kepada Rendevis. Namun, sikap pria itu tetap sama, tidak memberikan jawaban apa pun. Ia hanya diam mendengarkan layaknya seorang tabib yang mendengarkan keluh kesah pasiennya. “Apa yang harus kami lakukan agar kau bersedia bergabung dengan pasukan kami?” Raja Negeri Air tidak ketinggalan ikut membujuk Rendevis. “Tidak ada. Aku sama sekali tidak tertarik dengan semua tawaran kalian.” Jawaban singkat yang sama yang selalu diberikan setelah cukup lama dirinya menjadi pendengar setia pembesar-pembesar itu. “Silakan kalian pulang ke negeri kalian. Aku tidak akan ke luar dari tempat ini, kecuali keadaan yang sangat darurat terjadi di bumi ini.” Siapa sebenarnya Rendevis Oldernys? Keadaan darurat yang bagaimana yang dimaksud Rendevis? Siapa yang akan berhasil meminangnya menjadi panglima perang?

lavendermyname · Fantasy
Not enough ratings
5 Chs

Bab 2. Pria Berjenggot Putih

Rendevis mengedarkan pandangannya. Satu per satu pasukan berkuda mulai mendekat ke arahnya, mengepung dirinya beserta pasukannya. Rendevis tidak ingin bersikap gegabah. Tidak mungkin hanya karena jarak dirinya yang tinggal satu kilo meter dari batas wilayah utara dan selatan, menjadi alasan terjadinya pertumpahan darah di daerah ini. Cemoohan seperti apa yang akan di terima oleh penguasa yang berbatasan langsung dengan wilayah utara?

"Lama tidak berjumpa, Jenderal?" Suara bariton terdengar dari arah samping kanan Rendevis. Sosok itu lalu melompat turun dari kuda yang ia tunggangi dan melangkah mendekat ke arah Rendevis.

Rendevis sekali lagi memicingkan matanya, berusaha mengenali sosok pria yang berjalan mendekat ke arahnya.

Senyum kaku yang tersungging, membuat Rendevis dengan cepat mengenali sosok itu. "Apakabar, Jenderal Mogelous?" Rendevis sedikit menunduk, memberi hormat.

Mogelous memeluk tubuh Rendevis. Ada sedikit kelegaan dalam jiwa pria berusia hampir setengah abad itu, ketika mendapati sikap Rendevis yang tidak berubah meski mereka adalah musuh bebuyutan. Dirinya tidak pernah membenci Rendevis tapi tugasnyalah yang membuatnya dengan terpaksa menjaga jarak dengan pria yang sudah berhasil menjadi jenderal di usia muda itu.

"Selalu sehat, itu adalah satu-satunya harapan untuk diriku dan juga untuk musuh-musuhku, agar kita bisa selalu berlatih untuk meningkatkan kemampuan kita," jawab Mogelous sambil menepuk punggung Rendevis sebelum melepas pelukannya.

Rendevis terkekeh. "Harapan macam apa itu, Jenderal? Bukankah itu sama saja dirimu mendoakan agar bumi ini terus dilanda peperangan?"

Mogelous tergelak. "Bukankah itu adalah tugas kita? Membuat perang?"

Rendevis menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. "Kalau memang begitu, aku lebih baik menjadi petani saja. Mencangkul dan menggaru tanah, lebih aman daripada menjadi prajurit yang setiap saat bisa meregang nyawa."

"Kau ini jangan begitu merendah. Kemampuan berperangmu di atas rata-rata, bahkan aku sendiri masih harus sering berlatih keras agar bisa menang darimu."

"Jenderal Mogelous terlalu merendah. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan Jenderal. Memegang pedangpun belum kuat, apalagi menebaskannya ke arah lawan."

Mogelous hanya tersenyum simpul. Dia tidak bisa dikecoh oleh Rendevis. Dirinya sendiri pernah menyaksikan bagaimana sepak terjang Rendevis di medan perang. Ayunan pedangnya begitu cepat hingga tanpa sadar, lawan sudah terkapar tidak berdaya. Bidikan panah Rendevis pun begitu akurat. Jenderal muda itu mampu menembak tepat semua sasarannya.

"Sudah cukup basa-basi kita hari ini." Wajah Mogelous seketika berubah menjadi dingin, sangat dingin. "Ada keperluan apa dirimu mendekat ke arah selatan?" Mata Mogelous menatap Rendevis begitu tajam, seolah ingin menerkam.

Rendevis mendengus sebal. Semua gara-gara Oubtree. Andai pria berjenggot tak terlihat itu tidak datang menghampirinya tadi, ia tidak akan sial seperti ini. Ia mengumpat dan terus mengumpat dalam hati. Ia harus bisa mencegah kesalahpahaman ini menjadi perang pendek di kawasan ini.

"Maafkan aku, Jenderal. Aku hanya melakukan patroli rutin, tidak lebih."

"Dengan membawa pasukan sebanyak ini?" Mogelous menatap ke arah pasukan yang ada di belakang Rendevis, dengan tatapan tidak percaya. "Melihat begitu banyak pasukan yang berada di belakangmu, membuatku meragukan ucapanmu." Mogelous berjalan mengitari Rendevis yang memilih menundukkan kepalanya.

Rendevis sedang berpikir keras, alasan apa yang harus ia ucapkan pada jenderal senior di depannya, agar misinya untuk menakuti kerajaan-kerajaan di wilayah selatan dan juga kerajaan air yang berada di barat wilayah utara, mengurungkan niatnya untuk melakukan ekpansi kekuasaan ke wilayah utara.

"Apakah aku harus menjawab jujur pertanyaanmu, Jenderal?"

"Jika berkata jujur adalah satu-satunya cara agar tidak terjadi pertumpahan darah di kawasan ini, maka itulah yang harus kau lakukan, Jenderal Rendevis," ujar Mogelous sembari menghentikan langkahnya, tepat tiga langkah di depan Rendevis.

Rendevis tidak punya pilihan lain. Ia harus segera mengambil tindakan, jika tidak, pedangnya akan meminta banyak darah. "Aku harus melakukan patroli karena ada kabar jka akan ada pertemuan di kerajaan air, entah pertemuan apa. Aku hanya berjaga-jaga, jangan sampai ada seorang penyusup atau sekelompok orang menyusup ke pertemuaan itu, lalu memprovokasi mereka yang hadir dalam pertemuan itu."

Mogelous menyimak. Kedua tangannya berada di depan dadanya saling bertumpu satu sama lain.

"Keadaan akan menjadi semakin rumit jika kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah utara termakan isu yang disebarkan oleh seorang oknum."

"Dari mana kau mendapatkan kabar ini?" Mogelous masih meragukan penjelasan yang diberikan Rendevis.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa mengatakannya padamu."

Mogelous tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak punya cukup bukti untuk menggiring Rendivis berserta pasukannya dalam sebuah pertempuran. Ia juga tidak bisa bertindak gegabah. Rendivis bukanlah sosok yang suka menebar berita palsu, pun seorang penjilat seperti kebanyakan pejabat. Sikap Rendevis yang sangat memegang prinsip dan selalu berkata jujur sudah terkenal di semua kalangan.

"Baiklah. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini. Tapi, ada baiknya kau tidak perlu membawa pasukan sebanyak ini jika hanya ingin melakukan patroli. Aku khawatir akan ada yang salah paham dengan tindakanmu ini," saran Mogelous. Pria setengah baya itu memberi aba-aba agar pasukan berkuda yang ia bawa bersiap meninggalkan tempat itu.

"Terima kasih atas nasihatnya, Jenderal. Aku akan mendengarkan saranmu tapi tidak ketika aku berada dalam keadaan mendesak," jawab Rendevis kembali menundukkan kepalanya, memberi salam hormat sebelum jenderal tua itu pergi meninggalkan dirinya dan pasukannya.

Mogelous segera naik ke atas kudanya, melesat cepat meninggalkan Rendevis diikuti anak buahnya. Sesaat Rendevis menarik dan melepaskan nafas lega. Entah benar atau tidak berita yang ia dapat dari Oubtree tadi, yang terpenting ia bisa memberikan alasan yang sedikit bisa meredam amarah pasukan berkuda kerajaan Neyrolous yang satu per satu mulai menyusul jenderal mereka.

"Untuk kali ini kita bisa bernafas lega," ucap Rendevis. Ia menghunus pedangnya , lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. "Pedangku masih tertidur, belum meminta korban. Jika ada yang merasa tidak sanggup untuk mengikuti perjalanan panjang ini, aku persilakan kalian ke luar dari barisan, dan kembali ke keluarga masing-masing., karena setelah ini , akan ada banyak rintangan yang akan menghalangi perjalanan ini."

Seluruh pasukannya terdiam. Mereka memilih diam dan semakin meyakinkan diri mereka untuk tetap di barisan, menjadi saksi bagaimana Jenderal kebanggan mereka mengamuk di medan pertempuran. Ini akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka, yang dapat mereka ceritakan pada istri, anak dan cucu mereka kelak, bahwa mereka pernah berperang bersama dengan jenderal besar berbakat, bernama Rendevis Oldernys.

"Kami siap, Jenderal. Kami akan mengikutimu dan setia padamu." Suara lima ratus prajurit pilihan pimpinan Rendevis menggema di seantero padang rumput Briem, membuat burung-burung yang sedang beristirahat di dahan-dahan pohon besar seperti pohon beringin dengan tinggi sekitar enam meter, yang ada di padang rumput itu beterbangan tak tentu arah.

Bersamaan dengan teriakan pasukan pilihan pimpinan Rendevis, angin kencang tiba-tiba berhembus dan membentuk lingkaran seperti tornado.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini, wahai Rendevis?" Suara serak menggema di angkasa, membuat para prajurit menutup telinga mereka, karena suara itu begitu keras dan memekakkan telinga.

Rendevis meletakkan pedangnya tepat di depannya, dengan ujung pedang menghujam tanah, sedangkan tangannya mencengkeram erat pangkal pedang, seraya menatap gumpalan angin yang berputar laksana tornado, yang berada beberapa ratus meter di hadapannya. Lambat laun angin yang berpusar berbentuk spiral disertai turunnya gumpalan awan dan berbentuk corong itu, membentuk siluet seorang pria dengan rambut panjang dan jenggot putih memegang tongkat panjang berwarna perak di tangan kanannya.

"Apakah kau hendak menabuh genderang perang?" Seketika ribuan pasukan berpenampilan sama, memegang tongkat dengan berbagai ukuran, berdiri di belakang pria berjenggot putih itu.