7 KING BULLYING - DIVORCE

Galena tersenyum sinis melihat sebuah map yang tergeletak di atas meja. Cukup membukanya sekilas, Galena sudah tidak terkejut lagi melihat apa isi map tersebut. Di dalam map, terdapat sebuah surat permintaan cerai yang sudah di tanda tangani oleh Monica, ibu Galena. Sepertinya Monica hanya tinggal menunggu tanda tangan Ryan sebelum melakukan persidangan.

Di pijit pelipis Galena, kepalanya kembali terasa sakit. Galena memang mengidap penyakit sakit kepala tegang kronis sejak tahun lalu. Rasa sakit kepala ini kabuh setiap hari dan gejalanya seperti terasa tekanan di belakang mata dan otot leher yang tegang. Biasanya penyakit ini berlangsung selama tiga puluh menit. Banyak faktornya, yaitu pola makan yang tidak sehat, dehidrasi, stress, kelelahan atau kurang istirahat, dan kurang berolahraga.

Galena terduduk di pinggir ranjang kamarnya dengan lesu. Ia memejamkan mata, rasanya ingin sekali menangis. Kapan semua kesialan yang di tanggungnya ini akan berakhir? Sial, sial dan sial. Hanya satu kata itulah yang terus berputar-putar di benak gadis berusia 17 tahun itu.

Tidak pernah ada cinta di dalam kehidupannya, Galena memang bersikap kurang sopan, jutek dan kurang bisa bergaul bersama teman-teman sebayanya karena sebetulnya kedua orang tua Galena kurang memberi pendidikan mengenai cara bersosialisas. Ketika Galena terjatuh, mau tak mau ia harus bangkit sendiri, ketika terluka maka Galena harus mengobati luka itu sendiri.

Akhirnya pertahanan Galena runtuh, ia menangis dalam diam. Bahunya bergetar, suara isakannya di tahan menggunakan kedua telapak tangannya yang menutupi wajah. Dadanya juga terasa sangat sesak, seakan semua beban hidupnya kini sedang berhimpitan di relung hatinya yang inginsegera di keluarkan. Rasanya seperti terkunci di sebuah ruangan gelap yang penuh dengan barang, namun sayangnya tak ada kunci untuk mengeluarkan semua beban itu. Galena sendiri tidak bisa mengeluarkannya, hanya di pendam yang bisa ia lakukan.

Di hapusnya air mata Galena dengan kasar, tak ada isakan yang keluar lagi dari bibir mungil ranum merah tersebut, tapi dadanya masih terasa menyesakkan, seolah sedang di himpit. Keluargnya memang masih utuh dan lengkap. Masih memiliki ayah, ibu sekaligus dengan seorang adik perempuan. Tapi selama ini ia selalu sendirian, semuanya sibuk dengan mengurusi ego masing-masing.

Tiba-tiba pintu kamar Galena di dobrak begitu saja membuat Galena hampir meloncat dari tempat duduknya karena terkejut. Di ambang pintu, muncullah Lili yang sedang memandang Galena dengan penuh murka. Gadis itu hanya berbeda 2 tahun dengan Galena, nama lengkapnya adalah Elina Zavira.

Sudut mata Galena menangkap sebuah map yang sedang di pegang oleh Lili. Tanpa perlu menunggu Lili untuk menjelaskannya, Galena sudah tahu apa tujuan Lili datang ke kamarnya dengan murka. Itu adalah sebuah map yang Galena lihat sepulang sekolah tadi.

"Gue gak tahu apa-apa." Galena membuka pembicaraan, seolah ia tahu apa yang sedang adiknya pikirkan saat ini.

"You are liar," desis Lili.

"Lo mau gue apa?"

"Jelasin ke gue kalau semua ini cuma bohongan. Selama ini papa dan mama selalu bak-baik aja, mereka cuma sibuk karena pekerjaan!"

Tanpa sadar Galena tersenyum sinis. Baik-baik saja di mata Lili tentu berbanding terbalik dengannya. Adiknya itu hanya tidak mengetahui kenyataan, kenyataan jika semuanya tak baik-baik saja, kenyataan jika sikap harmonis keluarga mereka hanyalah sebuah skenario belaka. Seandainya Galena bisa memilih, Galena ingin menjadi Lili yang tidak mengetahui permasalahan dan menganggap semuanya baik-baik saja. Ya, lebih baik seperti itu.

"Lo gak tahu apa-apa," tukas Galena dingin.

"Karena lo selalu diam! Lo gak pernah ngomong sama gue! Seakan gue selama ini hanya stranger di kehidupan lo!" teriak Lili.

Galena skakmat, tak bisa membalas ucapan Lili barusan. Ia menaik napasnya dalam-dalam kemudian tangan kanannya terangkat dan menunjuk pntu kamarnya.

"Get Out!" desis Galena tajam.

"GLEN!" bentak Lili.

"GET OUT FROM MY ROOM, LILI!" Sekarang, giliran Galena yang berteriak.

Lili menatap kakaknya dengan tatapan tak percaya, karena baru kali ini Galena membentak sekaligus mengusirnya. Tanpa mengatakan apapun lagi, Lili langsung keluar dari kamar Galena dengan perasaan berkecamuk. Galena menghela napasnya perlahan, semua kejadian hari ini benar-benar membuatnya lelah baik secara fisik maupun batin.

Galena merogoh kantong ranselnya kemudian menghubungi nomor ponsel Monica, panggilan pertama tak di jawab begitu juga dengan panggilan selanjutnya. Tanpa membuang waktu dulu untuk membersihkan diri, dengan masih menggunakan seragam sekolah Galena keluar dari kamarnya menuju kamar Monica. Ia menarik napasnya dalam-dalam sebelum mengetuk pintu kamar Monica sebanyak tiga kali.

Tok tok tok

Sekitar 5 detik Galena menunggu di depan pintu kemudian di bukalah pintu kamar Monica, ternyata ibunya sudah pulang ke rumah. Karena pakaian Monica masih menggunakan pakaian formal Galena yakin jika Monica belum lama kembali.

"Divorce?" sindir Galena tanpa basa-basi. Monica terlihat tegang ketika Galena membahas soal itu, tak perlu menunggu lama untuk Monica menyesuaikan diri kembali seolah itu bukanlah masalah besar.

"Apa maksudnya?" tanya Galena tanpa basa-basi.

"Apa? Apa penyebabnya?"

Monica tersenyum masam, "Bukannnya semua sudah jelas untuk berakhir?"

"Glen udah dewasa mam, setidaknya kasih Glen penjelasan,"

"Untuk apa? Tumben banget kamu penasaran sama urusan orang lain,"

"Mama bukan orang lain, mama itu ibu aku!" sentak Galena. Rasanya seolah-olah dirinya bukanlah anak dari Monica.

"Tugas kamu hanya belajar dan mendapatkan peringkat pertama di sekolah. Bukannya kamu emang biasanya gak peduli dengan urusan orang lain? Kamu selalu bersikap cuek dan gak peduli."

Galena tak bergeming, karena alasan inilah Galena selalu menghindari kontak dengan kedua orang tuanya. Monica, sang ibu yang selalu tidak memperdulikannya dan Ryan, ayahnya yang selalu berbicara formal kepadanya. Perlakuan kedua orang tuannya seakan Galena adalah orang asing di keluarga ini.

Demi tuhan, seiblis apapun sifat Galena tak akan bisa membohongi fakta jika Galena hanyalah gadis biasa yang baru menginjak dewasa. Sama seperti gadis lainnya yang selalu ingin bersenang-senang dan membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya. Cinta sungguh membuat Galena takut, cinta begitu mengerikan di mata Galena.

Galena menghela napasnya perlahan berusaha agar suasana hatinya tidak memburuk, kemudian ia tersenyum paksa. "Oke, apapun alasannya perceraian kalian. Glen gak akan pernah peduli lagi," tukasnya dingin.

Entah benar atau tidak yang pasti Galena tak pernah bermain-main dengan ucapannya sendiri. Tanpa menunggu jawaban lagi dari Monica, Galena langsung bergegas meninggalkan Monica.

"Pernikahan di atas kertas, hanya untuk suatu tujuan. Ryan telah menemukan pujaan hatinya sendiri. Mau penjelasan apa lagi?"

Galena tidak repot-repot membalikkan badannya hanya sekedar untuk menatap Monica yang sedang menjelaskannya. Sambil memunggungi Monica, Galena tersenyum miring.

"Glen gak peduli, itu bukan urusan Glen." Pekataan dingin yang berasil menusuk relung hati Monica berhasil di ucapkan oleh Galena tanpa menatap lawan bicaranya, setelah itu Galena benar-benar pergi dari hadapan Monica tanpa kembali menengok ke belakang.

Monica yang melihat sikap dingin Galena hanya bisa tersenyum miris menatap putri kesayangannya itu. "I'm so sorry darling." Gumamnya yang hanya bisa di dengar oleh Monica sendiri.

Sampai kapanpun, Galena tidak akan pernah mendengar kata permohonan maaf dari ibunya sendiri.

avataravatar
Next chapter