11 KING BULLYING - DATANG TERLAMBAT

"Vano, terlambat kamu!" teriak bu Dara ketika melihat Vano baru datang ke sekolah dari arah pintu gerbang dengan wajah tak berdosanya.

Vano menarik napasnya dalam-dalam ketika mendengar teriakkan bu Dara. Sial, ia pikir belum ada guru piket yang berjaga di sini. Terlintas ide melarikan diri di kepalanya, tapi itu adalah ide yang buruk karena ia pernah melakukan hal itu, alhasil hukuman yang di berikannya semakin berat.

"Nah kan terlambat," kata bu Dara ketika Vano sudah berdiri di hadapannya, raut wajah Vano di buat seramah mungkin.

"Saya cuma terlambat tiga menit doang bu,"

"Mau satu menit kek, tiga menit kek, sepuluh menit kek, intinya kamu tetap terlambat." Tegas bu Dara.

Vano menggaruk kepalanya yang terasa tidak gatal, mencari alasan di kepalanya karena sosok Vano tidak akan pernah kehabisan alasan, ia memiliki seribu satu alasan.

"Ibu tahukan daerah persimpangan sebelum ke sekolah itu macetnya warbiasyah," Vano mengeluh di akhiri kata lebaynya.

"Oh persimpangan bakso langganan? Ah, itumah ibu juga tadi kena macet 10 menit," bu Dara terbawa arus topik pembicaraan Vano, padahal Vano tadi hanya mengeluh saja.

"Jam berapa bu?" kini Vano mengikuti arus pembicaraan.

"Sekitar pukul enam lebih tiga puluh."

"Ya udah kalau gitu saya mau ke toilet dulu ya bu, kebelet." Vano menyengir kikuk, dalam hati ia berharap topik pembicaraan ketidak sengajaan ini bisa menyelamatkannya dari hukuman.

Baru saja Vano melangkahkan kakinya sebanyak dua langkah dari bu Dara, membuat bu Dara tersadar jika ia hamper di bodohi oleh murid liciknya itu. Dengan sigap, bu Dara menarik kerah seragam Vano dari belakang.

"Eits, mau kemana kamu?"

Vano mengumpat karena terkejut jika kerah seragamnya tiba-tiba di tarik dari belakang, untung saja umpatan itu dengan suara pelan sehingga tidak terdengar oleh bu Dara, jika terdengar maka semakin panjanglah urusannya di sini.

"Kan tadi saya bilang mau ke toilet,"

"Alasan kamu! Ibu gak akan percaya lagi sama semua alasan kamu."

"Ibu jangan ngomong kayak gitu dong, nanti takut ada yang salah paham terus ngira kalau saya php sama ibu." Vano menjadi teringat alasan membolosnya waktu masih kelas XI.

Jika hari ini ia membolos dan mengatakan neneknya meninggal, maka besok jika Vano kembali membolos ia akan mengatakan kakeknya meninggal. Kenyataannya, kakek dan nenek Vano masih hidup sehat hingga saat ini.

Bahkan Vano pernah menggunakan alasan jika rumahnya telah kebobolan maling alhasil saat Vano pulang ke rumah dompetnya lah yang hilang di ambil oleh ibunya, Vanya.

"Kamu IPS berapa?"

"IPS 3, bisa gak bu gak pake tarik seragam saya?" elak Vano.

"Gak usah ngarang kamu! Ibu baru inget kalau kamu kelas IPS 1. Sekarang kamu lari keliling lapangan lima belas kali. Kebetulan tadi ada anak dari IPS 1 juga yang di hukum terlambat,"

"Hah? Siapa bu?"

"Itu siapa sih namanya, aduh ribet namanya."

Bu Dara berusaha menginga siapa sosok yang baru saja ia hokum karena terlambat satu menit datang ke sekolah.

"Kelvino?" tebak Vano.

Bu Dara berdecak gemas, "ish, si Kelpin juga ibu mah apal setengah mati,"

"Siapa sih namanya Van? Gena? Gega? Geana? Siapa sih Van?" bu Dara menjadi gemas sendiri mengingat siapa nama muridnya tadi, tanpa sadar bu Dara mengguncang-guncangkan pundak Vano dengan gemas.

"Siapa sih bu? Ibu gak usah ngarang deh, ah."

"Geana siapa gitu, eh bukan Geana. Ga siapa ya?"

"Ga? Gak gak gak kuat, gak gak gak kuat, aku gak kuat sama playboy playboy~" Vano malah menyanyikan sebuah lagu yang di populerkan oleh sebuah girl band beranggotakan tujuh orang.

Bu Dara memukul bahu Vano dengan gemas, "itu mah girl band ibu dulu!"

"Dih," spontan Vano, tidak terima dengan kenarsisan gurunya.

"Ga siapa Vano namanya?"

"Ga? Siapa sih bu? Galena?" tebak Vano setengah tak yakin karena seingatnya Galena selalu datang pagi-pagi.

"Nah itu, si Geana!"

"Galena bu," koreksi Vano sesabar mungkin.

"Iyalah itu namanya. Sekarang siniin tas kamu."

"Buat apaan bu? Kan hari ini gak ada razia," tolak Vano sehalus mungkin.

"Kamu boleh ambil tas setelah menyelesaikan hukuman kamu kayak Geana. Toh, mama kamu juga gak ngelarang ibu kasih kamu hukuman."

Vano menghela napasnya, tak ingin memperpanjang masalah dan kembali meributkan masalah bu Dara yang salah menyebutkan nama Galena. Akhirnya setengah pasrah, Vano memberikann ransel hitamnya kepada bu Dara.

"Temui ibu kalau sudah selesai. Jangan coba-coba kabur," peringat bu Dara sebelum meninggalkan Vano.

Baiklah, mau tak mau Vano harus pergi ke lapangan sekolah.

Pandangan Vano menangkap sosok Galena sedang berlari mengitari lapangan dengan keringat yang mulai membasahi gadis itu. Pandangan Vano menyapu area lapangan untuk mencari orang lain selain Galena. Rupanya di sini tidak ada orang kecuali Galena.

"Na!" seru Vano seraya berlari kecil menghampiri Galena.

Galena menghentikan larinya dan menatap Vano dengan tatapan sayu.

"Argh, gue gak kuat!" Galena mengeluh kemudian langsung duduk di lapangan, tidak peduli jika seragamnya nanti akan kotor. Ia perlu pasokan oksigen lebih untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

Mengingat dirinya yang jarang berolahraga, meskipun Galena baru berlari sebanyak tiga putaran rasanya sudah begitu lelah. Sepertinya Galena tak akan mampu menyelesaikan hukuman untuk berlari mengitar SMA Merdeka yang luas ini.

"Ayo," Vano menglurkan tangannya kepada Galena.

Karena Galena tak kunjung merai tangannya, Vano berjongkok untuk mensejajarkan posisinya dengan posisi Galena.

"Emang lo baru berapa puteran sih?"

"Tiga,"

Vano tertawa mendengar jawaban Galena, padahal tidak ada yang lucu di sini. Sebal karena merasa tersinggung, Galena memukul lutut Vano dengan sekuat tenaganya.

"Diem lo!"

Vano meredakan tawanya. "Oke oke, mending lo ikut gue dari pada lo di sini." Vano kembali berdiri kemudian mengulurkan tangannya, bermaksud untuk membantu Galena berdiri. Siapa tahu Galena masih lemas untuk berdiri.

Mengabaikan uluran tangan Vano, Galena berdiri sendiri. "Kemana?" tanyanya seraya membersihkan rok abu-abunya yang sedikit kotor.

Vano tersenyum miring menatap tangannya sendiri yang sudah terulur namun tidak di indahkan sedikitpun oleh Galena.

Meskipun begitu, Vano selalu bisa mencairkan suasana agar tidak tercipta canggung. "Ke ujung dunia juga aku rela asal sama kamu," goda Vano sambil menatap Galena dengan tatapan jahil.

Seakan kekuatan Galena telah kembali, dengan sadis Galena menendang tulang kering Vano.

"Anjir, ngibul lo capek capek, itu tendangan udah kayak tendangan dari langit." Vano mengusap-usap betisnya yang terasa sakit akibat tendangan Galena barusan apa lagi Galena menendangnya menggunakan sepatu.

"Mau kemana?" Galena berusaha menyamakan langkah kakinya dengan langkah Vano yang lebar.

"Ke kantin beli minuman dingin, habis itu ke rooftop sekolah,"

"Lewat koridor?" tanya Galena dengan tatapan horror.

"Ya kali ah. Awas!" Vano langsung menarik tangan Galena untuk bersembunyi di balik tembok saat melihat seorang guru muncul dari ujung koridor sana.

Tanpa Galena sadari, ia menahan napasnya. Kali ini posisinya dengan Vano hanya berjarak satu jengkal saja. Tangan kekar Vano melingkar di pinggang Galena membuat detak jantung Galena berdegup dengan kencang.

"Aman. Ayo ke kantin dulu, gue yakin lo pasti haus," Vano segera menarik tangan Galena menuju kantin sekolah, yang pasti tanpa melewati koridor.

Tidak memikirkan sedikitpun bagaimana perasaan Galena atas apa yang telah ia lakukan.

***

Akhirnya di sinilah mereka, atap sekolah SMA Merdeka. Meskipun hampir seluruh murid SMA Merdeka tahu tempat rooftop ini tapi lebih banyak murid yang memilih untuk menghabiskan waktu istirahat atau membolos di kantin ataupun di halaman belakang sekolah.

Tadi saja saat Galena dan Vano pergi ke kantin, ternyata banyak murid yang membolos di mata pelajaran pertama baik murid kelas XI maupun XII, bahkan ada beberapa murid kelas X.

"Aish, tas gue di bu Dara lagi," decak Vano.

"Tas gue juga di sana," sambung Galena tanpa ekspresi sambil sesekali menyedot jus alpukatnya.

"Lagian juga bu Dara emang percaya lo ngejalanin hukumannya?"

Vano mendengus, "gue lebih milih push-up dari pada lari."

"Lo mau ikut nanti ke Yogyakarta?" Vano mengalihkan pembicaraan.

Galena melirik Vano sekilas, "ngapain?"

"Acara tour, tahun kemarin tournya ke Lombok karena sekarang udah kelas 12 jadi tournya yang deket aja,"

'Jakarta-Jogja juga masih jauh,' pikir Galena.

"Oh," hanya satu kata yang menjadi repon Galena, padahal di kepalanya telah tersusun beberapa kata.

"Oh doang Na?" protes Vano.

"Ya, terus?" balas Galena tak kalah datarnya.

Vano hanya bisa melengos pasrah, mungkin dirinya harus mulai membiasakan diri dengan sifat Galena yang sangat bertolak belakang dengannya.

"Dari pada gue terus duduk di samping lo malah bikin darting alias darah tinggi, mending gue push-up terus kita turun ambil tas." Ucap lelaki itu karena telah merasa dongkol dengan sikap Galena.

"Ngapain lo push-up?"

"Biar keliatan capeknya,"

Galena mendengus. Tak habis pikir dengan isi otak Vano.

Vano mengpalkan kedua telapaknya kemudian mengambil ancang-ancang untuk push-up, Galena sendiri juga tak acuh dan sibuk menghabiskn jus alpukat yang tadi di belinya di kantin, membiarkan Vano push-up dan menghitung sendiri. Galena tidak tertarik sedikitpun dengan segala sesuatu tentang Vano.

"Na," panggil Vano di sela-sela menghitung push-upnya.

Galena menoleh dan mengangkat kedua alisnya, ia tak menjawab panggilan Vano menggunakan suara.

"Liatin gue Na,"

Glena berdecak. "Apaan?" sahutnya dengan nada malas.

"Ih, liatin gue. Bentar doang elah," rengek Vano.

Galena menjawabnya dengan gumaman malas dan mengikuti saja apa kemauan lelaki manja banyak gaya itu.

Ketika push-up Vano ke atas, Vano sengaja melepaskan topangan tangannya di bawa tadi dengan selingan tepuk tangan, karena tidak berhati-hati, lelaki itu tak melihat sebuah paku hingga saat telapak tangannya hendak menempel kembali ke permukaan, telapak tangan kanan Vano malah mendarat di atas paku.

"Aish," Vano meringis dan langsung mengubah posisinya menjadi duduk.

Sontak Galena langsung berjongkok dan mendekatkan posisinya dengan Vano, gadis itu menarik telapak tangan kanan Vano untuk melihat luka yang di dapatkan lebih jelas.

"Tuman. Kebanyakan gaya sih lo," gumam Galena tapi masih terdengar jelas di telinga Vano mengingat posisi mereka berdekatan.

Seperti pepatah, sudah jatuh di timpa tangga, peribahasa yang mengungkapkan kesialan bertubi-tubi yang dialami oleh seseorang. Orang yang sudah mengalami satu kesialan, tiba-tiba dalam hari yang sama dia mengalami kesusahan lainnya yang sangat menjengkelkan.

Setelah Vano terjatuh, telapak tangan kanannya terkena tusukan paku, tak hanya itu saja terdapat stapler yang menancap di telapak tangannya membuat luka itu semakin melebar. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertima tangga. Dalam hati Galena meringis melihat luka itu.

Galena menghempaskan tangan kanan Vano kemudian meraih pergelangan tangan kiri Vano dan membantu lelaki itu untuk berdiri.

"Bangun, ayo ke uks. Ngerepotin aja sih lo," ketus Galena kemudian menarik Vano untuk turun dari atap sekolah.

Untuk kali ini Vano tak membalas Galena dengan perkataan, namun ia hanya tersenyum sambil menatap tangannya yang di pegang Galena.

'lo cuek juga, pedulikan sama gue?'

avataravatar
Next chapter