8 KING BULLYING - DARTING

Pulpen Galena menari-nari dengan lihai di atas buku tulis. Galena terlihat tidak merasa kesulitan sedikit pun dalam menjawa soal matematika wajib yang diberikan oleh guru beberapa menit yang lalu. Vano menghela napasnya perlahan melirik Galena yang hampir menyelesaikan tugasnya, kemudian Vano melirik buku tulisnya sendiri yang masih bersih dan polos seperti bayi baru lahir tanpa dosa, alias belum ada coretan sedikitpun di buku tulis milik Vano.

Vano menimpuk punggung Austin menggunakan tip-x, lelaki yang di timpuknya itu mengaduh lalu menoleh ke belakang. "Apa sih, ganggu aja lo." ketusnya.

"Lo udah kelar belum?"

"Belum, nanti aja selaw,"

Di senggolnya lengan Galena. "Na," panggil Vano.

Galena masih fokus mengerjakan tugasnya yang tersisa satu lagi dan tidak menjawab panggilan Vano.

"Na, ish."

Hanya decakan dan gumaman yang terdengar oleh telinga Vano sebagai jawaban panggilannya tadi.

"Na," Vano terus memanggil Galena, menunggu gadis itu menyautinya dengan benar.

"Apaan sih?" balas Galena tanpa menatap sang lawan bicara. Kemudian Galena meletakkan pulpennya pertanda jika ia telah selesai menyelesaikan tugas yang belum lama di berikan oleh sang guru mata pelajaran.

"Ini jawabannya apa? Eh salah, maksud gue ini rumusnya gimana?"

Galena mengangkat kedua alisnya menatap Vano. "Lo gak mudeng sama penjelasan tadi?"

Vano menggelengkan kepalanya. "Bukan gak mudeng, cuma gak dengerin."

"Kasih tahu gue ya, ya, ya?" Vano mengerjap-ngerjapkan matanya imut, melihat tingkah imut Vano berhasil membuat Galena menyunggingkan senyumannya, lebih tepatnya tersenyum miring.

"Sekali ini doang ya, mumpung gue lagi baik." Galena mengambil alih buku tulis Vano kemudian mulai menuliskan rumus-rumus matematika wajib yang berhasil membuat Vano tersenyum senang.

Ketika Galena hampir menyelesaikkan semunya, ia baru tersadar apa yang sedang ia lakukan. Seharusnya ia tidak membuat Vano keenakan dengan menuliskan semuanya, harusnya Vano menulis ini semua sendiri meskipun mendapatkan bantuan Galena.

Galena menghentikan gerakan pulpennya lalu sedikit di banting ketika Galena meletakkan kembali pulpennya di atas meja. "Aish, kenapa jadi gue yang nulis semuanya." Sesal Galena kemudian kedua tangannya bersiap untuk merobek kertas yang terdapat tulisan tangan indah Galena.

"Eits! Jangan! Kertas itu dari pohon, lo buang-buang kertas sama aja buang-buang pohon. Di bumi ini pohon semakin sedikit dan di gantikan oleh gedung-gedung pencakar langit. Lo sebagai manusia yang baik jangan buang-buang sesuatu yang bermanfaat," nasihat Vano di buat selogis mungkin.

Galena menatap Vano dengan bengis, "Bermanfaat apa? Bermanfaat buat lo? Elo-nya yang ke enakan gue tulisin,"

Baru saja Vano membuka mulutnya hendak memberi Galena pencerahan, tapi terlambat. Galena sudah lebih dulu menyobek kertas itu.

"Nih tulis ulang sendri biar guru percaya. Kalau mau nyontek tuh yang professional makannya." Kini gantian, Galena-lah yang mengomel kepada Vano.

Vano sempat tertegun mendengar ucapan Galena barusan, setelah mengucapkan terima kasih ala kadarnya dengan cepat Vano menyalin tulisan tangan Galena barusan. Ternyata Galena tidak hanya menuliskan rumusnya saja, tetapi juga sudah lengkap dengan jawabannya.

Ah, gadis berhati dingin itu.

***

Galena berjalan menuju kantin seorang diri, perutnya sudah mengadakan konser, alias sudah merengek meminta di isi kepada empunya. Mata Galena menyapu kantin ketika baru saja masuk, tanpa di duga-duga seseorang menabrak Galena dan telah menumpahkan jus alpukat di seragam Galena dengan sengaja.

"Ups, sorry." Austin tersenyum melihat seragam Galena yang kini telah di kotori oleh jus alpukat.

"Tanggung jawab bego!" bentak Galena merasa kesal karena perbuatan Austin barusan.

Austin menatap Galena dengan wajah tak berdosanya seakan ia tidak melakukan kesalahan apa-apa.

"Tanggung jawab apa? Emang gue ngehamilin lo?"

Galena mendengus kesal, jika terus-terusan ia di perlakukan seperti ini yang ada ia akan mengalami darting alias darah tinggi. Ia mengatur napasnya berusaha agar tidak meledakkan amarahnya saat ini juga karena sekarang ia sedang berada di tengah-tengah banyak orang baru.

"Lo! Ish!" bahkan Galena sudah kehabisan kata untuk menyumpah serapahkan sosok di hadapannya ini.

"Gue apa, hm?" Austin tersenyum penuh kemenangan dan menatap Galena dengan tengil.

Baiklah, percuma saja jika ia meledakan amarahnya saat ini juga. Tidak aka nada rasa bersalah pada sosok seorang Austin. Dari pada ia membuang waktu berharganya lebih baik Galena langsung mengakhiri perdebatan hari ini.

Bugh!

Tanpa di sangka-sangka Galena berhasil menonjok perut Austin dengan kekuatan penuh membuat Austin langsung mengaduh kesakitan. Tanpa perlu melihat Austin kesakitan lebih lama lagi, Galena tersenyum miring dan langsung meninggalkan kantin saat itu juga. Perutnya mungkin harus menunggu lebih sabar karena Galena menunda acara makannya hanya karena Austin dan jus alpukat.

Galena terus menggerutu di dalam hati sambil membersihkan jus alpukat yang mengotori kemeja putih seragamnya, hilang sih hilang namun masih terlihat jelas warna hijau di seragamnya. Galena menghela napas pasrah, mungkin lebih baik ia membeli seragam baru di koperasi sekolah dari pada mempermalukan dirinya sendiri seperti ini yang akan membuat Austin semakin tertawa puas melihat dirinya.

Galena keluar dari kamar mandi dan segera mencari letak diman koperasi, langkah kaki Galena terhenti di koridor saat berpapasan dengan Vino, mungkin Vino bisa membantunya saat ini.

"Vino!" panggil Galena. Vino menghentikkan langkah kakinya dan menatap Galena dengan sumringah karena ini adalah pertama kalinya Galena menyapa Vino duluan.

"Kenapa Glen?"

"Koperasi sekolah ada dimana?"

"Buat apa? Masih tutup koperasinya, baru mulai buka besok."

Galena berdecak kecewa mendnegar jawaban Vino. "Lo mau beli apa emangnya?" tanya Vino dengan harapan ia bisa membantu Galena.

"Mau beli seragam, ini susah buat di bersihin." Galena menunjuk bagian seragamnya yang kotor karena jus alpukat.

"Itu kenapa?" tanya Vino penasaran.

"Ketumpahan jus,"

"Kayaknya gue ada seragam cadangan deh di loker. Masih bersih belum gue pakai. Kalau lo gak keberatan lo bisa pakai punya gue dari pada lo kesana kemari pakai seragam kotor gitu. Name tag nya bisa lo tutupin pakai rambut panjang lo,"

Galena menghela napasnya lega, ia menatap Vino dengan penuh harapan meskipun bibirnya tak melengkung untuk membuat sebuah senyuman. "Thank's ya. Gue gak tahu gimana kalau gak ada lo,"

"My pleasure," jawab Vino dengan senang hati.

***

Vano tersenyum kecil mendapatkan Galena masuk ke dalam kelas setelah istirahat sedikit terlambat sejak bel masuk berbunyi tadi. Dahinya mengernyit menyadari penampilan Galena sedikit berbeda dari sebelumnya. Entahlah, Vano sendiri belum memastikan apa yang berbeda dari penampilan Galena sekarang.

Tatapan Vano terfokus kepada kemeja putih seragam yang Galena kenakan agak lebih dombrong alias lebih besar dari sebelum istirahat. Kalau memang benar kemeja putih seragam Galena dombrong, seharusnya sebelum istirahat tadi Vano sudah menyadarinya.

Tapi Vano tetaplah Vano, selalu ada ide ide licik nan jahil di kepalanya. Ketika Galena hendak duduk di kursinya Vano segera mendorong kursi Galena menggunakan kakinya meyebabkan bokong gadis itu yang tadinya akan mendarat di kursi menjadi mendarat di lantai begitu saja.

Sontak, Vano langsung tertawa terbahak-bahak, merasa puas dengan kejahilannya barusan meskipun hal tersebut merupakan bercanda yang berlebihan dan bisa mengakibatkan sesuatu yang tidak di inginkan kepada si korban.

Galena mengumpat, Vano tertawa. Tapi tawa Vano perlahan memudar saat menyadari seragam milik siapa yang Galena gunakan saat ini.

Alvino Seano.

Dugaanya benar jika Galena mengganti seragamnya, tapi kenapa? Tak ada orang lainkah selain sepupunya sendiri? Kenapa harus sepupunya sendiri?

Bersaing dalam soal asmara dengan sepupunya sendiri, masalah itu belum pernah terlintas sedikitpun di benaknya.

Apakah harus?

avataravatar
Next chapter