15 KING BULLYING - DARAH MONICA

"WOY ELAH AWAS KAMPRET!" Maki Austin sambil memainkan stick PlayStation dengan gemas.

Austin, Kelvin, Agam kini sedang berkumpul di rumah Vano. Vino sendiri tadi memberi spam kepada Vano karena kesal dan ingin memberitahu kepada Vano jika teman temannya itu seperti jalangkung.

Datang tak di undang pulang tak di antar.

Vino yang tadi sedang sibuk dengan buku pelajarannya terkejut saat teman-teman Vano tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Memang sudah menjadi kebiasaan sih jika Vanya dan David tak ada di rumah.

"Eh Vino, lo gak ikut main apa? Belajar mulu hidup lo. Gak belajar sekali gak bikin lo bego ini kan," seru Kelvin tanpa mengalihkan pandangannya dari layar lebar yang sedang menampilkan DOTA.

Sedangkan Agam, anak itu malah molor di kasur empuk milik Vano. Di tambah lagi penyejuk ruangan beraroma kopi membuat Agam semakin lelap dalam tidurnya meskipun Austin dan Kelvin selalu berisik meributkan permainan mereka.

"Udah mau UN jadi gue harus lebih rajin. Lagian juga lo pada ngapain ke sini sih? Besok tuh masih sekolah, guru cuma rapat sampai istirahat doang lo pada serasa kayak ada libur dadakan aja," sahut Vano seraya membulak-balikkan lembaran buku latihan Ujian Nasional.

Austin berdecak, merasa tidak suka. "Lo mending belajar di kamar lo biar gak ke ganggu, sebentar lagi juga si empu pulang."

Vino segera berdiri dari duduknya, "Oke," sahut Vino dan segera meninggalkan kamar Vano.

Vano menahan napas ketika membuka pintu kamarnya. Pantas saja tempat parkir di rumahnya ada motor scoopy, rupanya Agam, Austin dan Kelvin sudah berada di rumahnya dan sedang asik bermain PlayStation.

Rasanya Vano ingin menyesali perkataan Vanya ketika Agam, Kelvin dan Austin datang ke rumahnya untuk kali pertama. Dengan sangat terbuka, Vanya mengatakan 'santai aja, anggap aja kalian lagi di rumah sendiri'.

Hingga akhirnya, mereka bertiga benar-benar menganggap rumah Vano seperti rumah mereka sendiri.

Vano mengeluarkan MacBook milik Galena dan menaruhnya di atas meja belajar. Tidak tertarik dengan permainan teman-temannya, Vano melemparkan ransel hitamnya ke kasur.

Tidak sadar jika ada Agam sedang tertidur pulas di kasur, ransel hitam Vano mendarat tepat di atas badan Agam.

Vano langsung merebahkan dirinya di sofa yang tadi di tempati oleh Vino bertepatan dengan Agam yang langsung bangun karena terkejut tiba tiba dirinya tertiban oleh ransel yang berisi buku-buku sejarah tadi.

"Asholle! Gue lagi tidur bangsat!" Pekik Agam terbangun dari tidurnya.

"Berisik, goblok!" Maki Kelvin kesal karena merasa permainan PlayStation-nya terganggu.

"No," panggil Austin tanpa menatap Vano, pandangannya masih fokus kepada televisi yang menampilkan permainan yang sedang Austin mainkan.

"Hm," jawab Vano tak acuh. Vano sudah mendapatkan posisi pw nya di sofa dengan sangat nikmat.

Posisi Wuenak.

"No," Austin masih belum menyerah.

"Hm,"

"No!" Kini Austin meninggikan suaranya satu oktaf membuat Vano mau tak mau meladeni Austin.

"Ck, apaan sih?" Vano berdecak kesal.

"No, gue serius, dih!" Austin belum menyerah.

Vano menatap Austin malas. "Mau bahas apa?"

"No, no, I wan't nobody nobody but you " jawab Austin seraya berjoget mengikuti gaya lirik lagu tersebut.

Vano menggeram kesal.

Rasanya Vano ingin sekali menendang temannya, tapi jarak yang memisahkan mereka membuat Vano tambah malas untuk bergerak.

Pikiran Vano sedang berkecamuk, Is termenung. Pikirannya melayang kepada gadis paling cuek, jutek, dingin, dan galak yang pernah Ia temui dalam hidupnya.

Vano menghela napasnya,

'Apa dia baik baik saja?'

***

Vano memberhentikan motor hitamnya di depan rumah berwarna putih itu. Ia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, tapi ia urungman ketika baru teringat bahwa Vano tidak memiliki kontak Galena.

Akhirnya Vano memutuskan untuk masuk ke dalam rumah Galena.

Ting tong!

Vano menekan tombol bel rumah Galena, tak lama keluarlah sosok gadis dengan seragam yang sama dengan Vano. Galena mengernyit ketika melihat kehadiran Vano di rumahnya tapi ia baru teringat jika Vano mengatakan akan menjemputnya besok pagi, dan ternyata Vano menepati omongannya.

"Sebentar," ujar Galena kemudian kembali masuk dalam rumah kemudian kembali lagi dengan ransel abu-abu yang sudah di gendongnya.

Vano baru tersadar, jika mata Galena sejak hari pertama masuk sekolah memang tak pernah lepas dari garis hitam di bawah matanya. Sepertinya Galena kekurangan tidur, atau kekurangan belaian doi?

"KAK GLEN!" Teriakan panik Lili dari dalam rumah membuat Galena terkejut.

"Kak Glen, mama—huft—" Lili mengatur napasnya yang terengah-engah, tanpa menunggu Lili menjelaskan apa yang terjadi, secepat kilat Galena berlari menuju kamar Monica.

Galena hampir teriak ketika melihat Monica yang sedang terduduk di lantai yang sudah di nodai dengan darah.

Monica sedang self harm atau melukai dirinya sendiri menggunakan pecahan cermin.

"MA! BERHENTI!" Teriak Galena kemudian langsung merebut potongan cermin itu dari tangan Monica, tak perduli jika seragam dan tangannya kotor terkena darah.

"Ma! Mama harus berhenti! Jangan terus sakitin diri sendiri! Mama juga harus mencintai diri sendiri!" Setelah menjauhkan potongan pecahan cermin yang digunakan Monica, Galena langsung memeluk Monica dengan erat.

Monica yang sedang bergetar hebat seraya menangis, membuat Galena harus bersusah payah menahan air matanya agar tidak menetes.

Galena mengusap punggung Monica, berharap jika apa yang Galena lakukan akan memberikan sedikit ketenangannya kepada Monica.

"What do you wan't mam? I will do it," tanya Galena dengan lembut agar Monica berhenti menyakiti dirinya sendiri.

"What do i want?" Monica tertawa sinis.

"I wan't kill my 'fucking' husband," lanjut Monica dengan tajam membuat Gakena menghela napasnya.

Galena mengusap kepala Monica dengan sayang. Meskipun Monica bersikap acuh tak acuh kepadanya tapi Galena lebih menyayangi Monica daripada Ryan—ayahnya.

"Ma, mama harus istirahat. Mama juga harus selalu ingat kalau mama punya Glen yang sayang sama mama," bisik Galena dengan lembut membuat Monica meredakan tangisannya.

Monica mengangguk pasrah, kemudian secara hati-hati Galena merebahkan Monica kembali di kasurnya, di ambilnya kotak P3K beserta obat penenang.

"Mama, ayo minum dulu obatnya." Bujuk Galena.

Monica tak banyak bicara lagi, ia mengikuti perintah yang Galena berikan dengan tatapan kosong. Membuat Galena semakin merasa tak tega kepada ibunya.

Sejak tadi Vano memperhatikan Galena dari ambang pintu kamar, ingin sekali rasanya ia masuk ke dalam kamar, namun Ia terlalu takut jika kesayangannya akan memperkeruh suasana

Setelah memberi obat penenang yang sudah mulai beraksi, Galena beralih ke tangan Monica yang terluka.

Meski ini adalah darah ibunya, tapi Galena sudah menahan mual sejak tadi. Galena juga tak bisa menahan dirinya yang terus gemetar ketika berhadapan dengan banyaknya darah segar. Segera Galena mengalihkan pandangannya ketika napasnya sudah terasa berat.

Phobia darah, Galena benci menyadari bahwa Ia memiliki phobia tersebut di saat-saat seperti ini.

avataravatar
Next chapter