2 KING BULLYING - "PANGGIL GUE SAYANG!"

Vano melirik gadis yang berada di sebelahnya yang sedari tadi hanya diam dan belum mengeluarkan suara sedikitpun sejak perkenalan diri di depan tadi, dan entah mengapa hal itu membuat Vano menjadi tegang sendiri. Selagi Vano menatap Galena dengan lekat-lekat, gadis itu terus fokus kepada guru yang sedang menerangkan jadwal kegiatan selama kelas XII sampai akhir tahun ajaran.

"Na," panggil Vano pelan, sok akrab.

"Na," Vano mengulanginya lagi karena Galena terus mengabaikannya. Jangankan menjawab, melirik saja tidak sedikitpun.

"Na,"

Galena mendengus kesal, rasanya ia sudah muak hanya dengan melihat wajah Vano mengingat kejadian menyebalkan tadi pagi. Tapui lihatlah, Vano terus menyengir tanpa menunjukkan perasaan bersalah sedikitpun. Seolah dalang kejadian tadi bukan ia yang melakukannya.

"Na," kini Vano memanggilnya di tambahi senggolan agar gadis itu menjawabnya.Galena berdecak kesal.

"Ck, apaan sih?" balasnya jutek. Di liriknya Vano sekilas kemudian kembali mendengarkan detik-detik sang wali kelas menjelaskan.

"Ish, gue di kacangin," gumam Vano, meskipun gumaman itu terdengar sangat jelas di indra pendengaran Galena, namun gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkannya. Malas menanggapi lelaki aneh di sebelahnya.

"Alasan lo pindah ke sini apa?" tanya Vano penasaran, sedangkan Galena hanya mengerjapkan matanya berulang kali.

"Na, gue nanya sama lo,"

"Mana gue tahu," jawab Galena secara ketus, tanpa berniat menatap lawan bicaranya. Vano yang tidak terlalu peka untuk menyadari bahwa Galena masih dendam atas kejadian tadi. Mungkin bagi Vano kejadian tadi bukanlah hal besar, tapi bagi Galena kejadian itu berhasil merusak suasana hatinya.

"Yang bener, serius?"

Hanya sebuah dehaman singkat sebagai tanda jawaban dari Galena.

Akhirnya waktu yang di tunggu-tuggu oleh para semua warga SMA Merdeka tiba. Yaitu saat bel pulang berdering sangat nyaring, memberitahu mereka semua bahwa kini jadwal mereka untuk kembali ke rumah. Ketika wali kelas sudah keluar dari kelas, Galena langsung cepat membereskan kembali palat tulisnya lalu segera menggendong ransel yang berarti jika gadis itu sudah siap untuk pulang ke rumah.

Menyadari jika Galena hendak pergi, Vano langsung mencekal tangan Galena. Tidak membiarkan gadis itu pergi dengan begitu mudahnya.

"Ck, lepas! Gue mau pulang!" Galena berusaha melepaskan cekalan tangan Vano.

"Kasih tahu dulu alasan lo kenapa pindah kesini," Vano semakin mempererat cengkraman tangannya di pergelangan tangan Galena.

"Bukan urusan lo!"

"Kasih tahu maka gue bakal kasih tahu teman-teman gue buat gangguin lo cukup 3 hari doang."

Galena berdecih sinis mendengar penawaran dari lelaki licik itu. "Cish, gak ada urusannya sama lo! Di kira ini sekolah punya nenek moyang lo. Minggir, gue mau pulang!" sentak Galena namun Vano masih menahan Galena. Sudah hukum alam jika tenaga pria lebih besar di bandingkan wanita.

Vano tersenyum picik. "Hayoo mau kemana?"

"Lepasin! Bahkan gue gak kenal sama lo,"

"Emang benar ya kata orang, tak kenal maka tak sayang. Kenalin, gue Elvano Dasean, anak dari bapak David Elzio dan ibu Vanya Zerir. Biasanya gue di panggil Vano, tapi dengan senang hati lo bisa manggil gue sayang."

"I don't fucking care!" bentak Galena.

"Gue sih terserah. Kalau lo gak mau juga gak masalah. Tapi jangan salahin gue kalau kelakuan

teman-teman gue semakin menjadi-jadi." Vano mengedikkan bahunya, ucapan Vano barusan membuat Galena kembali untuk berpikir ulang. Cukup menggiurkan, tapi Galena sendiri tidak tahu apa yang harus ia jelaskan kepada lelaki yang baru di temuinya selama dua jam.

"Tapi lo harus janji?"

Vano menganggukan kepalanya setuju. "Iya gue janji,"

"Gue sendiri juga gak tahu apa alasan pindah kesini. Tiba-tiba gue udah di daftarin disini tanpa sepengetahuan gue. Udahkan? Jadi, bisa lo lepasin tangan gue?" pinta Galena terdengar dingin, mau tak mau Vano melepaskan cengkraman tangannya tersebut

"Kenapa lo gak tanya?" baru saja satu langkah Galena melangkahkan kakinya harus kembali terhenti karena mendengar pertanyaan Vano.

"Mau tanya juga, gue gak akan pernah dapat jawabannya." Jawab Galena tanpa repot-repot membalikkan badannya hanya sekedar untuk menatap Vano. Galena kembali melanjutkan langkah kakinya meninggalkan kelas tanpa bisa Vano cegah lagi.

             ***

"MINGGIR WOY! AWAS!" teriak seorang lelaki yang sedang berlari dari ujung koridor. Kejadian begitu cepat membuat Galena tak sempat menghindar hingga lelaki itu berhasil menabrak tubuh mungil Galena.

"Aish," double kesialan hari ini sudah di dapatkan oleh Galena. Di pegang mata kakinya yang terasa nyeri.

"Astaga, gue minta maaf. Gue gak sengaja, sumpah!" ucap lelaki itu menatap Galena dengan tak enak, pandangan mata Galena menangkap Austin di ujung koridor yang sedang tertawa terpingkal-pingkal melihat penderitaan Galena dan lelaki itu. Mata Galena menyipit membaca label nama seragam lelaki di hadapannya ini yang bertuliskan 'Samuel Javier'.

"EH KAMPRET! TANGGUNG JAWAB BEGO!" amuk Samuel membuat lamunan Galena terpecahkan.

"Lo gak apa-apa kan?" tanya Samuel lembut. Galena menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan Samuel.

"It's okay," balasnya singkat.

Samuel mengernyitkan dahinya menatap Galena. Tampak tidak asing saat dirinya melihat Galena, dan jika lebih di perjelas lagi mata Galena mirip dengan mata milik Samuel.

"Gue kayak udah gak asing deh sama lo, kita sebelumnya gak pernah ketemu bukan?"

Galena menggelengkan kepalanya. "Enggak,"

"Mata gue kali ah yang siwer, gue duluan ya." Samuel menepuk pundak Galena sebanyak dua kali sebagai tanda pamitnya. Tanpa menunggu balasan Galena, Samuel sudah pergi begitu saja.

              ***

Galena melempar asal ransel sekolahnya ke atas kasur lalu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri walaupun sekarang waktu baru menunjukan pukul setengah sebelas siang. Hanya membutuhkan sepuluh menit Galena sudah menggunakan pakaian santainya. Ia mengambil MacBooknya beserta beberapa buku paket. Tidak ada salahnya ia mulai belajar dari sekarang.

Gadis itu kini sedang sibuk berkutat bersama materi-materi seputar geografi. Sambil memperhatikan layar MacBook sesekali ia mencatat di buku tulisnya. Semenjak SMA Galena belajar menggunakan sistem online, hanya perlu mentransfer uang kemudian ia akan mendapatkan video berupa penjelasan materi yang Galena kurang pahami.

Jauh di dalam lubuk hatinya Galena ingin menghabiskan masa remajanya seperti remaja pada umumnya. Menghabiskan waktu untuk bermain, berbelanja sesuka hati, dan nongkrong seperti adiknya Lili yang baru saja memasuki tingkat SMA. Namun Galena sadar diri, ia tidak bisa melakukan hal yang apa ia inginkan sebenarnya.

Semenjak SMP, Galena memang di tekankan untuk mendapatkan peringkat pertama baik di kelas maupun angkatannya. Sangat berbeda jauh dengan adiknya, Galena yakin jika Lili mendapatkan peringkat terakhir sekalipun Ryan yang tak lain adalah papanya tidak akan keberatan sedikitpun.

Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Pantas saja perutnya berteriak meminta makan karena sejak pagi Galena belum memakan apapun hanya minum air putih saja. Rumahnya memang besar tapi sangat sepi, bahkan sepi nya melebihi suasana kuburan. Tak ada siapa-siapa di rumah selain hanya ada Galena. Tak ingin repot-repot Galena menggoreng naget untuk menjadi lauk makanannya.

Galena sendiri tak mengerti apa maksud kedua orang tuanya yang tiba-tiba memindahkan sekolahnya begitu saja. Galena keluar dari SMA Nusa Bangsa kemudian adiknya Lili yang masuk SMA tersebut. Padahal sudah dua tahun Galena menetap di sana, astaga ia sudah sangat nyaman dengan suasana SMA Nusa Bangsa.

Di teguknya air dingin dalam gelas hingga habis tak tersisa ketika Galena sudah menghabiskan makanannya.

"CUKUP RYAN! URUSAN KITA SELESAI DI SINI! KONTRAK KITA BERAKHIR!" teriakan Monica menggelegar di tengah rumah. Galena sendiri juga hanya diam saja mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, bagi Galena itu adalah hal yang lumrah terjadi di rumah ini.

Terdengar suara pecahan guci dari ruang tengah, dan masih sama. Galena tetap diam berada di posisinya.

"TERUS KAMU MAU APA HAH?!"

"JATUHKAN TALAK UNTUK AKU HARI INI JUGA!"

Perlahan Galena meletakkan kembali gelas yang di pegangnya ke atas meja. Kini ketakutannya terjadi sudah. Perceraian kedua orang tuanya.

Sudah sejak Galena duduk di bangku sekolah dasar kedua orang tuanya itu terlihat tidak akrab dan saling menjauhkan diri. Bahkan sejak kecilpun Galena sudah merasa ada sesuatu yang janggal dari hubungan pernikahan kedua orang tuanya. Hari ini menjadi akhir dari semua, kedua orang tuanya bercerai.

Triple kesialan sudah hari ini telah terjadi. Tiga kesialan berturut-turut. Galena terkekeh sinis mendengar pertengkaran kedua orang tuanya barusan. Tak mau ambil pusing, Galena membereskan piring dan gelas yang baru saja di gunakan.

Begitulah keseharian seorang Galena Zaviera yang dimana rumah sudah seperti neraka baginya. Tempat yang paling di hindarinya.

Ponsel Galena berdenting, memberitahu bahwa ada sebuah pesan masuk. Galena menekan tombol home ponselnya dan membaca pesan baru melalui notifikasi di layar kunci ponselnya.

Elvano Dasean add you via id

Elvano dasean :

Add balik akun gue. Jangan lupa, panggil gue sayang.

avataravatar
Next chapter