webnovel

Masa Sekolah

Suara bel istirahat pertama baru saja berbunyi. Para siswa yang baru beberapa minggu ini mengenakan seragam putih-biru itu tampak lega menarik napas dalam. Seperti merasa bebas dari sebuah sandera kapal bajak laut karabian yang tersohor angker dan melegenda.

Bu As Bunga, baru saja melangkahkan kakinya ke luar dari ruangan itu. Guru spesialis Bahasa Inggris itu memang terkenal sangat kejam. Suara jeritannya yang nyaring bisa terdengar sangat amat mengerikan jika dia sedang marah, melengking menusuk indra pendengaran, menjalar ke aliran darah dan tembus hingga ke jantung hati.

Sorot matanya tak kalah tajam seperti sorot mata burung Elang yang sedang mengintai mangsa. Tak sedikit pun gerak-gerik siswa-siswi yang berada di hadapannya luput dari pandangannya.

Empat puluh siswa-siswi yang baru saja di bimbingnya saling diam membisu dengan isi pikiran mereka masing-masing. Ada yang berharap agar bel segera berbunyi, agar bisa makan bakso di kantin Pak Tompel sepuasnya yang berada di belakang sekolah. Apalagi, tadi pagi kesiangan dan buru-buru berangkat karena diomeli oleh ibunya, sehingga tak sempat sarapan pagi. Sedangkan cacing-cacing yang ada dalam perutnya sudah pada berontak dan melakukan aksi demo besar-besaran karena merasa kelaparan. Dari tadi, Reza sudah terlihat sangat gelisah.

"Kau kenapa? Aku perhatikan lasak kali dari tadi? Kau cacingan, ya?" Parlin yang duduk disebelahnya menegur karena merasa terganggu.

"Iya, aku tadi pagi nggak sempet sarapan. Cacingnya sudah pada komplain."

"Makanya, sebelum tidur itu makan obat cacing dulu! Biar ternak cacing kau nggak cepat berkembang biak." 

"Oke, Bos. Terima kasih atas hinaannya," jawab Reza pasrah.

Parlin yang terkenal arogan itu memang susah untuk di lawan bicara. Anaknya bandel dan juga degil. Gaya bicaranya selalu asal bunyi dan ceplas-ceplos seenak jidatnya doang. Tanpa peduli apakah lawan bicaranya nanti akan tersinggung atau tidak.

Sekejam dan seseram apapun guru yang mengajar di kelas mereka, dia nggak pernah peduli sama sekali. Begitu juga dengan Bu As Bunga yang baru saja keluar dari kelas mereka, sedikit pun dia nggak takut sama sekali. Padahal, untuk sebagian siswa, dengan melihat wajah Bu As Bunga yang berlobang-lobang karena bekas cacar air saja sudah banyak yang ketakutan. Terutama para golongan cewek-cewek, mereka merasa takut tertular. Padahal, bekas itu hanya bekas lama. Entah pun waktu dia masih anak-anak dulu terinfeksinya.

Beberapa menit kemudian, ruangan itu berubah hening. Hanya tinggal beberapa orang siswi saja yang masih duduk di dalam tidak ikut keluar. Entah kenapa mereka tidak pergi ke luar untuk sekedar mencari makanan atau membeli minuman. Atau setidaknya, mencari angin segar. Ah iya, mereka merupakan anak cewek yang mayoritas susah di tebak kepribadiannya.

Tapi, salah satu dari siswi cewek yang tersisa itu adalah Sariyem. Dia teman sekampung Parlin. Mereka dulu sangat akrab sekali. Selain memiliki rumah yang bertetangga, mereka juga memiliki sawah yang berdekatan pula. Sariyem tinggal bersama dengan Neneknya yang sudah tua. Sedangkan kedua orang tuanya merantau ke negeri jiran sebagai pahlawan devisa. Setiap bulan, ke dua orang tua Sariyem mengirimi uang belanja untuk kebutuhannya dan juga neneknya. Jadi, secara materi dia tidak berkekurangan. Akan tetapi, dia malas keluar kelas karena setiap hari dia selalu di bekali oleh neneknya jajanan tradisional berupa getuk lindri atau lepat ubi.

Mbah Legi, neneknya Sari sangat kreatif dan nggak mau berdiam diri saja walaupun musim turun sawah masih lama. Dia terbiasa bercocok tanam dan rajin membuat cemilan tradisional dari bahan alami tanpa zat pengawet. Dia tak mengizinkan cucu kesayangannya untuk jajan sembarangan. Makanya, dia selalu membekali Sari dengan jajanan yang dia olah sendiri sebelum shalat subuh. Sebenarnya, Sari juga sudah malu membawa bekal seperti anak TK. Akan tetapi, dia merasa lebih tidak enak lagi jika harus menolak pemberian neneknya yang sudah banyak berkorban untuknya.

"Bawa cemilan apa hari ini, Sar?" tanya David pada Sari yang lagi asyik membaca novel bergenre romantis yang dia pesan secara online dari penulis amatir kesayangannya.

"Ada singkong gaul. Tapi udah dingin. Kamu mau?" tanya Sari yang agak ragu mengeluarkan dari dalam tasnya.

David mengangguk mau. Dia duduk di kursi sebelah Sari yang kosong. Anak laki-laki itu membawa dua botol minuman dingin yang baru saja dia beli dari kantin belakang. Sudah beberapa hari ini, dia terlihat akrab dengan Sari. David tertarik melihat kepribadian Sari yang terbilang dewasa, pendiam dan suka menyendiri. Sari tidak seperti teman-teman cewek lain yang masih bertingkah laku seperti anak-anak. Yang masih suka bermain kuaci, bermain lompat karet atau yeye.

"Enak ya, camilan buatan nenek kamu!" ucap David tulus, setelah memakan beberapa potong ubi goreng yang ditaburi bumbu rasa sapi panggang.

Sari hanya tersenyum sekilas, melirik David yang sedang lahap mengunyah singkong gaul buatan Mbah Legi. David memang doyan makan. Terlihat dari badannya yang bulat seperti ikan buntal.

"Kalau kamu suka, kamu boleh habisin semuanya!" David menghentikan aktifitas mengunyahnya. Mungkin dia merasa tersinggung dengan kata-kata Sari barusan.

"Untuk kamu?" tanyanya penuh selidik, menatap Sari dengan tatapan serius.

"Aku masih kenyang," jawab Sari dengan memegang perutnya.

"Tapi ini banyak. Mana mungkin aku bisa menghabiskan semuanya," jawab David dengan membuka lebar mulut kantong plastik hitam yang ada di atas meja mereka. Dia merasa ragu jika harus menghabiskan semuanya. Bisa-bisa nanti perutnya meledak seperti balon yang ditiup kencang.

"Nenek kamu kok banyak banget membekali kamu seperti ini? Apa dia nggak takut cucu perempuannya nanti gendut seperti aku?"

"Sebenernya itu bukan jatah buat aku aja, sih! Tapi jatah buat Parlin juga."

Seketika, David tersedak dan terbatuk-batuk. Dia menepuk-nepuk dadanya yang seperti tersumpal sesuatu. Cepat Sari membukakan botol minuman yang ada di depannya dan menyodorkannya pada pria berpipi tembem itu.  

"Terima kasih." David cepat menyambar minuman dingin itu dan segera meneguknya untuk menghentikan batuk yang sedang dia derita. "Oh iya, yang ini buat kamu!" serunya kemudian dengan menggeser botol minuman yang belum di buka.

Sari menerima botol minuman itu dan segera membuka tutupnya, kemudian meneguk isi dalamnya. Dari tadi, tenggorokannya juga sudah terasa kering. Tapi David nggak peka jika dia sedang kehausan. Walaupun dia tau kalau minuman itu memang di beli David khusus untuk dirinya, tetapi dia masih merasa malu jika harus main serobot saja sebelum ada akad serah terima. Namanya juga wanita, kepribadiannya sangat sulit di mengerti.

"Jadi, ini jatah buat Parlin juga?" tanya David setelah tenggorokannya terasa lega.

Sari mengangguk," memangnya kenapa?" Dia menatap wajah David yang terlihat gusar.

"Kok kamu nggak bilang dari tadi?"

"Kan kamu nggak nanya."

"Jadi, camilan yang kemarin itu juga?"

Sari mengangguk lagi," iya, emangnya kenapa, sih?" tanyanya keheranan.

'Brenksek,' gumam David dalam hati.

*****