1 Gamer Juga Nasionalis!

Jika Sauron membagikan cincin bagi penghuni dunia kita,

tentu ia akan membagikan ini:

Meditasi untuk para biarawan dan orang suci

Perhiasan dan perhatian bagi para wanita

Game, game, dan game bagi para lelaki

Zaman agaknya sudah berubah.

Demikian juga para penghuni dunia ini.

Waktu kecil, mainanku lompat petak, petak umpet, lompat tali, lompat karung, kasti, gobag sodor (atau nama kerennya: galaksian), atau kadang-kadang jika terpaksa: bekel dan congklak. Ketika mulai beranjak besar, permainanku pun berubah. Mengikuti selera internasional dan tuntutan kurikulum seperti: sepakbola, bola voli, basket, kasti, dan lari keliling lapangan.

Sayangnya, aku ternyata dilahirkan bukan untuk menggeluti hal-hal yang bisa membawaku ke kejurnas atau Olimpiade. Aku dan kaumku mayoritas mufakat bahwa kami dilahirkan untuk menikmati himpunan game digital alias video game beranggotakan gimbot bin game boy, Atari bapaknya Nintendo, lalu Sega hingga Playstation. Namun golongan permainan ini hanyalah game dengan interaksi terbatas. Paling hanya satu hingga delapan pemain yang bisa memainkan satu game berbarengan. Yang lainnya hanya nonton melihat. Lawan pun seringkali hanya komputer saja. Kurang terjadi dinamika dan kurang seru.

Era Interaksi terbatas itu berakhir sudah kala ombak pasang Multi-player Game Online menghantam ke Nusantara. Pada saat mulai, kuliah dan internet murah sudah mulai mewabah di Indonesia. Kami, para gamer, mendapat cakrawala baru permainan yang setahap lagi lebih tinggi ini. Pas zaman kuda gigit disket dulu ada Nexia: The Kingdom of the Wind. Lalu menyusul zaman keemasan Ragnarok, Tantra, Runescape, dll. Aku dulu mengira dulu game-game ini udah paling keren. Aku salah, karena sampai terhuyung-huyung takjub sendiri aku kala melihat kecanggihan Lineage II dan WoW (World of Warcraft). Beruntung aku tidak memainkan dua yang terakhir, jika tidak niscaya saya bisa makin ketagihan.

Saya akhirnya bisa keluar dari jenis permainan MMORPG ini karena jenuh, bosan, serta harus bayar [1] . Alasan terakhir sih yang paling dahsyat, tapi aku melihat komunitas permainan mulai semakin tidak sehat, ramai, melelahkan, menyebalkan, dan sumpek. Apa yang dulu hangat kini jadi hambar. Yang dulu kekeluargaan beralih jadi iklim benci dan dendam serta kecurigaan.

Aku kemudian beralih ke game strategi komputer.

Sayangnya, ada dilema besar dalam mendoyani game strategi PC. Dilema yang menimpa semua penggemar game strategi termasuk pencipta game yang akan dibahas dalam buku ini.

Apakah dilema itu? Begini, Anda datang ke toko game lalu membeli Civilization, Age of the Empire, atau Total War terbaru. Game-game strategi mutakhir. Pokoknya top top markotop dah! Lalu Anda mulai memainkan permainan tadi selama lima menit, sepuluh, lima belas… dan kemudian saat Anda sadarkan diri dan melihat jam: sudah jam 3 pagi! Waarrghhhh! Enam jam (atau lebih) telah berlalu, matahari udah keburu terbit lagi, malam sudah berlalu, dan pekerjaan Anda tidak ada yang selesai, plus kekasih Anda siap-siap menjatuhkan palu atau SP. Jika kegandrungan Anda mulai kronis bukan tidak mungkin jatuh itu vonis talak dengan tuduhan merusak keharmonisan rumah tangga. Lantas orang yang Anda kasihi segera menghilang tanpa jejak, ke lain hati, ke lain rumah. Inilah masalah keharmonisan perkawinan antara waktu luang dengan kesukaan terhadap game dengan hubungan sosial yang tak kunjung terpecahkan.

Akibatnya, dari game PC aku beralih ke game browser online. Permainan yang lebih sederhana, praktis, tidak memerlukan banyak waktu download, dan yang terpenting gratis. I love gratis. Namun setelah kecanduan di dalamnya, dan lagi-lagi memerlukan banyak waktu luang (sialan, aku jatuh dari lubang ke lubang yang sama), akhirnya malah terbentur pada masalah kedua yang sama-tak-terpecahkan-nya! Belum lagi bisa memecahkan masalah pertama yang bisa membuat Anda menjadi pengasingan sosial, berpotensi merusak prestasi dan kehidupan RL, kini tambah lagi masalah No.2.

Masalah No.2 dalam game strategi online seperti Travian, Ikariam, Evony, Romance of Three Kingdom Online, sampai game perang galaksi macam Astroempires, Ogames, dll. ini baru bisa kelihatan kalau kita sendiri sudah terjun langsung di dalamnya.

Dalam game-game seperti ini Anda ditugaskan membangun sebuah desa, kota, pulau, hingga koloni luar angkasa. Waktu yang Anda habiskan untuk membangun desa secara real time pada awal permainan membuat Anda tidak bisa (atau jadi malas) pergi ke mana-mana. Anda juga harus terus menerus mengawasi dan waswas akan serbuan dari desa atau planet tetangga. Buat gamer yang punya banyak waktu luang tentu ini bukan masalah, mereka malah makin getol. Makin sering online diberi imbalan makin bergengsi dan keren. Namun kegetolan kadang tak berguna ketika terbentur pada masalah kedua: perbedaan kekuatan antara pemain yang telah lama bermain dengan Anda.

Perbedaan kekuatan ini begitu besar sehingga semua aspek yang telah Anda bangun dengan membutuhkan waktu sedemikian lama dalam permainan Travian (bisa sampai berbulan-bulan) maupun Astroempire (Enam bulan kujabani membangun terus dengan rajin, sampai punya 10.000.000 unit kapal perang, serta bayar ke perusahaan gamenya 20 Euro setahun buat dapat account unlimited!) bisa hancur dalam hitungan detik saja jika diganyang kekuatan yang jauh lebih besar [2].

Itu terjadi padaku berkali-kali. Membuatku patah arang bukan main. Sekalipun kita mendedikasikan sepenuh waktu kita, selalu yang lebih perkasa setiap saat bisa menghancurkan kita. Bahkan terkadang, ironisnya… mereka bisa menyate kita tanpa adanya korban sedikit pun jatuh di pihak mereka. Lalu mereka akan datang dan menyatroni desa dan koloni mereka terus menerus, jam demi jam, menjajah kita tanpa ampun. Istilahnya: kita di-"farming"—dijadikan sekedar panenan atau diperas berkala oleh mereka.

Aku jadi muak dengan permainan macam ini. Lama aku berhenti main game online. Aku kembali ke game-game dunia nyata. Aku tertarik dengan kontrak bridge dan Tarot yang sampai sekarang masih kugandrungi. Sampai suatu saat, teman main bridgeku Chiruu (id erepnya, bukan nama aslinya) memperkenalkanku dengan game yang menurutnya keren. Namanya Cybernations. Sebuah game di mana kita bisa menciptakan negara kita sendiri dan mengurus ekonomi, militer, serta politiknya.

Oke. Sounds good. Siapa yang gak kepengen memerintah negara sendiri?

Namun, setelah memainkannya selama dua minggu aku langsung kecewa setengah mati. Lagi-lagi... gameplay-nya terlalu rumit, dan untuk sekedar bisa masuk dan diakui dalam suatu persekutuan (guild atau geng), aku harus mengikuti ujian sampai dua kali. Ujian beneran! Bener-bener kayak kita harus duduk di kelas dan bener-bener harus menjawab 30 soal-soal rumit, setelah belajar dua hari penuh hanya untuk bisa diterima masuk ke dalam sebuah kelompok. Lalu, setelah mampus-mampusan lulus pun, sama pula akhirnya dengan game sebelumnya. Aku hanya jadi sapi perah oleh yang mereka kaya dan kuat bukan main.

Dalam semua permainan tadi, aku melihat pada hakikatnya semua orang sesungguhnya hanya sendirian belaka. Mereka selalu terpuruk dan takut dengan yang lebih kuat, lebih tua, dan lebih perkasa. Tidak ada keadilan berpendapat selain melewati tatanan senioritas guild, gang, klan yang kaku. Semangat main yang ada di sana hanya mengganyang sumber daya sebanyak-banyaknya, berburu mangsa atau panenan secara terkoordinir bagaikan kawanan serigala atau hiu, mengejar ranking, begitu terus… Tiada akhir. Kering dan dingin dan keji dan tamak, itulah simpulanku.

Aku perih melihatnya. Karena pada dasarnya konsep bernegara ini masih menarik perhatianku, maka aku segera mencari game pengganti yang bertema sama. Bergentayanganlah diriku di wikipedia, dan di halaman wikipedia mengenai cybernations, aku menemukan game yang disebut eRepublik . Dari namanya saja saya sudah tahu ini game buatan orang Eropa Timur, karena tulisan Republik-nya pakai "k" bukan "c".

Aku sontak dan seketika terpesona pada game ini. eRepublik adalah game berlatarkan peta bumi dan negara-negara yang ada di dunia nyata kita (atau singkatnya kami sebut RL—Real Life). Melalui simulasi bernegara dan bermasyarakat, kita menjadi salah seorang warga negara yang bisa turut berpartisipasi untuk "rewrite the history". Menulis ulang sejarah dunia!

Kita bisa membuat pengaruh kita terasa di bidang ekonomi (dengan menjadi pekerja atau pengusaha), politik (menjadi anggota partai sampai ketua partai, anggota DPR sampai Presiden), ABeRI (berperang, menaikkan pangkat, menjadi komandan, hingga panglima ABeRI, bahkan ikut wamil), sampai bikin menjadi raja media (punya koran sendiri)! Wow, angan-anganku langsung melambung tinggi. Rasa nasionalismeku pun membuncah. Sehebat apa ya Indonesia di dalam game ini? Kalau aku lahir di sana, cita-citaku mau jadi apa ya? Apa mau jadi Presiden? [4]

Kemudian, dua dilema abadi game Online dan PC tadi pun sirna diterpa konsep jenius game ini. Alexis Bonte, pencipta game ini, sengaja menciptakan sebuah game simulasi yang hanya perlu dimainkan 15 menit atau beberapa klik saja sehari, kecuali jika Anda ingin aktif membaca berita atau terlibat dalam perpolitikan [5] . Jadi tidak ada masalah dengan banyak waktu yang ludes terbakar game. Lalu, tidak ada bahaya bahwa citizen atau warga negara Anda bisa dihantam atau dibunuh mentah-mentah, semena-mena, atau diserang saat kita tidak online oleh yang lebih kuat. Semua penduduk, baik lama dan baru, kuat dan lemah, memberikan kontribusi kepada negara sesuai jatah dan kemampuannya dalam bidang militer, media, ekonomi, serta tentu saja sosial-dan-politik.

Perbedaan kemampuan tiap citizen hanya ada di kepiawaian pribadi kita dalam berkomunikasi, bersosialisasi, bersimulasi ekonomi, dan politik, yang lebih menentukan keberhasilan karir kita sebagai warga negara dalam eRepublik [3]. Id yang lebih lama mungkin punya kekuatan, pangkat, serta kemampuan skill job lebih tinggi. Namun hal-hal seperti itu pudar diterpa kilau kemampuan kepemimpinan, diplomasi, sosial, ekonomi, administrasi, politik. Kemampuan-kemampuan yang dilatarbelakangi pengetahuan mengenai sejarah, geografi, kultur negara, serta mekanika game inilah yang membuat kita bisa memiliki kontribusi tertinggi terhadap kejayaan bangsa.

Bagiku game ini adalah game yang sangat adil bagi semua pemain, baik pemain lama maupun pemain baru. Seperti halnya game-game zaman sekarang, semua fitur dan ringkasan informasi game eRepublik ini pun tersedia dalam eRepublik.wiki. Maka aku pun membuka-buka informasi tentang negaraku, eIndonesia [6].

Dan aku tercengang dahsyat…

Aku ingat hari itu tanggal 31 Januari 2009…

Footnote:

[1] Ajegile aja saya disuruh beli voucher dan bersaing dengan para pemakai bot! Beruntung saya bukan anak-anak SMP atau remaja tanggung yang jadi korban permainan ini hanya karena mereka belum mengenal nilai uang dan bersaing dalam komunitas yang makin lama makin tidak sehat.

[2] Sebenarnya cuma berlangsung 3 menit, dalam kasus waktu aku main Astroempires. Dalam sekejap muncul 30 juta unit kapal perang, dan setelah pertempuran 10 detik, seluruh unitku lenyap jadi sampah dan puing galaksi. Lalu 2 menit kemudian puing galaksi itu disedot lawan buat jadi fulusnya. Aku lenyap berkalang "debu galaksi".

[3] www.erepublik.com, game kewarganegaraan dan sosial yang dibuat oleh Alexis Bonte, usahawan dari Rumania. Game ini adalah tema sentral bahasan buku ini. Jika Anda mau bergabung dalam game ini, silakan refer ke invitation link ini: http://www.erepublik.com/en/referrer/Wonder+Forward buat bergabung. Keuntungan sistem invitasi ini adalah: jika Anda mencapai level tertentu saya juga mendapatkan bonus gold. Sebagai imbalannya, bimbingan dan berbagai hadiah dari saya tentu akan dibaktikan untuk perkembangan Anda.

[4] Semua anak di Indonesia lahir punya cita-cita jadi Presiden. Tapi berapa banyak yang bisa jadi Presiden negara? eRepublik mungkin ajang latihan sekaligus pemenuh cita-cita abadi ini.

[5] Ini pun tidak melalui fitur. Melainkan komunikasi sosial antar pemain via chat atau artikel.

[6] Untuk membedakannya dari Indonesia (yakni negeri kita di RL).

avataravatar
Next chapter