24 Awal Kedekatan

Emily terpincang-pincang dibantu oleh Ray menaiki tangga kamarnya. Tangan Emily berpegangan erat pada bahu Ray, menumpukan bebannya pada cowok bertubuh tinggi kurus itu. Sudah larut malam saat mereka pulang diantar Pak Ton, setelah sebelumnya Pak Ton mengantar Emily mengobati kakinya di sebuah klinik. Untungnya kaki Emily cuma terkilir, bukan patah. Dokter di klinik memberi Emily obat pereda nyeri dan membebat kaki Emily erat-erat. Akibatnya Emily butuh seseorang untuk membantunya berjalan sampai kakinya sembuh benar.

"Oalah Non...Non...Sudah ibu larang pergi ke kantor gelap-gelap begini, namun Non Emily masih aja nekad. Akhirnya malah dapat musibah kan?," kata Bu Narti sambil tergopoh-gopoh membantu Emily.

"Biar saya aja Bu," ujar Ray saat Bu Narti ikut menyangga sebelah tubuh Emily. "Gadis ini walaupun kurus, tapi berat sekali. Ibu tak akan kuat, biar saya aja."

Bu Narti terkekeh mendengar gurauan Ray. "Sok Dylan kamu, Ray. Ya sudah, kamu bantu Non Emily pindah ke kamar ya? Ibu mau siapkan kopi dulu buat Pak Ton."

"Papa belum pulang, Bu?," sela Emily.

"Belum Non. Kan biasanya juga pulangnya suka-suka Bapak. Tadi kan udah Ibu ingatkan, tunggu aja Papa Non di rumah. Ngapain nyusul ke kantor, belum tentu juga Bapak disana."

Emily kontan cemberut mendengar penjelasan Bu Narti. Selama ini memang Papanya pergi dan pulang sesuka hatinya. Sudah lama hubungan mereka seperti orang asing, meski tinggal dalam satu rumah.

"Yang lalu biarlah berlalu. Percuma juga menyesali apa yang terjadi, toh Emily sudah terlanjur terkilir kakinya," ujar Ray menengahi. Bu Narti memang sering bersikap seperti seorang ibu bagi Emily, cerewet dan sedikit protektif. Sayangnya terkadang malah kelewatan dan membuat Emily menjadi kurang nyaman.

"Titip adik saya ya, Bu? Dia ada di mobil bersama Pak Ton. Takutnya kalau dibawa keluar malah merepotkan," ujar Ray sambil menatap Bu Narti

"Loh...loh...loh...Kenapa dikurung? Biarin aja masuk gih!,"

"Hmm...adik saya itu berkebutuhan khusus autis. Dia juga sangat aktif," kata Ray menjelaskan dengan canggung. Rasanya canggung sekali dia harus menjelaskan kondisi Chris pada orang-orang yang baru dikenalnya. Terlebih jika tidak semua orang yang ditemuinya bersimpati pada anak seperti Chris.

"Tidak apa-apa, insyaa Allah ibu ngerti cara menghadapi anak autis. Salah seorang keponakan Ibu juga ada yang begitu, sekarang rutin menjalani terapi di Kota Provinsi."

Ray mengangguk-angguk, lega mengetahui ada yang bersimpati kepada Chris.

"Terima kasih, Bu," ujarnya tulus pada Bu Narti yang bergegas menuju mobil untuk menjemput Chris.

"Yuk aku antar ke kamar," kata Ray sambil membantu Emily menaiki tangga.

Emily mencengkram erat bahu Ray saat kakinya berdenyut sakit setiap kali menapaki anak tangga. Walaupun sakitnya sudah jauh berkurang dibandingkan sewaktu awal terjatuh tadi.

"Sakit ya?," tanya Ray simpatik sambil menuntun Emily dengan hati-hati. "Tak ada kamar di lantai bawah yang bisa kamu tempati sementara?"

Emily menggeleng. "Ada sih, tapi aku lebih nyaman kalau di kamar sendiri."

"Yakin kamu kuat sampai ke atas sana?," tanya Ray sambil memandang beberapa anak tangga lagi uang harus mereka naiki untuk sampai ke lantai dua.

Emily menggigit bibirnya. Ray bersumpah, ekspresi keraguan di wajah Emily saat itulah awal tumbuhnya bibit cinta dihatinya. Perperangan batin Emily seolah terlihat transparan di wajahnya, antara kekerasan tekad untuk beristirahat nyaman di kamar sendiri, dengan perjuangan menahan rasa sakit untuk sampai disana.

Ray tahu, bahwa untuk orang-orang yang hatinya terluka sejak lama, kenyamanan itu sangat berharga. Ray tahu itu, karena dia dan Emily sebenarnya sama, anak-anak yang hatinya terluka oleh keadaan. Sebisa mungkin menciptakan kenyamanan sendiri saat ditarik-tarik menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan.

"Maaf," gumam Ray seraya melepaskan tangannya dari pundak Emily dan menatap gadis itu lekat-lekat. Pendar cahaya di mata yang basah itu membuat hati Ray tergetar.

"Kenapa minta maaf?," tanya Emily, yang juga tak kuasa menahan getaran di hatinya.

"Kamu percaya aku kan?," tanya Ray, tak kuasa melepaskan tatapan matanya dari Emily.

"Kenapa?"

"Aku akan menggendongmu keatas. Jangan turun, jangan berontak. Kamu harus yakin aku mampu mengangkatmu kesana."

Mata Emily membulat. Postur tubuh Ray yang tinggi kurus memang menimbulkan setitik keraguan di hatinya. Namun kebulatan tekad di wajah Ray membuat Emily percaya. Sehingga pelan-pelan gadis itu menganggukkan kepalanya.

Ray mengangkat pinggang Emily dan menggendong gadis itu. Lalu perlahan menapaki anak tangga.

Emily mengalungkan lengannya di leher Ray, tersentak oleh kenyamanan yang dia rasakan di dekat pemuda yang sempat dibencinya itu.

'Untung aku bukan Adella,' kata Emily dalam hati seraya tersenyum. 'Nggak kebayang kalau Ray membopong Adella yang memiliki berat badan tujuh puluh kilogram itu.'

"Mengapa tertawa?," tanya Ray.

"Kenapa kamu mengira aku tertawa?"

"Senyummu lebar sekali, pasti membayangkan sesuatu yang lucu."

Emily terkekeh. "Aku membayangkan kamu membopong Adella. Pasti kamu tak sanggup, jadi untunglah aku tak segendut itu."

"Hmm...terkadang rasa sayang menimbulkan kekuatan yang luar biasa. Jadi jangan berkata seperti itu tentang temanmu."

Emily terdiam. Malu sendiri karena merasa tersindir sudah melakukan body shamming terhadap sahabatnya. Tapi tunggu...Ray bilang apa tadi? Rasa sayang?

Mendadak wajah Emily memerah, sehingga dia menyurukkan wajahnya di dada Ray, ketimbang ditanya-tanya lagi oleh cowok itu.

Akhirnya mereka sampai juga di atas. Ray menurunkan Emily di depan pintu kamarnya.

"Kamu bisa berjalan sendiri ke tempat tidurmu kan?"

Emily mengangguk. Rasanya malu sekali membayangkan Ray akan membopongnya sampai ke tempat tidur.

Tertatih Emily berpegangan pada Ray membuka pintu kamarnya dan melangkah ke dalam, memasuki kamar tidur berwarna biru lembut itu. Sebuah foto raksasa Emily dan Mamanya terpasang di dinding di sebelah tempat tidurnya. Ray memandang foto itu dengan takjub.

"Kamu cantik sekali di foto itu. Itu Mamamu kah?"

Emily mengangguk.

"Aku merasa pernah melihatnya. Bukankan dia dulunya seorang artis?"

Kembali Emily mengangguk.

"Apa yang terjadi pada Mamamu sehingga harus meninggalkan kemewahan kota Jakarta dan mengakhiri karirnya?"

"Dia mengalami depresi," gumam Emily pelan.

Ray terdiam. Dia memang tidak mengetahui terlalu banyak tentang keluarga Emily. Yang dia tahu hanyalah ibunya dan ayah Emily memang sudah dekat selama beberapa tahun ini. Dia bahkan tidak tahu bahwa teman dekat ibunya masih memiliki seorang istri!

Tangan Ray mengepal karena emosi. Dia harus mengkonfrontasi ibunya tentang hal ini. Kalau perlu menghadapi Benny Dirgantara sekalian. Dia tak rela mereka membohonginya dan Emily.

"Kamu kenapa?," tanya Emily sambil menyentuh tangan Ray.

Ray tersadar. "Tidak apa-apa. Kamu istirahatlah," ujar Ray sambil memaksakan sebuah senyum. "Aku pulang dulu ya? Kasihan Chris, sudah waktunya dia makan malam."

"Makan malam disini aja," pinta Emily.

Ray menggeleng seraya tersenyum. "Kamu istirahatlah," katanya sekali lagi sambil melangkah keluar.

Bersamaan dengan menghilangnya Ray dibalik pintu itu, Emily juga merasakan ada sesuatu yang hilang dari dadanya. Dan mendadak dia tahu, bahwa dia sudah jatuh cinta pada cowok itu.

avataravatar
Next chapter