webnovel

Ketika Cinta Berlayar di Samudera

Sebuah tragedi tak menyenangkan yang Fabio terima pada masa kecilnya dari teman-teman perempuannya termasuk ibunya sendiri, membuatnya menderita gynophobia (ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan wanita). Suatu ketika, ia mendapat undangan dari perusahaan luar negeri yang memasok buah-buahan dari perusahaannya, mengundangnya untuk datang, Fabio menyanggupi dengan syarat tidak ada satupun wanita yang akan ia temui di sana. Sekaligus berlibur, Fabio berangkat menggunakan kapal pesiar pribadinya yang tentunya tidak akan ada pegawai wanita yang boleh bekerja di kapal tersebut selama perjalanan berangsung kurang lebih empat bulan. Namun nasib sial Fabio merambah kepada seorang gadis fresh graduate yang diterima bekerja di departemen house keeping di kapal pesiar. Sialnya ia menaiki kapal yang salah yang mana adalah di kapal milik Fabio, sehingga pertemuan keduanya pun tak terelakkan. Darla Altania menjadi satu-satunya wanita yang ada di kapal tersebut tak pelak membuatnya terheran, hingga akhirnya ia mengetahui bahwa pemilik kapal memiliki fobia terhadap kaum wanita. Dengan sikap ambisius dan percaya diri tinggi yang dimiliki seorang Darla, ia melakukan berbagai cara agar tidak diusir dari kapal tersebut demi uang yang tidak sedikit ia dapat dari bekerja sebagai room steward. Lalu apa saja cara-cara yang Darla lakukan agar ia tidak diusir, sementara tak mungkin bagi Darla untuk menunjukkan wajahnya di hadapan pria yang takut dengannya? Akankah dengan kehadiran Darla membuat Fabio semakin takut dan membenci wanita atau justru sebaliknya?

Ilmafaza · Realistic
Not enough ratings
22 Chs

Wajib laki-laki

Ketakutan dan kecemasan yang muncul dalam diri Fabio Febriano mengubah niat awalnya datang ke kantor yang ingin menyampaikan berita penting tentang perusahaan menjadi sebuah makian terhadap beberapa karyawannya.

"Sudah kukatakan berkali-kali, tidak boleh ada satupun wanita yang menembus kantor ini, bahkan tidak dengan sepatu dan rambut rontoknya sekalipun." Mata elang Fabio menatap satu persatu dua orang berseragam security yang tertunduk membisu.

"Saya ingat satu persatu wajah kalian di sini yang menyaksikan dan mendengar langsung perintah saya, tapi kenapa hari ini tak ada yang bisa mencegah satu wanita yang menerobos kantor saya?" Setelah pintu ia banting, kini giliran meja bundar di hadapannya ia gebrak membuat kedua security itu tersentak.

Tidak ada yang berani menyela atas ucapannya. Termasuk asisten pribadinya yang menyaksikan amukan dirinya dari belakang.

"Di mana kalian bersembunyi saat wanita bernyali tadi masuk ke sini?" Nada suara Fabio menurun, namun penekanan pada setiap katanya semakin tajam.

"Maaf Pak, kami sudah berusaha mencegah dan menghalangin wanita tadi, tapi—"

"Saya tidak menerima alasan kalian, dua orang pria dikalahkan oleh satu perempuan, itu sungguh memalukan dan saya tidak bisa mentolerir kesalahan kalian karena telah berani membiarkan wanita itu menginjakkan kaki di kantor ini." Fabio menarik napas meredam api kemarahan di ubun-ubunnya.

"Mulai besok kalian tidak akan bekerja di sini lagi," lanjutnya tanpa ingin peduli.

"Tapi, Pak..." Salah satu security menyela.

"Anton, buka lowongan pekerjaan untuk security di kantor ini dengan kriteria wajib laki-laki, usia minimal 20 tahun, berperawakan tinggi besar, yang terpenting amanah dan jujur serta berpendirian teguh. Tidak memprioritaskan wanita menjadi nilai plus." Fabio langsung membungkam mulut security yang ingin memprotesnya.

"Baik, Pak!" sahut Anton—asisten pribadinya.

***

"Mending kamu ikutin jejak aku saja, cari kerja di hotel terapung bintang lima, kerja sambil jalan-jalan ke luar negeri, dari pada nekad jadi karyawan di perusahaan yang gak ada satupun wanitanya itu? Mau mencetak rekor kamu? Ihhh, enggak penting banget, ujung-ujungnya diusir juga kan kamu!" celoteh seorang gadis yang sibuk meluruskan rambut keritingnya.

Orang yang mendapat ocehan setelah aksi nekadnya yang berujung malu, masih betapa di atas kasur dengan ekspresi wajah yang manyun.

"Aku lulusan manajemen bisnis, kalau mau ikutin jejakmu aku harus ikut pelatihan lagi, buang-buang waktuku saja." Akhirnya ia menyahut setelah terdiam hampir satu menit.

"Sofi, di sana tidak hanya bisa bekerja menjadi house keeping, bisa saja kalo kamu mau buka usaha di sana, jualan di restorannya kek, di mall kek, masih banyak kok."

Rambutnya sudah berhasil lurus, gadis itu beralih menyemprotkan hair sprei berkali-kali di rambut kepalanya yang panjang sampai ke pinggang. Karena tak kunjung mendapat tanggapan dari Sofi—sahabatnya, ia pun bangkit dari kursi rias, "Mau nemenin aku hari ini negelengkapin berkas?"

Sofi langsung menyudahi bertapanya setelah mendengar ajakan dari sahabatnya, "Kau pengertian sekali Darla, sehabis kau mengurus berkas, kita jalan-jalan ya? Aku bete banget soalnya," sahutnya dengan nada suara yang terdengar manja.

Bola mata Darla langsung membulat dan seketika menyesal setelah mengajak Sofi, "Ergh, ya udah deh iya, tapi cuma sebentar ya jalan-jalannya, asal kau tahu jalan-jalan itu lebih membuang waktu dari pada kau ikut pelatihan, selain buang-buang waktu, itu juga buang-buang uang." Darla bersikap tegas berdasarkan ucapannya.

"Iya-iya, hari ini doang kok, besok aku mau cari kerja lagi. Kamu kan enak sudah diterima kerja, lah aku? Masih harus cari dulu," jawab Sofi.

Raut wajah Darla tampak jenuh, "Makanya cari kerja yang normal-normal saja..."

"Shhhhttt! Ayo kita berangkat, berhenti ngoceh mulu!" sela Sofi yang sudah malas mendengar ocehan sahabatnya lagi.

***

Darla dan Sofi telah sampai di area pelabuhan dan langsung menuju kantor Syahbandar. Darla datang ke tempat tersebut untuk membuat buku pelaut. Karena Darla akan bekerja di perkapalan, mengharuskan ia untuk melintasi samudera hingga semenanjung-semenanjung di belahan dunia, sehingga mengharuskannya untuk memiliki buku pelaut.

Sama halnya dengan paspor, jika paspor digunakan ketika berada di darat, maka buku pelaut digunakan untuk menegaskan identitas sebagai seorang yang bekerja di area kelautan.

"Maaf, Pak, dokumen ini harus dilengkapi oleh yang bersangkutan secara langsung, tidak bisa diwakili." Seorang petugas wanita yang mengurus kelengkapan surat sedang berbicara dengan sopan pada seorang pria yang beridi di hadapan mejanya.

"Ah, lama banget sih tu orang, kalau tidak bisa ya tidak bisa, jaman sekarang urusan serba diri sendiri yang ngerjakan, jangan-jangan itu orang dibayar lagi untuk ngurusin berkas orang lain?" gumam Darla yang tidak terdengar jelas di telinga Sofi yang duduk di sampingnya. Mereka berdua sedang menunggu giliran, tidak, hanya Darla.

"Tapi Mbak, bos saya itu super sibuk, jadi dia tidak memiliki waktu untuk mengurus berkas ini, makanya saya sebagai asisten yang mengurusnya."

"Maaf, Pak, kami dengan berat hati tidak bisa melayani kalau begitu," sahut wanita berseragam mirip pramugari itu dengan tersenyum.

"Selamat pagi Mbak, saya mau melengkapi berkas untuk kelengkapan buku pelaut saya." Darla menerobos antriannya yang tidak panjang, tatapan sinis dari pria yang masih belum selesai berurusan dengan berkasnya, Darla abaikan.

"Silahkan di tunggu, Mbak," sahutnya masih dengan nada sopan.

Pria itu tidak menegur Darla sama sekali, entah karena tidak bernyali atau tidak segan, melihat kepercaya dirian seorang Darla yang merebut tempatnya.

"Mbak? Apa ada petugas pria yang bekerja seperti Mbak di sini?" tanya Pria itu.

"Ada Pak, tapi kebetulan hari ini shift kerjanya tidak ada, sepertinya besok," jawab wanita yang sekarang sibuk mengurus berkas-berkas milik Darla.

"Ah, baik, terima kasih kalau begitu." Tanpa menjelaskan tujuan ia bertanya, pria di samping Darla itu pergi.

Seperti ada yang menarik leher Darla untuk mengikuti pria itu melangkah keluar hingga menuju mobil yang terparkir jauh dari di halaman kantor Syahbandar.

Darla melihat seorang pria lainnya yang keluar dari mobil mengenakan kaca mata hitam, lalu pria yang Darla lihat dari kantor tadi seperti tertunduk saat berbicara dengan pria yang berkaca mata itu.

Darla memperhatikan dengan serius gerakan bibir dari kedua pria yang saling berbicara di halaman parkir mobil tersebut. Tidak jelas kata apa yang Darla tangkap dari gerakan bibir mereka, tapi yang dapat Darla tangkap, pria yang memegang berkas itu seperti sedang dimarahi oleh pria berkaca mata hitam.

Darla mengangkat bahunya tak acuh, lalu melirik Sofi yang dari tadi sibuk berselancar dengan ponsel.

"Darla Altania?"

"Saya mbak?" sahut Darla.

"Berkasnya sudah selesai ya, ini bukunya sudah bisa Mbak terima," kata wanita yang selalu bersikap ramah itu.

"Ah, terima kasih, Mbak." Darla membalas senyuman ramah itu sembari mengambil buku, kemudian mengajak Sofi segera keluar dari kantor.

Mata Darla masih fokus memandangi kedua pria yang membuatnya penasaran dari tadi sambil melewati jalan setapak di depan kantor.

"Kau lihat apa?" Pertanyaan Sofi diabaikan Darla, lalu Sofi menerawang tatapan Darla yang mengarah pada dua orang pria. Ia ternganga.

Menyadari diri mereka dipandangi oleh wanita, lantas pria berkacamata itu masuk ke dalam mobil dan diikuti pria satunya. Mobil itu perlahan meninggaalkan parkiran.

Darla memasang wajah jutek ketika pria itu seperti sengaja menghidari tatapannya. Apa aku terlihat seperti penguntit? batin Darla.

"Aww, kau ini kenapa sih? Sakit tau." Darla tersentak saat Sofi menepuk pundaknya dengan sangat kencang.

"I-itu, pria itu..." Sofi terbata sambil menunjuk mobil kedua pria tadi.

"Pria itu kenapa?" tanya Darla bingung.

"Dia..." Sofi menutup mulutnya tak percaya.