webnovel

Ketika Cinta Berlayar di Samudera

Sebuah tragedi tak menyenangkan yang Fabio terima pada masa kecilnya dari teman-teman perempuannya termasuk ibunya sendiri, membuatnya menderita gynophobia (ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan wanita). Suatu ketika, ia mendapat undangan dari perusahaan luar negeri yang memasok buah-buahan dari perusahaannya, mengundangnya untuk datang, Fabio menyanggupi dengan syarat tidak ada satupun wanita yang akan ia temui di sana. Sekaligus berlibur, Fabio berangkat menggunakan kapal pesiar pribadinya yang tentunya tidak akan ada pegawai wanita yang boleh bekerja di kapal tersebut selama perjalanan berangsung kurang lebih empat bulan. Namun nasib sial Fabio merambah kepada seorang gadis fresh graduate yang diterima bekerja di departemen house keeping di kapal pesiar. Sialnya ia menaiki kapal yang salah yang mana adalah di kapal milik Fabio, sehingga pertemuan keduanya pun tak terelakkan. Darla Altania menjadi satu-satunya wanita yang ada di kapal tersebut tak pelak membuatnya terheran, hingga akhirnya ia mengetahui bahwa pemilik kapal memiliki fobia terhadap kaum wanita. Dengan sikap ambisius dan percaya diri tinggi yang dimiliki seorang Darla, ia melakukan berbagai cara agar tidak diusir dari kapal tersebut demi uang yang tidak sedikit ia dapat dari bekerja sebagai room steward. Lalu apa saja cara-cara yang Darla lakukan agar ia tidak diusir, sementara tak mungkin bagi Darla untuk menunjukkan wajahnya di hadapan pria yang takut dengannya? Akankah dengan kehadiran Darla membuat Fabio semakin takut dan membenci wanita atau justru sebaliknya?

Ilmafaza · Realistic
Not enough ratings
22 Chs

Percaya Diri

Seketika perasaan Darla menyesal telah memberikan tuduhan lancang pada seorang Fabio, pemilik tempat di mana ia bekerja. Dan pastinya orang yang ia tuduh memiliki kuasa sepenuhnya tehadap pekerjaannya.

Bola mata Darla melirik cemas ke kiri, kanan dan bawah. Bibirnya ia katub rapat, kedua ujung alisnya kompak menurun. Ia khawatir dan cemas.

'Duh, Darla. Kenapa kau berbicara seperti itu padanya? Belum tentu dia menertawakanmu karena rambut. Bahkan walaupun dia menertawakanmu kau harus menahan diri agar tak membalasnya. Sekarang bagaimana jika dia marah dan malah mengusirku kembali? Dasar ceroboh!' Batin Darla cemas sambil meremas roknya.

Darla bahkan tak sanggup menjawab pertanyaan Fabio.

"Ya, kau tidak sepenuhnya salah. Rambutmu lebih baik disanggul seperti biasa dari pada memperlihatkan kemekarannya yang mengganggu mata," balas Fabio tak terduga, sukses membuat Darla membuka mulutnya ternganga.

"Maksudku, kau akan menghidangkan makanan, siapa tahu rambutmu rontok dan mencemari makanan itu, jadi sebagai seorang steward, kau sudah pasti tahu bahwa kebersihan adalah paling utama. " Setelah menyelesaikan kalimat klarifikasinya, Fabio meninggalkan Darla yang mematung menuju meja bundar bergabung bersama karyawannya.

Darla tertegun dan tersenyum masam, setelah sadar ia diperingatkan Fabio dan merasa malu dengan para karyawannya, ia pun pergi dari orang-orang berdasi tersebut.

"Kurang ajar, dia membela karyawannya. Padahal aku sudah memakai shampoo anti rontok. Dia pikir aku penyakitan sampai-sampai rambutku akan rontok." Darla bergumam mengomel sambil melangkahkan kaki dengan tegas tetapi dengan kepala tertunduk. Wajahnya memerah dan terasa hangat.

Ketika memasuki lift, ia masih belum berhenti dengan ocehannya hingga pintu lift terbuka dan ia bertemu dengan Anton yang akan kembali ke atas bersama karyawan Fabio lainnya.

"Ini sungguh kebetulan yang unik, sudah dua kali aku bertemu dua orang berbeda dengan ekspresi wajah yang sama ketika hendak memasuki lift," sindir Anton terhadap wajah merengut Darla.

Darla belum berniat menjawab sindiran Anton, kecuali menatapnya dengan pupil yang tajam.

"Apa kau baru saja menghadapi hal buruk?" Anton mencoba bertanya lebih dalam.

"None of your bussines! Urus urusanmu sendiri," jawab Darla tegas dan dengan nada tinggi.

Anton hanya bisa menatap Darla dengan bingung dan menduga-duga apa yang sedang terjadi pada wanita yang baru saja membentaknya. Kemudian ia masuk ke dalam lift, sementara Darla keluar. Namun tiba-tiba Darla menghalangi Anton untuk menutup pintunya.

Sebelah alis Anton naik, isyarat kecil itu menandakan ia bertanya 'kenapa' pada Darla.

"Apa menurutmu rambutku tak enak dilihat?" Darla memberikan pertanyaan dengan kepercayadirian yang mantap.

"Itu bukan urusanku," jawab Anton datar sambil memencet tombol dan sepersekian detik kemudian lift tertutup perlahan, meninggalkan eksresi Darla yang jauh lebih mengenaskan.

"Mereka semua sama saja!" gumam Darla sambil menyentuh rambutnya.

***

Matahari terbenam mulai sepenuhnya hanya meninggalkan cahaya merahnya. Fabio dan sepuluh karyawannya menikmati hidangan sambil melihat pemandangan menakjubkan di atas kapal pesiar yang berlayar.

Cukup unik, pesta tersebut terlihat tanpa diiringi musik sedikitpun. Hal itu karena sang bos mereka yang tak menyukai alunan musik. Tak ada yang tahu apa alasannya termasuk Anton sang sekretaris.

"Apa wanita itu tidak akan menghidangkan sesuatu lagi ke sini?" tanya Fabio pada Toni yang sedari tadi hanya dia yang Fabio lihat bolak-balik membawa hidangan. Sedangkan Darla tak lagi kelihatan setelah ia peringatkan sebelumnya.

"Saya tidak tahu, Pak. Tadi saya pikir dia juga akan ke sini, tapi ternyata tidak lagi. Aku tidak sempat berbicara padanya," jawab Toni apa adanya.

Fabio mengangguk dan sedikit dihampiri penyesalan. Sebab berpikir bahwa ucapannya pada Darla cukup keterlaluan.

Fabio menyingkir dari keramaian pembahasan anak buahnya, menuju pagar kapal sambil membawa segelas minuman. Tak disangka Anton menyusulnya. "Apa ada yang menyakiti wanita itu sehingga saat kubertemu dengannya di lift wajahnya terlihat muram?" tanya Anton.

"Maksudmu Darla?"

"Apa kau akan berpikir aku sedang membicarakan Liza?"

Fabio menghela napas, "Jujur aku lebih suka kita membahas Liza dari pada dia. Hanya Liza wanita yang tidak sensitif dan mau mengerti. Dia selalu tersenyum. Sedangkan Darla, dia sangat sensitif, pembangkang dan percaya diri berlebih hingga membuatnya terlihat ... sempurna ..."

Anton tak mengerti maksud kata terakhir dari ucapan Fabio sebelum ia mengikuti sorot mata Fabio yang tertuju pada seseorang yang baru mereka bicarakan, datang dengan kostum berbeda dan tidak lagi terlihat seperti seorang pelayan.

Kehadiran Darla kembali membuat semua orang terpukau. Bukan karena rambutnya yang kata Fabio tidak enak dilihat mata, tetapi karena dress hitam selutut yang membuat Darla terlihat elegan.

Darla sama sekali tak menyanggul rambutnya. Ia tetap membiarkan rambut mekar itu tergerai apa adanya. Ia juga terlihat lebih percaya diri. Tak heran, sebab percaya diri sudah mendarah daging di dalam tubuh Darla.

Darla tak lupa mengambil segelas minuman di atas meja lalu melangkah dengan high heelsnya menghampiri Fabio yang terpana. Mungkin bukan terpana, tapi gugup lebih tepatnya.

"Lama-lama aku akan terbiasa dengan gugup dan desiran aneh di tubuhku ini," guman Fabio yang tak begitu jelas didengar Anton.

"Hah?" Anton refleks bertanya namun tak disahut oleh Fabio yang masih menatap Darla dengan wajah yang mulai terlihat pucat.

"Bapak mengundang saya untuk bergabung, 'kan? Jadi untuk bergabung dengan para karyawan, saya harus menanggalkan kostum pelayan. Maaf jika Bapak tidak suka," ucap Darla dengan santai. Setelah itu meneguk minuman di tangannya.

Anton menatap ekspresi Fabio dan Darla bergantian, tapi ia merasa khawatir dengan ekspresi bos-nya yang terlihat tertekan. Ia tahu apa yang dirasakan seorang Fabio yang tak lain adalah ketakutannya masih menyerang.

"Maaf, kau keberatan jika aku akan berbicara denganmu sebentar?" tanya Anton pada Darla.

Alis kiri Darla melengkung diiringi dengan sudut bibirnya yang tertarik. Bibir itu dipoles dengan lipstick berwarna merah terang, membuat bibir tipis Darla menjadi lebih berisi. "Silakan!" ucapnya.

"Tapi tidak di sini," jawab Anton dengan langsung menarik lengan Darla menuju area lain tapi masih di sekitaran area kolam renang. Hanya menjauh dari Fabio. Inisiatif itu Anton lakukan demi perasaan bos-nya yang ia tahu saat ini tidak sedang baik-baik saja.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" protes Darla sambil melipir lengannya yang telah digenggam Anton dengan erat.

Wajah Anton menegang dan ekspresinya menajam. "Apa kau lupa jika Fabio masih memiliki ketakutan pada mu? Kau sengaja membuatnya dipermalukan di depan karyawannya?" tuduh Anton.

Kekesalan di wajah Darla terlihat jelas, "Itulah salahnya kalian. Selalu ingin lari dari hal-hal yang membuat kalian lemah. Pengecut!" Darla mengungkapan kekesalannya.

Wajar, karena ia baru saja dihina oleh para karyawan dan bosnya sendiri, tapi Darla datang kembali dengan pecaya diri dan tetap mempertahankan style-nya tanpa mengubah atau menuruti ucapan orang-orang yang sudah menghinanya. Namun Anton tak tahu itu.