webnovel

Kepingan Sayap Memori Penuh Dendam

Mitos mengatakan angka 7 merupakan sebuah angka keberuntungan. Bagi Dina, angka 7 merupakan kesempatan dari Tuhan! Dulunya, Renata yang merupakan sahabat terbaiknya memanipulasi Dina hanya demi seorang pria, Teddy. Tidak berhenti disitu, Renata menjebak Dina dan menjebloskannya ke dalam penjara, lalu menyuruh seseorang untuk membunuh Dina didalam sel yang suram itu. Dina berpikir dia hanya akan berakhir di Neraka dengan beribu penyesalan. Tapi nyatanya Ia terbangun kembali ke 7 tahun lalu, sebelum semua masalah hidupnya dimulai. Kini Dina tidak boleh jatuh kedalam lubang yang sama, Ia harus menyiapkan rencana serangan balik sebelum semuanya terlambat!

Pena_Fiona · Teen
Not enough ratings
424 Chs

Persoalan Makalah Itu Akhirnya Selesai

Pemilik artikel itu memposting tanpa nama dan banyak komentar di bawah dari banyak pengguna juga tidak memiliki nama atau gambar profil. Bisa diduga seseorang pasti telah membuat banyak profil dan menggunakannya untuk hal seperti ini di Internet, sehingga merusak kesan semua orang terhadap Dina Baskoro.

Tapi di kampus ini, siapa lagi yang akan melakukan hal seperti ini selain Renata Sanjaya. Dina Baskoro sangat mudah untuk menebak siapa biang keladi semua ini.

_ _ _ _ _ _ _

Meski kesal di hatinya, tapi Dina Baskoro masih berpura-pura biasa saja.

"Renata, jangan khawatir, aku tidak peduli apa yang orang-orang ini katakan? Mereka hanya sekelompok 'keyboard warrior'. Mereka tidak akan berani berkata seperti di depanku. Di Internet, siapa pun bisa berkata apa saja, dan perkataan mereka tidak ada artinya. Karena mereka sangat suka berkata yang tidak jelas, biarkan saja mereka seperti itu, kan?"

Dina Baskoro selesai berbicara dan memandang Renata Sanjaya sambil tersenyum, tampak ceroboh. Renata Sanjaya sedikit tidak nyaman melihat senyumnya yang begitu aneh.

Jadi dengan ragu-ragu Renata bertanya, "Dina, apakah kamu benar-benar tidak peduli? Jangan berbohong."

Dina Baskoro masih tersenyum, "Tentu saja, untuk apa aku berbohong padamu? Jika aku digigit anjing mungkinkah aku harus menggigitnya kembali? Itu akan membuatku kotor, bukan?"

Wajah Renata Sanjaya berubah dan sangat tidak nyaman, tetapi dia hanya bisa setuju dengan senyuman,"Iya."

Setelah berbicara, Renata Sanjaya dengan cepat mengubah topik, "Ngomong-ngomong Dina, apakah kamu yakin untuk menulis makalah itu di depan umum kali ini, apakah kamu memerlukan bantuanku? Kebetulan aku masih memiliki beberapa makalah yang ditulis terakhir kali. Materinya tidak terpakai."

Ketika Dina Baskoro mendengar itu, dia mendengus dalam hatinya, "Memintanya untuk membantu? Aku khawatir itu hanya membuang-buang waktuku saja!"

Jadi Dina Baskoro hanya tersenyum dan menolak, "Tidak perlu Renata, aku akan melakukan yang terbaik dan aku ingin membuktikan kalau aku memang tidak bersalah dengan kemampuanku sendiri."

"Tapi…" Renata Sanjaya ingin mengatakan sesuatu.

Dina Baskoro menyela, "Oke Renata, kalau begitu aku akan belajar dulu sekarang, terima kasih atas kebaikanmu, tetapi aku benar-benar bisa melakukannya sendiri, jangan khawatir."

Karena Dina Baskoro sudah mengatakan itu, Renata Sanjaya tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Jadi dia hanya bisa mengangguk, "Oke, kalau begitu. Aku tidak akan mengganggumu belajar."

Setelah itu, Renata Sanjaya meninggalkan kelas.

Dan Indah Permata yang menunggu di depan pintu kelas, melihat Renata Sanjaya keluar, lalu bertanya, "Apa yang dia katakan?"

Renata Sanjaya menjawab dengan lemah, "Dia berkata dia bisa melakukannya dan dia tidak mau menerima bantuanku."

"Hah?" Indah Permata bertanya dengan cemas, "Apakah dia benar-benar yakin jika dia bisa melakukannya?"

Renata Sanjaya mengangkat bahu, "Dia bilang dia bisa melakukannya. Sebelum melihat hasilnya, bagaimana aku bisa tahu? "

"Lalu bagaimana jika dia benar-benar bisa menuliskannya? "Indah Permata bertanya lagi.

Renata Sanjaya terkejut ketika dia mendengar pertanyaan itu dan ekspresi cemberut muncul di wajahnya, "Bahkan jika dia berhasil menulisnya, lalu kenapa? Aku masih punya cara untuk menghadapinya."

Indah Permata mendengar jawaban itu lalu tersenyum dengan licik.

Sore hari, Dina Baskoro sedang menulis makalahnya di kantor fakultas. Tiba -tiba Ajeng berkata kepadanya, "Dina Baskoro, kali ini aku akan bekerja sama dengan Profesor Widodo, dan kami akan mengawasimu sampai kamu selesai menulis. Agar kamu tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk berbuat curang lagi, jadi apakah kamu yakin bisa mengerjakannya?"

Mendengar perkataan itu, Dina Baskoro diam sejenak lalu menjawab tanpa ragu,��Ya."

Membuat Ajeng merasa sedikit tidak nyaman melihat Dina Baskoro begitu percaya diri.

Lalu Ajeng berkata lagi, "Saya harap kamu tidak akan mengecewakan saya lagi. Oke, datang ke ruangan ini sore hari ini. Saya akan memberi anda satu kesempatan. Jika anda gagal dan tidak bisa menuliskannya, anda akan menerima risiko sendiri!"

"Oke" Dina Baskoro menanggapi dengan santai.

Ketika Dina Baskoro sampai di ruangan yang dimaksud, baik Widodo maupun Ajeng sudah menunggu disana.

Widodo mengenakan pakaian yang sangat kasual hari ini, serba putih, yang terlihat tenang dan lembut.

Melihat Dina Baskoro datang, Widodo berdiri lalu mendekat ke arah Dina dan membelai rambutnya serta menyemangati, "Ayo, aku yakin kamu bisa."

Dina Baskoro merasa sangat bersemangat lalu mengangguk, "Jangan khawatir kak, aku pasti bisa mengerjakan ini semua."

Kejadian itu dilihat Ajeng dari kejauhan, dengan emosi dan cemburu Ajeng langsung memarahi Dina Baskoro, "Waktunya sudah berjalan, segera mulai menulis makalahmu!"

Dina Baskoro kemudian duduk menyiapkan diri.

Jadi sepanjang sore, Dina Baskoro tinggal di ruang kelas independen itu dan menyelesaikan makalahnya dengan hati-hati dan cermat.

Selama proses itu, Widodo terkadang menatap Dina dan melihat bahwa dia benar-benar serius, membuatnya tidak bisa menahan senyum.

Ajeng merasa kesal saat melihat situasi itu, jadi dia sengaja batuk dua kali dan berkata, "Dina Baskoro, serius dalam mengerjakan!"

Dina Baskoro mengabaikan ucapannya barusan dan berkata dalam hatinya "Aku dari tadi serius mengerjakan ini"

Lalu waktu yang disiapkan sudah habis dan Ajeng melangkah ke meja Dina Baskoro untuk mengambil makalah yang ditulisnya.

Dina Baskoro masih menulis, tetapi Ajeng mengambil kertas itu dengan paksa dan cepat.

Dina Baskoro tidak berdaya, tetapi dia tidak terlalu peduli.

Dinamenulis esai ini dengan sangat hati-hati dan memikirkannya berulang kali dalam prosesnya. Masalahnya seharusnya tidak terlalu sulit, jadi Dina menghela nafas lega setelah semuanya selesai.

Melihatnya Dina Baskoro begitu santai, Ajeng meliriknya dengan sedikit emosi, "Jangan sombong, makalah ini belum tentu sesuai dengan yang kita bahas sebelumnya?"

Setelah selesai berbicara, Ajeng menghimpit kertas itu di bawah ketiaknya lalu berkata, "Besok, saya akan memposting hasil tesis mu ini pada papan pengumuman. Semua orang akan bisa melihatnya saat itu. Saya harap tesismu ini tidak mengecewakan."

Dina Baskoro mengangkat bahu dengan cuek, berpikir bahwa semuanya sudah selesai dan merasa telah melakukan yang terbaik.

Pada saat itu, Widodo juga melangkah mendekati Dina dan bertanya dengan lembut, "Akhirnya selesai juga, bagaimana perasaanmu?"

Dina Baskoro memberikan senyuman penuh pengertian dan dengan jujur ​​berkata, "Rasanya biasa saja, tapi aku sudah melakukan yang terbaik, dan hasilnya terserah takdir. "

"Yah, tidak apa-apa." Widodo mengangguk puas. "Kamu sudah bekerja keras, dan telah duduk sepanjang sore, tidak banyak bergerak."

Dina Baskoro menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak apa-apa, aku tidak bekerja keras. Aku hanya menulis dengan serius, dan tidak terasa waktu berlalu, tetapi kamu yang menungguku di luar dari tadi, pasti sangat membosankan."

Widodo tersenyum lalu mengganti topik, "Karena semua sudah selesai, apakah kamu ingin makan bersama? Aku baru-baru ini menemukan restoran baru yang rasanya enak."

Namun, Dina Baskoro sedang tidak mood, jadi dia menggelengkan kepalanya dan menolak, "Maaf Kak Widodo, aku ada urusan yang harus dilakukan malam ini, tidak bisa makan denganmu. Mungkin lain kali"

Widodo tidak punya pilihan lain, "Oke, kalau begitu, lain kali saja saat ada waktu luang kita akan membuat janji."

Setelah percakapan, keduanya melambai dan kemudian Widodo melihat Dina Baskoro menjauh.

Ajeng yang menyaksikan adegan itu, menggertakkan giginya karena cemburu, "Kenapa Widodo tidak pernah begitu lembut padaku?"

Jadi, setelah Dina Baskoro pergi, Ajeng tiba-tiba mendekat dan bertanya, "Pak Widodo aku belum makan. Apakah kamu mau makan bersama nanti?"

Widodo mengerutkan kening dengan canggung. Tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata, "Oh, saya hampir lupa. Saya masih memiliki sesuatu yang harus diurus setelah ini, jadi saya tidak bisa menemani Anda makan, terima kasih. Dan selamat sore."

Setelah berbicara, Widodo melangkah pergi meninggalkan Ajeng yang berdiri mematung. Terlihat sangat marah.