webnovel

Episode 01 - Penderitaan yang Kelewatan

Harus mulai dari mana cerita ini? Pada suatu hari? Tidak, itu klise banget. Saat bangun telat terus buru-buru sarapan dan berangkat? Apalagi itu! Pembuka apa ya yang bikin boom penonton seperti kalian?

Ah. Mungkin dari sini saja.

Seorang wanita berambut hitam ikal berlari kencang, sangat kencang sampai melihat ke belakang. Ia sedang mengalami adrenaline rush, adrenaline rush dari ketegangan dan ketakutan dari sesuatu di belakangnya.

Saat ia berbelok di pertigaan melewati zebra cross, tanpa memperhatikan lampu lalu lintas, kesalahan besar, sungguh kesalahan besar, sebuah truk pickup warna putih melaju kencang dari kanannya. Begitu ia mendengar klakson berbunyi seperti terompet, ia terlambat berpaling. Terlambat tahu.

"AAAAAAAAAARRRGH!!"

Tubuhnya tertubruk oleh kepala truk hingga terpental menuju jalan aspal. Kepalanya juga terbentur memicu darah mengalir di keningnya.

Ya, itu saudari kembarku, Winona. Setidaknya dia tidak hanya diam dan menyaksikan truk itu akan menabraknya, seperti di kebanyakan sinetron. Sungguh unfortunate truk itu tidak sempat mengerem sebelum menabrak gadis malang itu.

Tidak, ini bukan cerita bagaimana Winona masuk ke dunia lain. Ini adalah cerita bagaimana kehidupannya sudah rumit, ditambah rumit lagi.

Sudah. Aku ceritakan saja dari awal kenapa bisa jadi begini.

***

"Dasar kamu ini tidak becus, Winona!!"

Ya. Sudah bisa kalian tebak. Wanita yang meneriaki Winona ini adalah Wilhelmina, her evil stepmother, superficially evil. I know, seperti di sinetron, kan? Bisa kalian tebak, ia mendorong gadis malang itu ke lantai.

Winona hanya duduk tidak berdaya, posisi kakinya seperti sirip putri duyung, tapi tidak elegan. Nyeri pada bokongnya sedikit menusuk saraf akibat dorongan dari sang ibu tiri. Oh lengkap dengan mata berkaca-kaca.

"Mau jadi apa kamu kalau kerjanya enggak bener terus?" Ya, intonasi tinggi dari napas api wanita berambut pendek pirang dengan motif abu di bawah menyayat hati Winona. "Enggak berterima kasih udah lama tinggal di sini. Kamu di sini cuma pembantu, tahu enggak kamu!"

Ya, ini yang kalian harapkan. Winona diperlakukan bukan sebagai orang berderajat sama dengan penghuni rumahnya sendiri, melainkan sebagai pembantu, lebih tepatnya babu.

"Lantai masih kotor, masih ada debu walau satu butir! Apalagi sepuluh butir! Bikin enggak enak injaknya tahu enggak kamu! Sapu sama ngepel aja lambat banget!"

Winona hanya menatap lantai, apalagi lututnya. Ia tidak mengangkat kepalanya hanya untuk menatap sang ibu tiri. Kalau dia mengangkat kepalanya dan menatap langsung tepat pada wajah sang ibu tiri, apalagi matanya yang berapi-api, dia tidak akan berani.

Sungguh, dia adalah tokoh utama seperti Cinderella di kebanyakan sinetron. Lemah lembut, tidak berdaya, dan sering menderita akibat perbuatan antagonis. Mudah sekali untuk menebak bagaimana wataknya. Winona seperti malaikat, Wilhelmina, ibu tirinya, seperti iblis.

"Heh!"

Oh, aku lupa. Ada satu antagonis lagi.

Wanita berambut panjang tebal dan bergaun putih motif cokelat tanpa lengan melangkah cepat menghampiri keduanya, terutama Winona. Pijakan kakinya keras sekali.

"Lo sengaja kan bikin lantai ruang depan licin! Gue jadi kepeleset! Sakit tahu!!"

Wanita itu sampai mengempaskan tangannya pada pundak kiri Winona, menambah satu lagi penderitaan.

"Tiara," Wilhelmina langsung mengutarakan lebih banyak amarahnya, "belum jera-jera juga si Winona ini. Dia belum kapok juga kerjaan masih enggak benar."

Oh aku lupa memperkenalkan wanita ini, dia adalah Tiara. Dari dandanan bedaknya yang menyamarkan kulit hingga mulus saja sudah bisa tertebak dia adalah antagonis.

"Oh ya." Tiara berpaling mengambil ember hitam berisi air pel di dekat meja dapur. "Nih!"

Bisa kalian tebak, ia memuntahkan seluruh isinya pada seluruh tubuh Winona, dari kepala. Tidak lupa, ia juga melemparkan embernya tepat pada bahu gadis malang itu.

Seluruh tubuh Winona telah basah. Dingin sudah menembus dari pakaian, kulit, menuju tulang. Menambah satu lagi penderitaan, ia gemetar sampai menarik napas cepat, air matanya kembali menetes.

"Halah! Nangis lagi!" jerit Tiara. "Itu akibatnya kalau enggak becus terus!"

Wilhelmina menambah satu lagi tusukan pada hatinya, "Dan kamu enggak usah makan malam aja sekalian!"

Secara angkuh dan membuang muka, Wilhelmina dan Tiara berbalik meninggalkan Winona sendirian tidak berdaya.

Winona mengangkat kepalanya dan menyentuh dadanya. Hatinya sakit, sakit sekali. Sakitnya sampai ia merengek harus menerima keadaan sambil tidak berdaya. Terus disiksa-siksa oleh "majikan" (pakai tanda kutip) sampai menangis pasrah.

Itu adalah salah satu contoh penderitaan Winona selama menjadi pembantu di rumah.

Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa Winona enggak kabur aja dari rumah ini? Kenapa dia enggak stand up? Sayangnya, enggak semudah itu. Berkali-kali dia kabur, pasti selalu tertangkap. Wilhelmina punya koneksi, punya rekannya.

Sayangnya itu tidak penting untuk cerita ini kalau dijelasin lebih lanjut.

***

"Bangun!!"

Dobrakan pintu dan jeritan Tiara menginterupsi alam bawah sadar Winona. Ia sudah memejamkan mata, berbaring di matras tipis, dan menikmati tidurnya, tapi dihentikanoleh sebuah gangguan.

"Malah enak-enak tidur kamu. Dipanggil berapa kali enggak nyahut!"

Winona hanya bisa berkata, "Ma-maaf, Tiara."

"Maaf! Maaf! Sini kamu!"

Tiara menarik lengan Winona, menggiringnya berdiri dari kasur. Kencang sekali, cengkeramannya pada pergelangan tangan bisa dibilang seperti menarik bola besi.

"Lepasin, Tiara! Lepasin!!" jerit Winona meringis mendapati kulit pergelangan tangan kanannya bergesek keras saat keluar dari kamarnya.

Saat mereka menapakkan kaki di ruang depan, sudah ada Wilhelmina dan seorang pria gundul, berkaos hitam tengkorak, berkalung hitam tebal, setebal kulit ular, dan bertubuh kurus. Tunggu, wajahnya mirip orang apa ya? Blasteran gitu?

Satu lagi trope antagonis di kebanyakan sinetron, kan? Aku tahu bagaimana perasaan kalian, begitu juga dengan Winona.

"Winona," sambut Wilhelmina berdiri dari sofa merah, "dia adalah calon suami kamu."

Jeng jeng jeng! Winona mundur satu langkah, tercengang mendapati seorang pria di hadapannya ini merupakan calon pendampingnya kelak. Ia menggelengkan kepala berkali-kali. Ia sama sekali belum bertemu pria itu, apalagi mencintainya.

"Hai, Winona." Pria itu memulai rayuannya, penuh nafsu, sampai berdiri dari sofa dan menjulurkan lidah ke bagian bawah mulut, seperti tidak sabar ingin makan.

"Sukiman," Wilhelmina memanggil nama pria itu, "kamu bawa dia ke kamarnya sekarang juga."

"Enggak! Enggak!!" Winona langsung meronta-ronta saat Sukiman mendekatinya, ingin melepaskan diri dari cengkeraman Tiara.

"Ih! Apaan sih!" jerit Tiara.

Sukiman menyentuh lembut tangan kiri Winona dan mencengkeramnya. Tiara sudah menyerahkan gadis malang itu. Pria berlibido tinggi itu menarik Winona kembali ke kamar.

Keduanya telah memasuki ke dalam kamar yang sederhana itu. Hanya ada matras dan meja untuk menyetrika, lantai keramik putih, dinding cat putih bernoda. Ya, ini yang kalian harapkan dari si protagonis gadis menderita tidak berdaya.

Sukiman menyentuh dan mengelus-elus bahu Winona penuh nafsu.

"Lepasin!" tolak Winona.

"Sayang …." Sukiman lagi-lagi menjilat bibirnya. "Aku ini calon suami kamu. Sudah menjadi kewajiban kamu untuk melayani saya."

"Enggak! Enggak!"

Sukiman mengcengkeram kedua tangan Winona. Senyumannya melebar ke atas, tatapannya juga seperti predator, menatap langsung pada bagian dada. "Jangan malu-malu. Kita uji coba dulu, Sayang."

"Enggak mau! Lepasin! Lepasin!!"

Winona kembali meronta-ronta, mengguncang-guncangkan seluruh tubuh untuk mendorong Sukiman menjauh darinya. Apa daya, cengkeraman Sukiman sudah menekan kulit dan tulang tangannya.

Gadis malang itu menubrukkan dadanya. Wah, Sukiman sampai jatuh ke matras saat bergeser dan berbelok. Pria itu cepat-cepat menempatkan tangan kiri pada matras sebagai tumpuan untuk bangkit.

Winona mengambil setrika dari meja dan melemparnya tepat ke arah jendela. Saat bagian atas setrika itu menubruk, kaca jendela langsung pecah seketika.

Ia terbirit-birit berlari tanpa melihat ke belakang mendekati jendela itu. Tanpa memedulikan sisa pecahan kaca di sisi kiri dan kanan, ia melompati jendela itu dan mendarat di halaman depan rumah.

Dengan cepat, ia memanjat pagar cokelat muda untuk meloloskan diri. Begitu kakinya mendarat di jalan aspal, Winona mulai melesat dan berfokus pada jalan berlampu neon putih di sekitar trotoar. Malam hari, langit hitam, jalanan sunyi, tidak ada aktivitas apapun selain mobil lalu-lalang.

Ia menggeretakkan gigi, masih saja menangis sambil berlari. Batinnya tahu, ia tidak dapat lolos, berkali-kali kabur pasti akan tertangkap. Ia berhenti sejenak saat mendapat persimpangan. Secara refleks dan karena adrenalin-nya semakin mengencang, ia belok kanan melintasi trotoar

Ya, ini dia, kembali ke awal cerita.

Winona berlari kencang, sangat kencang. Jantungnya berdebar kencang, sangat kencang, sampai ia menoleh ke belakang, takut jika ibu tiri, adik tiri, dan calon suaminya mengejar dari belakang. Tidak ada satupun dari mereka, hanya beberapa pejalan kaki yang terheran-heran atau hanya abai.

Saat ia berbelok di pertigaan melewati zebra cross, tanpa memperhatikan lampu lalu lintas, sebuah truk pickup warna putih melaju kencang dari kanannya. Begitu ia mendengar klakson berbunyi seperti terompet, ia terlambat bereaksi.

"AAAAAAAAAARRRGH!!"

Tubuhnya tertubruk oleh kepala truk hingga terpental menuju jalan aspal. Kepalanya juga terbentur memicu darah mengalir di keningnya.

Sebelum pandangannya menghitam, ya, aku tahu apa yang kalian pikirkan; pandangannya memburam seakan ia tidak bisa melihat langit biru cerah, apalagi di sekitarnya. Akan tetapi, ia melihat seorang wanita berambut hitam kecokelatan lurus dan bertubuh langsing seperti standar model menghampirinya. Melihat wajahnya, ia tercengang mendapati wanita itu mirip, mirip sekali! Seperti menatap cerminnya sendiri, secara harfiah. Wajah kembarannya.

Ya, itu aku, saudari kembarnya. Aku menghampiri Winona sambil prihatin, sungguh prihatin.

Pada akhirnya, sesuai tebakan kalian, ia tidak sadarkan diri.

Dia akan tahu siapa aku sebenarnya. Ini bagian di mana aku menjadi saksi cerita ini.

***

Saat Winona akhirnya membuka mata dan kesadarannya perlahan dari seperti kamera blur menjadi lebih jernih. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit berlampu LED putih berbentuk persegi panjang. Beralih ke sekeliling, di hadapannya sudah ada LCD TV flatscreen tertancap di atas, meja berlaci dan kursi, serta overbed table putih alias meja beroda.

Ia juga akhirnya merasakan ia tidur di kasur yang lebih empuk daripada kasur di rumahnya, berselimutkan selimut biru tebalnya. Maksudku, tentu saja dia selama ini pingsan, maka tidak akan terasa selama ini.

Ia pun menoleh ke kirinya, sebuah sofa abu-abu empuk dan sebuah coffeetable putih. Juga … seorang pria asing, pria berwajah putih oriental, berkacamata tebal, berjas hitam menonjolkan tubuh gagap, dan berambut hitam pendek bercepak kuning kecokelatan.

Tunggu, Winona pasti berpikir dia tidak berada di rumahnya saat ini, saat ini juga! Apalagi setelah pria itu menoleh dan bangkit dari duduknya seperti melompat kegirangan.

"Natasha! Syukurlah!" sahut pria itu histeris.

Natasha? Oh, aku tahu apa yang kamu pikirkan, Winona.

Dan itulah saat Winona berada di dunia barunya, kalau mempertimbangkan adegan ketabrak truk. Cocok sekali dengan momen-momen dramatis berikutnya, dan rumit, rumit sekali.

Kehidupan barumu akan dimulai dari sekarang, Winona. Berterimakasihlah pada dewa yang keluar dari mesin, alias deus ex machina.

Maaf, penonton, pasti kalian marah banget deus ex machina terlibat. Tapi itu perlu banget buat cerita ini, setidaknya untuk sekarang.

Apa? Kalian berpikir aku keterlaluan bercerita seperti ini? Sudahlah, just enjoy what's coming next.

Next chapter