webnovel

Tidak nyata

Di dalam dunia jin lapisan pertama.

Sebuah gua yang cukup besar, telah menjadi penjara bagi Nara. Dari balik jeruji besi Nara hanya bisa pasrah menerima ini.

Jeruji besi itu sudah dilingkupi oleh penyerap energi, dimana semua energi termasuk kekuatan supranatural apapun bisa langsung terserap dan tidak menyisakan sedikitpun, alias ia menjadi jin yang tak memiliki kekuatan apapun selama dirinya berada didalam sel tersebut.

Tepatnya sudah dari kemarin malam Nara dipenjara disana, dirinya bahkan tidak tahu dengan cara apa ia bisa keluar dari tempat itu.

Kakak perempuannya itu benar-benar menyebalkan, bahkan ia pun tahu betapa kakunya setiap aturan dan adab yang kakaknya itu junjung tinggi.

Meski begitu ia juga tahu, alasan kakak satu-satunya itu melakukan hal ini adalah karena untuk kebaikannya.

Sepertinya Nara ditinggal seorang diri disana, entah kakaknya itu pergi kemana sekarang, apakah sedang pulang ke kerajaan?

Jika saja kedua orang tuanya tahu kalau Nara sedang dikurung olehnya, itu pasti akan membuat perselisihan antara Dewi Ayu dan kedua orang tuanya.

Cukup rapih juga yang kakaknya lakukan saat ini. Entah apa yang akan ia lakukan setelah ini. Dan mau sampai kapan dirinya akan terus dikurung seperti ini?!

Tiba-tiba Dewi Ayu muncul dan mendekati selnya. "Bagaimana? Sudah mulai bosan berada disini?" tanya Dewi Ayu. Nara memalingkan wajahnya, acuh.

"Semakin banyak keinginanmu untuk pergi kesana, semakin lama juga kamu akan menetap disini." ucap Dewi Ayu tersenyum picik.

Nara mendecih. Balik tersenyum licik. "Bukankah kejadian yang kualami ini pernah juga dialami sama Mbak? Enggak perlu berkata seakan yang paling benar, karena kapanpun perkataan itu bisa mengejar diri Mbak sendiri." ucap Nara. Dewi Ayu semakin bertambah kesal dengannya.

"Heh, itu masa laluku. Bahkan aku sudah mengubur semua kenanganku itu hidup-hidup. Semua itu tidak ada hubungannya dengan ini, lagipula setelahnya aku langsung sadar. Bahwa sejatinya kaum mereka itu bukanlah pasangan yang cocok untuk kaum kita!" tandas Dewi Ayu. Nara terdiam.

"Mbak itu udah baik kasih tahu kamu! Jangan sampai kamu dekat-dekat bahkan sampai menikah dengan manusia itu! Mbak sudah tahu, kalau ujung dari kisah kalian pasti akan berakhir seperti Mbak! Tidak usah mengulang hal yang sudah ketahuan ujungnya! Bahwa kalian berbeda, tidak bisa bersama! Ikhlaskanlah dia!" tandas Dewi Ayu.

"Tidak semudah itu!" Nara balik bertandas.

"Kaum manusia itu pengkhianat! Jangan sekali-kali kamu berikan seluruh cintamu kepada mereka! Karena kamu akan merugi!" ucap Dewi Ayu seakan memiliki dendam yang begitu dalam terhadap kaum manusia.

Nara hanya diam saja saat itu, di satu sisi ia tidak membenarkan perkataannya. Tapi di satu sisi juga dirinya paham, kalau yang dikatakan kakaknya memiliki beberapa persen kemungkinan menjadi kenyataan.

Hubungan antara dirinya dan Putri masih belum sedalam itu. Masih terlalu singkat untuk dikatakan kalau Putri memendam perasaan yang dalam untuknya.

Bahkan Nara ikutan bimbang, saat dirinya memikirkan tentang sikap Putri belakangan ini. Dimana... Ketika Putri dihadapkan pada beberapa pria manusia disekitarnya...

Yang bisa membuatnya tertawa lepas, mengobrol santai hingga dihadapkan pada situasi dimana dirinya membutuhkan pertolongan dalam keadaan nyata, dalam keadaan...

Terlihat oleh siapapun. Berbeda halnya dengan ia yang tidak bisa terlihat oleh siapapun.

Ia ghaib... Ia bahkan tidak nyata.

Kepercayaan dirinya mulai menciut saat ini juga. Semakin dirinya berpikir tentang semua itu, semakin rendah pula rasa kepercayaan dirinya.

Di kantin kantor.

Putri, Melissa, Aisyah, Doni dan Panji saling duduk berhadapan di kursi masing-masing. Dihadapan mereka juga sudah disuguhkan oleh tempat makan masing-masing maupun minumannya.

Mereka saling mengobrol ketika itu. "Haiss, gue kangen makan diluar, pengen bebek goreng.." keluh Doni seraya bertopang dagu.

"Inget Don, ini tanggung bulan. Kayak enggak tahu aja lu, orang jaman now kalo tanggung bulan kagak pada berani ngopi starbuck, ngopinya pake permen kopiko hahaha." tawa Panji.

Doni melirik sinis dirinya. "Itu sih elu, yang kagak mampu beli kopi kapal api." ucap Doni balik serang.

"Eh Put, lo pacaran ya sama Pak Sultan?" tanya Aisyah yang langsung membuat Putri batuk-batuk parah ketika sedang mengunyah makanannya.

"Apaan?" Putri balik tanya serasa salah dengar.

"Lo pacaran kan sama pak direktur? Udah deh ngaku aja." ucap Aisyah.

"Lo dapet kesimpulan ngaco kayak gitu dari mana? Doni?" tanya Putri.

"Ettdah gue dibawa-bawa." protes Doni.

"Ya cuma nyimpulin sendiri sih, habisnya lo belakangan dekat banget sama Pak Sultan." ucap Aisyah.

"Enggak, kita cuma sering ngobrol kok dan itu semua terjadi juga karena kita depanan rumahnya." ucap Putri.

Keempat dari mereka langsung tersentak mendengarnya. Tidak percaya.

"E-elo serius?" tanya Aisyah.

"Iyeh, kalo enggak percaya kerumah gue aja habis ini. Kita ngeliwet." ucap Putri.

"Pantesan aja Pak Sultan belakangan sering ngajakin lo ngobrol. Oh ternyata ini alasannya. Gue kira Pak Sultan kredit panci sama lo, terus enggak bayar-bayar." ucap Doni.

"Ngomong kok ngelantur. Mana ada direktur ngeredit panci! Tapi awas aja kalo kalian sebarin berita ini ke orang-orang. Gue botakin kalian semua, biar kayak upin ipin!" ancam Putri.

"Enak tuh kayaknya dibotakin. Bisa liat tuyul gak ya?" tanya Doni, Putri langsung geram.

"Yaudah sini gue botakin lu Don! Sekalian sama alisnya!" tandas Putri. Doni hanya tertawa.

"Eh tapi karena itu dong kalian dekat? Kok bisa ya kebetulan banget, satu perumahan terus depan-depanan lagi rumahnya. Jangan-jangan dia stalker psikopat yang nguntit lo terus berniat ngejadiin lo mayat koleksinya, persis kayak komik yang gue baca?" tanya Aisyah.

"Enggak usah ngaco. Ini tuh dunia nyata bukan dunia komik! Tapi katanya perkataan adalah doa. Awas aja lu Syah kalo misal ini jadi kenyataan! Gue jadiin bakwan lo." ancam Putri. Beberapa dari mereka tertawa.

"Enak tuh, tinggal gue makan." ucap Doni.

Tiba-tiba Melissa ikut bergabung dalam pembicaraan itu, setelah sebelumnya ia melihat ke arah Panji seakan memberi kode kalau ia akan menanyakan hal yang menjadi pertanyaan mereka berdua belakangan.

"Oh iya Put, gue penasaran tentang sesuatu sama lo. Ada yang bilang kalau belakangan ini lo sering ngomong sendiri. Apa itu cuma perasaan kita doang atau karena emang lo bisa liat hantu?" tanya Melissa yang langsung mengejutkan mereka semua.

Putri serasa dicecar saat itu, ia bingung harus menjawabnya seperti apa, apakah ia harus jujur juga mengenai ini? Kalau dirinya bisa melihat hantu?!

"Tapi janji ya kalian enggak kasih tau siapa-siapa soal ini?" pinta Putri.

"Yang ember disini ya Doni. Tenang aja habis ini gue lakban mulutnya." ucap Panji.

"Steples sekalian." ucap Doni.

"Gue... Bisa lihat hantu. Tepatnya setelah kejadian naik gunung ke Bogor itu, mata batin gue kebuka." ucap Putri, mereka semua tersentak ketika mendengarnya. Terutama Panji yang merasa amat bersalah atas ini.

"Maafin gue ya Put. Semua karena gue. Harusnya gue enggak ngajakin lo kesana. Ini semua pasti ada hubungannya sama jin penunggu gunung gede itu. Maafin gue ya Put." ucap Panji.

"Iya sih, udah. Enggak apa-apa kok. Lagian ada hikmahnya juga gue kesana."

"Hikmah?"

Hikmahnya adalah karena berkatnya, ia jadi bisa bertemu dan kenal dengan Nara. Itu adalah salah satu bentuk syukurnya yang paling dalam setelah semua yang telah terjadi.

"E-eh bukan apa-apa kok. Y-ya setiap kesalahan pasti ada pelajaran yang bisa dipetik dari ini." ucap Putri gugup.

Beberapa saat kemudian saat berjalan keluar dari kantin. Salah satu dari mereka terus memperhatikan cara berjalan Putri yang terlihat sedikit pincang.

"Kok jalan lo kayak pincang ya Put?" tanya Aisyah heran.

"Iya hehe tadi jatoh pas di gudang, pas naik tangga."

"Haha, ada-ada aja lo. Untung tangganya enggak apa-apa." ucap Panji. Putri menatapnya datar.

Tak lama mereka pun saling pergi duluan, Putri sengaja menyuruh mereka untuk pergi mendahuluinya karena ia langsung berbelok ke arah toilet.

Ia segera masuk ke dalamnya, tutup pintu dan perosotkan celananya. Lalu setelahnya ia basuh dan pakai lagi celananya. Tapi saat membuka pintu, pintunya tidak mau terbuka.

Putri mulai panik. Ia gedor-gedor pintu meminta dibukakan, apalagi saat itu dirinya merasa seperti diperhatikan dibelakang, bahkan bisa dirasakan bulu kuduknya ikutan merinding.

Ia benar-benar panik. "Tolong! Buka! Tolong! Buka! Buka! Plis buka! BUKAAAAA!" pekik Putri sejadi-jadinya.

Putri sangat ketakutan ketika itu. Ia masih melakukan aktivitasnya seperti itu, tapi sayangnya tidak ada siapapun yang datang.

Lebih parah lagi saat Putri mendengar tawa cekikikan diseluruh kamar mandi itu. Putri semakin kencang menggedor-gedor pintunya, semakin kencang juga teriakannya.

"BUKA! BUKA! BUKAIN! PLIS BUKAAA!" pekik Putri panik, yang membuatnya tanpa sadar menangis.

Putri semakin menangis sekencang mungkin ketika muncul sosok berdaster putih dengan wajah yang terhalangi rambut dihadapannya. Putri sangat panik, gedoran pintunya bahkan semakin mengencang.

Nara... Plis dateng! Nara gue takut! Nara kenapa lo ninggalin gue! Plis dateng! Naraaaa!!!