webnovel

Sebuah Tamparan Keras

| ruang pesan |

Mas Farel

Saya tunggu kamu di rumah

---

Mata Zulfa berbinar seketika setelah membaca pesan yang diluncurkan Farel untuk dirinya. Baru kali ini laki-laki itu mengirimi pesan untuk dirinya selama menjalin rumah tangga. Sangat di sayangkan. Bagaimana kondisi kinerja jantung Zulfa saat ini? Tidak perlu ditanyakan lagi.

Dea menatap Zulfa dengan satu alis yang terangkat. Ia benar-benar heran dengan tingkah sahabatnya yang menjadi lebih ceria dari biasanya. "Kenapa kamu? Kesambet setan? tiba-tiba jadi kaya gitu, ada hal apa sih kasih tau dong penasaran nih." ucapnya dengan heboh, bahkan kini kepalanya sudah maju-maju untuk mencuri pandang ke benda pipih yang menjadi daya pusat wanita di sebelahnya.

Zulfa menutupi ponselnya, sambil terkekeh kecil karena kini rongga dadanya terasa sangat berbunga-bunga. "Ada deh, kamu gak perlu tahu. Yang pasti ini menyangkut Mas Farel,"

"Tuh kan rahasia sama aku, nanti aku bilang Mas Farel kalau istrinya ini pelit gak mau bagi kebahagiaan sama aku."

"Bisa saja sana, nanti kalau di cuekin aku ketawa paling depan ya sambil memegangi perut saking gelinya."

Dea mengerucutkan bibirnya, ia rasa Zulfa memang sangat menyebalkan. "Yasudah nanti aku kenalan dulu sama Mas Farel supaya tidak di cuekin!"

Belum tahu saja bagaimana sifat Farel kepada orang selain Rani, bahkan istrinya saja tidak diperlakukan baik olehnya.

Zulfa segera menyambar kunci mobil miliknya yang tergeletak di atas nakas. "Aku pulang dulu ya, assalamualaikum." ucapnya dengan terburu-buru langsung menaikkan kembali tas jinjingnya yang merosot ke pundak.

Ia segera beranjak pergi meninggalkan Dea yang bahkan belum sempat membalas salamnya. Terlalu bersemangat sampai lupa jika semua box coklat yang di berikan Kevin masih ada disana. Ah biarlah, yang paling penting saat ini adalah Farel.

Zulfa mengetik balasan untuk Farel setelah dirinya berhasil duduk di kursi pengemudi dan sudah memasang seatbelt.

| ruang pesan |

Zulfa

Iya mas, tunggu sebentar aku habis dari rumah Dea dan sedang perjalanan pulang.

Read

---

Kesenangan Zulfa bertambah meningkat melihat Farel yang langsung membaca pesannya, kebahagiaan dirinya ternyata sesederhana ini. Mendapat notifikasi dari seseorang yang ia sayang saja sudah lebih dari cukup, ia tidak meminta apapun lagi.

Setelah itu, ia mulai memacu kecepatan mobilnya di batas standar, meninggalkan pekarangan rumah Dea yang memang tidak bisa terbilang mewah, hanya rumah sederhana namun sangat nyaman.

Dada Zulfa bergemuruh. Ia benar-benar sedang menerka apa yang akan Farel katakan pada dirinya. Apa laki-laki itu akan memberikan sebuket bunga mawar cantik untuk dirinya? Oh, atau mungkin Farel ingin mengajak dirinya honeymoon? Ah dirinya sangat tidak sabar!

Jarak dari rumah Dea kerumahnya hanya memakan waktu 10 menit dengan kondisi jalan raya yang tidak macet. Mata Zulfa kian berbinar kala pekarangan rumahnya sudah terlihat di depan mata.

Ia segera membunyikan klakson, memberikan tanda pada salah satu satpam rumahnya untuk membukakan pintu gerbang.

Zulfa menurunkan kaca mobilnya, lalu memberikan senyum manis untuk satpam yang telah membantu dirinya. "Terimakasih ya pak." ucapnya sambil mulai kembali melajukan mobilnya.

Ia segera memasuki pekarangan rumah, namun sorot matanya berubah menjadi heran saat melihat mobil seseorang yang bahkan tidak ia kenali. Apa dirinya harus was-was dan mengubur dalam-dalam perasaan senangnya? sepertinya iya.

Lagi-lagi, kebahagiaannya tidak pernah bertahan lama. Setidak adil itu ya takdir terhadap dirinya? Tapi yah, ia harus menjalani nya dengan lapang dada. Dengan seluruh kemampuan, Zulfa memarkirkan asal mobilnya, ah mobil Farel lebih tepatnya. Setelah itu, ia segera masuk ke dalam rumah secara perlahan.

"Nanti biar aku saja yang jelaskan pada Zulfa, sayang. Kamu tidak perlu khawatir dengan apa yang terjadi, ada aku yang memegang kendali."

Terdengar suara lembut seorang gadis yang tanpa perlu berpikir lagi Zulfa sudah bisa menebak siapa pemiliknya. Dia adalah Rani Cantika Andrawan, satu nama dan sosok yang mampu membuat senyuman manis di wajahnya turun seketika bahkan hampir lenyap.

Zulfa berdehem, membuat kedua orang yang sedang berpelukan mesra langsung berdiri tegak dan menoleh ke arahnya.

"Apa yang ingin dijelaskan ya? apa ada masalah di sini sehingga sangat memerlukan kepulangan ku?" tanya Zulfa to the point, menatap ke arah Rani dengan tatapan dinginnya. Ia tidak takut, ia hanya menahan dirinya agar tidak kelepasan untuk menarik rambut gadis itu yang sudah berubah warna menjadi warna coklat.

Rani memusatkan perhatian pada dirinya, mereka sudan berhenti berpelukan. "Iya, tentu saja ada. Dan kamu sangat di butuhkan di sini, karena tanpa kamu pasti masalah tidak akan selesai."

"Dan apa itu? saya tidak memiliki banyak waktu untuk kamu, Rani. Saya sibuk,"

'Saya sibuk' hanya kalimat pengalihan supaya semua pembicaraan ini lebih cepat terselesaikan.

Rani tampak menganggukkan kepalanya, "Lagipula juga aku tidak sudi berbicara lama-lama dengan wanita perebut."

"Jadi, kamu masih ingin merendahkan saya atau ingin mengatakan apa maksud kedatangan kalian yang ingin mengatakan sesuatu?"

Rani menyelipkan anakan rambut ke belakang telinganya, ia sadar kalau berbicara dengan Zulfa sangat melelahkan karena wanita tersebut tidak ingin kalah. Ia bersiap untuk mengatakan apa yang tertahan di tenggorokannya. "Aku--"

"Saya ingin kamu merestui Rani sebagai istri kedua saya. Dan kamu harus menerima hal ini dengan senang hati, saya tidak menerima penolakan sedikitpun." Farel memotong ucapan Rani dengan segera karena tahu kalau kekasihnya itu akan kehilangan kata-kata sebelum berbicara.

Tubuh Zulfa membeku, pandangannya mulai berkabut pertanda sebentar lagi ia akan menangis dengan sesak di dadanya.

"Apa maksud kamu, Mas? Apa yang di maksud dengan istri kedua? kamu... ingin poligami dan memadu diri ku?"

Rani berjalan maju mendekati tubuh Zulfa, lalu ia menatap gadis itu dari atas kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang sangat meremehkan. "Sudah jelas jawabannya karena kamu masih jauh di bawah aku. Aku masih lebih menarik daripada kamu, seharusnya kamu sadar."

Zulfa menahan tangannya supaya tidak menampar pipi Rani dengan sadis atas apa yang diucapkan oleh gadis muda itu.

"Setau saya, sesuatu yang menarik itu banyak peminatnya. Dan saya juga berpikiran hal yang sama pada kamu. Banyak peminat sama dengan laku, laku sama dengan banyak yang pakai."

Savage.

Baru kali ini Zulfa berbicara tidak sopan dengan orang lain. Tapi ayolah, jika kalian berada di posisi Zulfa, apa kalian masih sanggup mengatakan apa yang kalian rasakan dengan sebegitu tenangnya? Ah, bahkan jiwa kasar kalian sudah meronta-ronta.

"Jangan sok tahu ya kamu, Zulfa. Siapa yang bilang kalau aku banyak yang pakai, huh?"

"Tanya pada diri mu sendiri, apa kamu masih perawan? setidaknya saya memang tidak cantik seperti diri mu tapi saya masih bisa menjaga etika dan tidak berperilaku kasar dengan mu yang sudah kelewatan, terlebih saya masih menjaga mahkota saya sebagai seorang wanita."

Rani bersiap menampar pipi mulus Zulfa, sebelum tindakannya kalah jauh lebih cepat daripada Farel.

Plak

Tubuh Zulfa terhuyung, pipinya terasa sangat panas. Farel menampar dirinya, tanpa adanya rasa kasihan sedikitpun ...

"Jaga ucapan kamu ya, Fa! Kamu gak pantas berbicara seperti itu sama Rani! Saya baru tahu kalau kamu bukan istri yang pantas untuk di pertahankan."

"Mas, lagi-lagi salah aku ya? aku yang harus di perlakukan seperti ini sampai di tampar keras? Kamu sadar gak sih sudah keterlaluan sekali dengan ku? seorang imam keluarga tidak berperilaku seperti ini, Mas..."

"Memangnya saya imam kamu? dan memangnya... kita berkeluarga? tidak, saya tidak merasa."

Zulfa tersenyum pahit, tanpa melepaskan tumpuan tangannya pada bekas tamparan yang Farel ciptakan di pipinya. "Kamu hebat mas, kamu bisa bela Rani tapi gak bisa bela aku sebagai istri kamu. Aku kurang apa Mas? Kurang cantik? Nanti aku perawatan untuk Mas. Tubuh aku gak sebagus Rani? Nanti aku gym setiap dua minggu sekali untuk Mas. Masakan aku itu kampungan? Nanti aku belajar masak makanan mewah untuk Mas. Aku selalu berusaha jadi yang sempurna, tapi Mas malah seolah-olah mengatakan kalau aku tidak akan pernah pantas berada di posisi yang satu kasta sama kamu."

"Itu nyadar, udah jelas gak setara tapi maksain banget jadi wanita sok benar." gumam Rani, hanya ikut-ikutan memanasi masalah.

Farel mengangkat bahunya acuh. "Saya tidak meminta kamu untuk ber-drama sampai menangis seperti itu, tidak mempan untuk saya. Yang perlu kamu tau, kamu harus merestui saya menikah lagi dengan Rani. Bilang pada kedua orang tua kita kalau kamu siap untuk di poligami, dan entah apapun alasannya itu saya serahkan sama kamu. Jika kamu tidak nurut, saya akan menggugat cerai kamu, saat ini juga." ucap Farel sambil menggenggam erat tangan Rani, membawa dirinya dan juga gadisnya pergi menjauh dari hadapan Zulfa.

Farel sudah muak dengan apa yang terjadi pada hidupnya, ia hanya ingin apa yang seharusnya menjadi jalannya.

Ancaman, selalu itu yang bisa diandalkan oleh Farel. Membuat dirinya selalu lemah dan tidak memiliki pilihan lain. Karena bercerai adalah hal yang sangat ia takuti dan ia hindari, lagi-lagi memegang teguh pedoman.

Poligami?

Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan. Yang pasti hukum Islam tidak melarang poligami secara mutlak (haram) dan juga tidak menganjurkan secara mutlak (wajib).

Salah satu hukumnya adalah adanya persetujuan istri. Jadi jelas bahwa bila suami ingin menikah lagi ia wajib mendapat izin terlebih dahulu dari istri pertama atau istri-istri yang terdahulu. Bila tidak mendapat izin, maka secara hukum pernikahan tersebut adalah cacat hukum sehingga batal demi hukum.

Saat ini, Zulfa tidak tau ingin berbuat apa. Hanya tangisan yang dapat menggambarkan seberapa sakitnya ia saat ini, apalagi mengingat perilaku Farel kepada dirinya.

"Kenapa kamu tega sekali sama aku, Mas?" lirihnya sambil menyandarkan tubuh pada dinding terdekat, tubuhnya merosot sampai bokongnya menyentuh lantai dengan sempurna.

...

Next chapter

Next chapter