webnovel

Kamu Menyakiti Ku!

Masih semangat baca yang nyesek-nyesek? Yuk Keep The Marriage kembali lagi bersama kalian.

//

Farel melempar kasar vas bunga mahal yang ia beli di Eropa pekan lalu, entah kenapa tingkat emosinya saat ini sangat sensitif sekali. Sekali di senggol dengan pembahasan yang kurang menyenangkan, pasti ia akan segera memiliki amarah yang meluap-luap. Ia benar-benar kesal dengan sifat Zulfa yang terkesan memaksa dirinya dengan begitu keras, lagipula ia juga masih banyak kerjaan, hidupnya juga bukan untuk Rani saja. Dan ya, dirinya bukan tipe laki-laki yang mudah untuk di kendalikan, apalagi dengan wanita seperti Zulfa. Big no! Ia akan terus memberontak sampai apa yang sebenarnya diinginkan tercapai.

Napasnya semakin memburu kala mendengar ketukan pintu yang diiringi dengan suara Zulfa, memanggil dirinya dengan nada bicara halus. Jika Rani yang ada di posisi wanita itu saat ini, sudah pasti ia akan dengan senang hati untuk membukakan pintu kamarnya, bahkan memberikan sebuah hadiah berupa senyuman yang sangatlah manis dan menawan. Namun untuk Zulfa, sepertinya tidak. Ia sama sekali tidak menganggap kehadiran wanita tersebut dan enggan berbagi setiap inci kelembutan yang berada di hatinya.

"Mas, makan dulu yuk.." itu ucapan lembut Zulfa yang menyuruh dirinya supaya makan terlebih dahulu. Ya sama seperti sebelumnya, ia menolak apa yang di masak wanita tersebut untuk dirinya. Lagipula dengan makan junk food berdua dengan Rani saja ia sudah kenyang dan energi tubuhnya kembali terisi.

"PERGI, FA!" bentak Farel, ia dari kemarin menaruh rasa sabar, tapi di bahas untuk yang kesekian kalinya lagi. Sudah menolak permintaan Zulfa secara halus, namun wanita itu terus saja memohon dan memohon tanpa henti. Ia muak, sungguh kalau boleh pun ia ingin melakukan perceraian saat ini juga, tapi ada suatu hal yang harus ia jaga, menyangkut tentang pernikahan terpaksa ini.

"Buka dulu pintunya, Mas. Kita bicarakan baik-baik." ucap Zulfa di luar sana yang masih bersikeras untuk merayu Farel supaya laki-laki itu membuka pintu kamar. Bukannya apa-apa, tapi jika keadaan seperti ini di diamkan lebih lama lagi, pasti tidak akan menemukan titik terang. Ya walaupun dirinya harus menangis untuk yang kesekian, tapi sekiranya ia sudah lega.

Farel menghela napas lelah, ia cukup lelah untuk meladeni segala tingkah Zulfa yang sangatlah merepotkan itu. Akhirnya ia mengalah, dan beranjak dari duduk di tepi kasur untuk membuka pintu kamar. Benar, mungkin ini harus di selesaikan baik-baik. "Masuk," ucapnya dingin membuat Zulfa meneguk salivanya dengan kasar. Ia memang selalu seperti ini, tidak akan pernah berubah.

"Mas tidak mau ke rumah ibu aku?" tanya Zulfa yang kembali melontarkan topik pembicaraan serupa seperti sebelumnya. Tapi kini ia bertanya kesungguhan Farel yang menolak tawarannya tanpa sedikitpun ingin meluangkan waktu, toh hanya sekedar bertemu dengan ibunya saja. Tidak lebih, bahkan sudah cukup bagi dirinya.

"Iya, gak mau." balas Farel dengan gelengan di kepalanya. Jawabannya masih sama, tidak. Ia adalah seseorang dengan pendirian yang teramat kuat, tidak akan mengubah keputusannya walaupun menyakitkan bagi pihak lawan bicara.

Zulfa menganggukkan kepalanya, namun masih tidak mengerti kenapa dirinya selalu di tolak. Entah itu dari segi status, ataupun dari segi pandangan Farel terhadapnya. "Kenapa, Mas?" tanyanya.

Mendengar pertanyaan dengan nada yang sedikit tercekat seperti tengah menahan rasa sesak itu, tentu saja membuat Farel mengangkat bahunya seolah-olah tidak tahu menahu. "Mungkin karena hal itu sangatlah tidak penting?" ucapnya yang mengatakan sebuah kemungkinan, hanya menjadikan sederet kalimat yang keluar dari mulutnya barusan itu sebagai pelindung saja.

"Tapi ibu mau ketemu sama, Mas." ucap Zulfa yang berusaha tegar. Tidak penting ya? Apa ibunya yang bernotabene mertua dari suaminya itu ternyata juga dianggap tidak penting? Seberapa lagi rasa sakit akibat ucapan Farel yang harus ia rasakan?

"Saya tidak peduli," ucap Farel sambil menatap Zulfa tanpa ekspresi sedikitpun. Ia tidak peduli, iya benar. Dan dirinya juga tidak ingin berusaha peduli atau sekiranya hanya berpura-pura saja. Toh ia memang tidak suka dengan pernikahan ini, jadi untuk apa berpura-pura bahagia di depan orang lain? Lebih baik tidak berdekatan dengan wanita yang sudah menyandang status sebagai istrinya.

Zulfa menghembuskan napasnya, entah sudah berapa kali semenjak kepulangan laki-laki itu. Farel benar-benar kekanak-kanakan dan selalu seperti ini, keras kepala. Ia mencoba untuk mengontrol emosinya, jangan sampai menangis seperti tadi lagi. Jangan lemah, Tuhan selalu berada untuk menguatkan tiap hati yang tersakiti. "Yaudah kalau Mas gak mau. Aku sama Dea saja, ya." ucapnya yang mengikhlaskan keputusan Farel.

Ingin memaksa pun tidak akan pernah bisa karena ia pasti sudah mengetahui jawaban yang sangat menampar ulu hatinya itu.

"Terserah kamu, saya mau bertemu dengan orang tuanya Rani." balas Farel tanpa beban sedikitpun. Ia sama sekali tidak keberatan saat menolak Zulfa untuk bertemu dengan ibunya, tapi malah ingin bertemu dengan ibunya Rani. Brengsek? Ah tidak, kembali lagi pada prioritas utama dalam hidupnya.

Deg

Rasa sakit itu menjalar mulus melalui setiap pembuluh darah yang berada di tubuh Zulfa, kali ini berkali-kali lipat terasa sangat menyesakkan. Farel benar-benar sudah keteraluan, namun ia sama sekali tidak ada niatan untuk menyerah. Hatinya, sekuat baja. "Kenapa ke rumah orang tua aku kamu tidak mau, Mas?" tanyanya yang akhirnya melontarkan pertanyaan yang berada di benaknya, ia pikir ada keperluan lain sehingga Farel dengan sangat keukeh-nya menolak ajakan untuk pergi ke rumah sang ibu, tapi lagi dan lagi alasan laki-laki itu menolak dirinya adalah karena seorang Rani.

Mana yang lebih menyakitkan, sekedar di tolak kehadirannya, atau tahu kalau apapun yang ia perjuangkan sebenarnya berujung kekecewaan?

Farel menaikkan sebelah alisnya, bukankah sudah jelas pertanyaan itu memiliki jawaban yang sama seperti sebelum-sebelumnya? "Ya karena kamu bukan siapa-siapa aku, Fa. Berhenti mengakui jika kita itu sepasang suami istri." ucapnya. Iya kan jawabannya masih sama dengan sebelumnya?

Toh namanya juga Farel, tingkat kesadaran dan kurangnya kemampuan dalam memilih sesuatu yang benar adalah kelemahan.

"Kamu gila, Mas. Kita memang sepasang suami istri." ucap Zulfa sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya, bahkan kini di dalam hatinya ia beristighfar supaya dilapangkan jalan pikiran suaminya yang sudah lebih dari kata melenceng itu. Sungguh, kesekian kali dirinya tidak di anggap. Kesekian kali itu juga dirinya semakin mempertebal dinding pertahanan, jangan sampai runtuh...

"Halu kamu, Fa." ucap Farel yang memang tidak pernah terima apapun yang terjalin mengikat di antara dirinya dengan Zulfa. Kalau pernikahan ini hanya 'menguntungkan' bagi beberapa pihak, maka akan selamanya 'menguntungkan' bukan 'membahagiakan'.

Zulfa ingat betul bagaimana Farel yang dengan gagahnya mengucapkan janji suci pernikahan. Bahkan laki-laki itu tersenyum hangat untuk setiap tamu yang datang ke acara pernikahan mereka, memang diadakan besar-besaran oleh keluarga Brahmana dan tentu saja pernikahan yang diadakan di gedung mewah itu atas biaya keluarga tersebut. Lalu, apa ini semua? Farel masih saja menganggap tidak memiliki hubungan serius dengan dirinya? Sangat teramat menyakitkan.

Farel menaikkan sebelah alisnya, bukankah jawaban dari pertanyaan Zulfa itu akan selalu sama bagi dirinya?

"Kamu Mas yang sulit untuk melepaskan Rani. Aku Mas, aku istri kamu." ucap Zulfa yang masih tidak pernah habis pikir dengan apa yang diucapkan oleh Farel. Rasanya tuh seperti berada di jurang, namun di dorong lagi sampai menyentuh dasar jurang yang paling dalam. Dan ya, tidak ada yang bisa menolong selain dirinya sendiri, miris.

"Saya bukannya sulit untuk melepas Rani, tapi saya tidak ingin melepas gadis yang sudah menjadi sebagian hidupku." ucap Farel yang membenarkan pemikiran Zulfa. Sudah masuk ke dalam hidupnya dengan tiba-tiba, sok tahu pula. Sebelum adanya wanita itu juga dirinya sangatlah bahagia bersama dengan sang pujaan hati.

Jadi, semua ini salah siapa? Zulfa lah.

"Dan kamu membutuhkan sebagian yang lainnya untuk tetap hidup, kan? Supaya menjadi satu bagian yang utuh, biarkan aku masuk ke dalam hatimu yang separuhnya." lirih Zulfa sambil menatap Farel dengan tatapan miliknya yang sangatlah sendu. Entah apa yang harus ia perbuat, tapi setiap perkataan mampu membuat sekian kali goresan luka di hatinya.

"Jangan mimpi, bangun."

Farel menatap malas Zulfa yang kini sudah berganti pakaian dengan outfit yang lebih casual daripada sebelumnya yang mengenakan gamis panjang, Ia benar-benar tidak ingin menjadikan wanita itu sebagai pendamping hidupnya. Yang ia mau hanyalah Rani, Rani seorang. Katakanlah dia egois, tapi seseorang haruslah bersikap seperti itu untuk bukti nyata jika rasa cintanya tidak pernah main-main dan sangat tulus melebihi apapun.

"Amnesia kamu, Mas. Jelas-jelas kita sudah menikah. Aku juga punya bukti buku pernikahan kita." ucap Zulfa sambil melangkah untuk duduk di pinggiran kasur, ia lelah berdebat dengan Farel namun dirinya tidak ingin membiarkan pikiran laki-laki itu yang selalu berpacu pada Rani.

Zulfa mulai menidurkan dirinya di atas kasur dengan posisi senyaman mungkin lalu memejamkan mata dengan perlahan, percuma saja mendengar ucapan Farel yang sudah kelewat menyakitkan. Lebih baik ia tidur dan segera masuk ke dunia mimpi yang sekiranya bisa menghibur walaupun hanya ilusi semata.

"Kenapa tidur disini?!" tanya Farel dengan nada suara yang sedikit meninggi, jengah. Ia sangat tidak ingin berada satu ruangan dengan Zulfa untuk saat ini. Ia muak dengan wajah sok islami milik gadis itu yang terkadang membuat hatinya mencetak rasa kasihan ya walaupun hanya sedikit namun jika di biarkan nanti bisa-bisa pertahanannya mulai melemah.

Zulfa bergeming tidak menanggapi Farel, matanya pun masih terpejam dan enggan untuk berkomentar lebih lanjut lagi.

"ARGHHH!"

Dengan terpaksa, Farel keluar kamar dan langsung membanting pintu. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil kunci mobil. Malam ini, ia akan bermalam di rumah Rani, iya itu adalah satu-satunya jalan keluar dari permasalahannya saat ini. Zulfa benar-benar menguras pikiran, dan dirinya harus menepi supaya bisa mengerti dengan kemauan wanita tersebut.

Tidak, tidak. Sebenarnya ini tentang dirinya yang tidak paham dengan kemauan Zulfa, atau dirinya berpura-pura tidak paham kalau wanita itu menginginkan pernikahan yang damai?

Tanpa laki-laki itu sadari, kristal bening sudah membanjiri seluruh pipi Zulfa. Lagi-lagi, hati gadis itu tersayat habis. Belum kering luka yang kemarin-kemarin tapi kini sudah di tambah lagi, dan entah dirinya tidak pernah menghitung betapa ia jatuh namun memutuskan untuk bangkit kembali.

Seorang laki-laki sangat tidak berhak untuk bersikap sekasar ini kepada seorang wanita, terlebih lagi jika wanita itu berstatus sebagai istrinya. Di dalam pernikahan, bukan hanya laki-laki yang perlu di hormati, namun istrinya juga berhak untuk di hargai. Jika seperti ini, apakah masih pantas untuk disebut dengan sebuah status pernikahan?

...

Next chapter

Next chapter