webnovel

BAB 71: Aku Percaya Adelia Adalah Takdirku

Setelah menutup pembicaraannya dengan Maretha, Bastian mencoba untuk mengejar bayangan Adelia. Namun sepertinya ia kehilangan jejak. Ia mencoba menghubungi Malik untuk menanyakan alamat rumahnya dengan jelas, namun cowok itu tidak mengangkat HP miliknya. Pesan Bastian pun belum ia baca, sepertinya ia sedang sibuk. Bastian sangat menyesal karena ia belum pernah tau dimana rumah cowok Arab itu.

Setelah menunggu untuk beberapa lama, akhirnya Bastian memutuskan untuk menyetir pulang ke asrama. Ia sudah berjanji kepada Maretha untuk tiba di flat 27 dalam waktu sejam, setelah memberikan alasan-alasan yang cukup solid. Setidaknya harus ada satu hal yang bisa ia selesaikan sore ini. Maretha berkilah bahwa mereka harus memeriksa tugas kelompok yang harus dikumpulkan pada hari Selasa. Tapi Bastian tau, itu hanya alasan. Gadis itu pasti kuatir karena tidak bisa bertemu Bastian lebih dari 24 jam!

------------------

Justin berjalan gontai memasuki bangunan yang pernah menjadi rumahnya. Sudah lebih dari satu bulan sejak terakhir ia pindah ke apartemennya sendiri, karena entah kenapa ia butuh sedikit privasi. Ia hanya merasa, setelah kejadian dengan Adelia, Lisa dan Hisyam, ia merasa tidak dapat berada di tempat yang sama dengan Malik lagi. Ia belum terlalu siap untuk menghadapi 2 gadis itu lagi, berjaga-jaga bila mereka masih sering kerumahnya. Menikahnya Adelia dan Bastian turut memotivasinya agar memiliki tempat sendiri, ia jengah melihat Malik menatapnya penuh rasa kasihan.

Malik terlihat gelisah. Bukan saja karena Lisa yang masih selonjoran di ruang tengah, tapi ada Adelia yang sedang tidur di kamarnya! Sejak kejadian pemukulan Adelia dan Justin oleh Hisyam, kedua gadis itu memang menghindari Justin, dan sebaliknya. Sepertinya mereka kuatir, hadirnya Justin akan memperkeruh persahabatan kedua gadis yang sudah berbaikan itu. Hari ini, mereka akan bertemu bertiga, dan itu membuat Malik serba salah. Bisakah suasana mencair dan kembali seperti dahulu lagi? Malik sungguh berharap...

"Lagi sepi ya?", tanya Justin sambil melangkah ke ruang tengah. Ia terperangah melihat Lisa yang sedang selonjoran dengan salah satu kaki yang terangkat ke atas sofa, sementara salah satu tangannya sibuk mengganti-ganti saluran di TV yang besar itu. Tipikal Lisa yang selalu slebor bila di lingkungan nyaman, membuat Malik menepok jidatnya. Ia bisa membayangkan betapa paniknya Lisa bila menyadari ada seorang cowok cakep yang sedang memperhatikannya, apalagi cowok itu adalah Justin!

"Siapa tadi itu Lik?", tanya Lisa tanpa menoleh kepada tamu yang baru datang. Ia menduga itu hanya kurir yang mengantar barang atau makanan. Justin tersenyum melihat kelakuan mantan pacarnya itu. Gadis itu memang slebor, tapi kadang kala sifatnya itu justru manis dan menggemaskan.

"Hai Lisa, long time no see ya (sudah lama tidak bertemu)", tutur Justin ramah sambil melangkah ke arah gadis itu. Kontan terkejut, namun tidak ada bagian tubuhnya yang bergerak kecuali kedipan matanya. Ia terlalu syok untuk bersikap sempurna, minimal untuk duduk dan merapikan rambutnya yang sudah seperti singa berserakan di lantai.

"Jus Jus...Justin? Lah, kok gak bilang mau datang bang. Kami kan...lagi santai tadi...", jelas Lisa sambil perlahan duduk dan menatap malu-malu pada Justin. Setelah merapikan rambutnya sedikit, ia beranjak untuk duduk manis di atas sofa dan kembali mengelus-elus rambutnya.

"Udah makan bang?", tanya Lisa ramah sambil sedikit mengangguk. Justin memasukkan kedua tangan ke kantong celananya sambil tersenyum berkharisma. Senyuman itu membuat Lisa semakin tidak nyaman. Di satu sisi ia jadi teringat peristiwa putusnya mereka, namun di satu sisi, ia merindukan senyuman dan sapaan ramah bang Justin. Pada dasarnya Justin adalah orang yang baik. Hanya saja hatinya tidak bisa berbohong dan membuat keriuhan saat itu.

"Makan siang sih udah, tapi laper lagi. Nih aku bawain pizza, yuk kita makan bareng. Kamu mau kan?", tanya Justin ramah sambil menunjuk Malik yang menenteng 3 kotak pizza besar. Lisa menatap Malik yang berdiri di belakang Justin. Dari tatapan Malik, Lisa bisa melihat rasa tidak senang dan tidak nyaman, seakan ada yang mengganggu dirinya. Lisa baru mengingat kalau Adelia sekarang sedang berada di kamar Malik! Apakah ekspresi Malik seakan berkata "jangan bilang Justin kalau Adelia di kamar gue!".

"Yuk makan sekarang yuk, aku gak bisa lama-lama nih. Sore sampe malam ini aku ada pratikum buat tugas akhir. Aku cuma kangen sama kalian kok", kata Justin lagi dengan ramah. Sesungguhnya ia datang demi Malik, ia tidak menyangka sama sekali akan bertemu dengan Lisa disini. Ia mulai mengambil posisi di meja makan yang panjang itu. Lisa dan Malik saling bertatapan penuh arti, seakan ada rasa lega di mata mereka. Setidaknya Justin tidak berlama-lama dirumah itu.

"Ayoklah!", ajak Malik sambil meletakkan kotak-kotak pizza itu ke meja. Ia segera mengambil 2 botol minuman bersoda dan menyambar beberapa gelas minuman.

"Hemmm tadi baru ada pesta juga?", tanya Justin sambil melihat piring-piring yang menumpuk di wastafel dapur.

"Itu tadi si... si...aku laper tadi. Si Malik pesen makanan. Ya Lik? Makan tadi kita ya?", Lisa mencoba mengkonfirmasi Malik. Cowok Arab itu mengangguk-angguk kikuk. Entah kenapa Lisa tidak ingin Justin mengetahui bila Adelia ada di rumah itu. Ia cuma kuatir suasana akan lebih canggung lagi, antara Justin dan Adelia. Bagaimana pun Adelia kan sudah menikah. Tapi yang Lisa bingung, sekesal-kesalnya ia kepada Justin, ia tidak membenci bertemu dengannya hari ini. Ia justru sedikit berharap mulai sekarang Justin bisa lebih fokus kepada dirinya. Mungkinkah?

Justin, Malik dan Lisa melahap pizza-pizza itu dengan lahap. Percakapan dan lelucon mengalun begitu saja, hampir persis seperti hari-hari yang mereka jalani di rumah itu berbulan-bulan yang lalu. Tidak bisa dipungkiri, mereka merindukan masa-masa itu. "Andai saja Adelia ada disini", gumam Justin dalam hatinya. Walaupun sudah di ujung lidahnya, namun ia tak kunjung berani bertanya dimana keberadaan gadis yang pernah ia cintai itu. Malik yang sepertinya tidak pernah kehabisan lelucon, berusaha untuk melontarkan cerita-cerita yang jauh dari Adelia.

"Bang Justin jangan pulang dulu ya, bentar!", pinta Lisa. Gadis itu berdiri dan menyambar tasnya. Ia mengeluarkan sebuah dompet besar yang sepertinya berisi alat-alat make-up.

"Mau kemana lo Batak?", tanya Malik acuh. Lisa melotot ke arah Malik.

"Bentar, aku mau ke toilet", katanya setengah berbisik dan setengah kesal pada cowok itu. Mungkin karena terlalu banyak makan atau masuk angin, perutnya sedang tidak bersahabat. Ia berfikir untuk sekalian saja memperbaiki penampilannya. Walaupun Justin akan pergi sebentar lagi, namun setidaknya abang itu bisa melihat penampilan terakhir kali dengan kesan yang lebih baik.

Justin tersenyum melihat Lisa yang berjinjit-jinjit cepat memasuki toilet yang berada di lantai atas. Justin memendarkan tatapannya ke seluruh ruangan, dan menghabiskan setidaknya beberapa detik untuk melihat sudut-sudut ruangan itu. Ia sedang menyerap energy positif dari tiap tatapannya, seakan rasa rindu dari rumah itu bisa memperbaiki suasana hatinya. Akhir pandangannya mengarah ke Malik, teman serumah sekaligus sahabat yang sangat ia rindukan.

"I really misses this place (Aku bener-bener kangen ama tempat ini)", katanya lembut ke arah Malik. Cowok Arab itu mengangkat-angkat alisnya sambil menumpuk-numpuk piring yang sudah selesai dipakai diatas meja makan.

"Sama gueeeee, gak kangen apa sama gueeee?", tanya Malik dengan mimik lucu dan wajahnya yang ia goyang-goyangkan ke kiri dan ke kanan, seperti seorang ibu-ibu yang sangat centil.

"Ya kangen lahhh, apalagi sama makanan lo yang asal-asalan itu", pungkas Justin sambil melempar salah satu serbet kertas kearah Malik.

"Wakakaka jadi mayan donk perut lo jarang sakit lagi ya? Dasar perut sok bule lu. Sama cabe takut ama bumbu mulessss lesss lesss", ejek Malik yang disambut tawa Justin. Cowok itu berdiri dan merenggangkan otot-otot di tubuhnya. Malik ikut berdiri dan kembali menumpuk lebih banyak piring kotor di wastafel.

"Eh sini gue cuci. Cucian piring gue kan lebih bersih dari elo", tutur Justin mengejek sahabatnya itu. Malik langsung membuat tanda silang menggunakan tangannya kepada Justin, seakan-akan melarang cowok itu untuk mendekat ke arah wastafel.

"Ini rumah gue sekarang, lo tamu. Disini tamu gak boleh cuci piring. Emang lo pernah liat Lisa nyuci piring disini?", tanya Malik sambil berkacak pinggang. Justin menggeleng sambil tertawa ngikik.

"Hemmm, bukannya dia malesan ya?", tanya Justin sambil berbisik, seakan kuatir gadis itu akan mendengarnya. Malik mengangguk sambil ikut mengikik.

"Udah ah lo duduk aja dulu disana. Jam berapa lo ke kampus?", tanya Malik sambil mulai memakai sarung tangan karet untuk mencuci piring.

"Bentar lagi...", tutur Justin sambil berjalan ke arah TV. Ia menyambar remot dan mulai melihat-lihat saluran secara acak. Malik membiarkannya dan mulai mencuci piring satu persatu. Yang tidak Malik antisipasi adalah, beberapa menit kemudian, Justin memutuskan memasuki kamar Malik! Dahulu, ia tidak perlu ijin untuk memasuki kamar cowok itu dan kali ini pun sama. Yang tidak Justin antisipasi adalah, ada sosok lain di dalam kamar itu!

Sesosok perempuan dengan rambut pajang indah yang berwarna coklat tua dan coklat muda. Tubuhnya tertutup selimut milik Malik, dan ia berbaring menghadap ke dinging sehingga wajahnya tidak terlihat dari arah pintu. Sinar matahari temaram yang masuk ke kamar Malik seakan berpendar indah mengelilingi sosoknya, seperti ukiran di udara yang membuat pemandangan itu selayaknya mahakarya foto seorang maestro. Tangan kiri Justin menggenggam erat gagang pintu, sedangkan tangan satu lagi menutup mulutnya seakan menahan pekikannya.

Sekali melihat saja, Justin tahu bila sosok itu adalah Adelia, siapa lagi? Ia menahan kedipan matanya, kuatir ketika itu terjadi sosok itu menghilang begitu saja. Perempuan yang beberapa bulan ini telah mengisi relung hatinya, kali ini ada di hadapannya. Detak Jantung Justin menginsyaratkan andrenalinnya bekerja terlalu keras, seakan ia sedang berlari. Ya, ia sedang berlari menghampiri kenyataan. Perempuan ini, pernah menjadi miliknya.

Setelah terdiam selama ratusan detik, Justin memberanikan diri untuk melangkah 1 meter ke arah ranjang Malik. Dia cuma ingin mengkonfirmasi bahwa itu benarlah Adelia. Itu saja!

"Don't do it man, don't do it... (jangan lakukan teman, jangan lakukan)", tiba-tiba Malik muncul di belakang Justin. Justin menutup matanya, seakan ia ingin suara sahabatnya itu cumalah bagian dari suara hatinya yang bertentangan dengannya. Ia tidak ingin mempercayai bahwa mendekati perempuan ini saja sudah salah. Justin tidak berbalik untuk menghadap Malik, ia justru melangkah lagi 1 meter ke arah ranjang. Kali ini ia bisa melihat wajah Adelia yang putih mulus keemasan, dibingkai oleh rambut semi iklanya yang bergelung ke segala arah. Salah satu tangannya tersembunyi di balik bantal, sedangkan salah satu tangannya lagi seakan menggenggam ujung bantal. Wajah tidurnya seperti seorang peri, dengan sedikit cahaya dari jendela.

Hati Justin menjadi hangat. Kedua tangannya yang tadi menggantung kaku, kini seakan bergelung mencengkeram udara. Ingin ia daratkan sentuhannya ke pipi lembut itu, hanya ingin menyadari bahwa Adelia masih ada di Perth, di sekitarnya.

"Dia udah jadi milik orang lain man, let her go... (biarkan dia pergi)", tutur Malik lembut. Ketika Malik sedang mencuci piring, ia sekilas menghadap ke belakang untuk mengecek keadaan Justin. Ia sungguh terkejut melihat sahabatnya itu justru sedang membuka pintu kamarnya! Ia segera bergegas untuk menghalangi kejadian yang tidak diinginkan.

"A...gue tau Lik. gue cuma...ah entahlah. Salah gak sih kalo gue bilang gue kangen ama dia? Kangen ama istri orang, hahahaha...miris banget ya...", ejek Justin pada dirinya sendiri. Malik maju beberapa langkah sehingga ia bisa menepuk pelan pundak sahabatnya itu.

"Let her go... takdir kalian cuma sampai disana. Dia dan suaminya punya takdir sendiri...", jelas Malik. Justin berpaling untuk menatap serius sahabatnya itu. Matanya yang sedih, berhenti di mata Malik selama beberapa detik. Malik dapat merasakan pedih hati Justin, tapi tidak banyak yang bisa ia katakan.

"Takdir? Takdir lo bilang??? Gue gak percaya takdir Lik. Gue percaya, apa yang kita pengen, kita usahain, kita perjuangkan, dan ia bisa jadi milik kita. This is not fair (ini tidak adil)!", pekik Justin dengan suara tertahan. Bagaimanapun ia tidak ingin Adelia terbangun oleh percakapan mereka.

Yang tidak Malik dan Justin sadari adalah sebenarnya Adelia belum lah tidur. Ketika ia memasuki kamar Malik, ia tidak bisa memejamkan kedua matanya. Entah karena ia telah tidur di mobil Bastian, ia terlalu lelah atau justru terlalu emosi. Ia menghabiskan waktu melihat-lihat intagram para artis tanah air dan akun gosip yang tidak penting. Ketika ia mendengar pintu kamar Malik akan dibuka, ia menyelinapkan HP miliknya di selimut dan berpura-pura tidur. Ia tidak mau di cereweti oleh Malik dan Lisa karena belum juga tidur. Tapi ia tidak menyangka kalau ternyata Justin lah yang masuk. Kapan cowok itu datang? Hatinya begitu bercampur aduk, antara senang, rindu, takut, dan panik. Ia bekerja keras agar posisi tidurnya bisa serealistis mungkin!

"You need to move on, man...(kamu harus segera melanjutkan hidupmu teman)", pesan Malik. Justin menggeleng pelan.

"Lik, lo tau gak kalau gue cinta ama dia pada pandangan pertama. Begitu gue liat dia, gue langsung suka sama dia Lik, gue langsung pengen dia jadi milik gue. Dan lo tau apa yang paling gila? Dia juga bilang kalo dia juga sama Lik! Dia bahkan bilang kalo, gue tu first love dia! Dan gue belum pernah jatuh cinta sama perempuan, kayak gue fall for her!", jelas Justin. Malik melepaskan tepukan di pundak Justin, dan memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya. Ia berjalan kearah meja belajarnya dan duduk di kursi meja belajarnya. Ia bingung bagaimana harus bersikap di depan Justin.

"Dan lo tau gak, chances (kesempatan) dua orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama di dunia itu berapa persen? Gak sampe 28% Lik. The instant that we met, we fall for each other. We fight it back, but eventually we can resist it. We loves each other. It was the best moment of my life... (Begitu kami bertemu, kami langsung saling jatuh cinta. Kami berusaha untuk menyangkalnya, namun pada akhirnya kami tidak bisa menampiknya. Kami saling cinta. Itu adalah momen-momen terindah hidupku)", jelas Justin. Malik menghela nafasnya. Ia paham akan kesedihan Justin. Tapi...

"Cinta pada pandangan pertama itu menipu Justin. Lo tau gak, kadang orang jatuh cinta pada pandangan pertama karena dalam benak terdalamnya, ia sedang kekurangan sesuatu, seakan ada sebuah keinginan dalam dirinya yang hilang dan harus dipenuhi. Jadi ketika perasaannya sedang turun, ia menemukan seseorang yang mirip dengan sebuah gambaran ideal di hatinya, ia akan merasa sedang jatuh cinta. Lo liat ada yang aneh gak dengan pandangan Adelia sama elo. Don't you think you look too familiar with Bastian? (Apakah menurutmu kamu tuh terlalu mirip dengan Bastian?)", tanya Malik. Justin terbelalak tak percaya. Ia ingin tidak percaya, tapi yang dituturkan Malik mungkin benar adanya. Mungkinkah Adelia melihat sosoknya sebagai bayang-bayang dari Bastian?

"Dia mungkin belum ingin bersama Bastian, tapi dia pengen sama seseorang yang bisa membuatnya nyaman, saat itu dan di kemudian hari. Ia sedang mencari tempat berlabuh sementara, sebelum ia harus menjalani takdirnya sendiri. Itu mungkin bukan cinta Justin, apalagi kalau itu cuma sementara. Ia dan Bastian tau, cepat atau lambat mereka akan bersama...itu sudah takdir mereka", jelas Malik lagi.

"Heh, takdir heh? Apa dia hepi dengan takdirnya itu? Is she happy now? (apa dia bahagia sekarang?)", tanya Justin sinis.

Next chapter