3 3.TUGAS HARI PERTAMA

"Lepasin!!" Alivia meronta saat kedua lengannya dicengkram dan di seret ke kamar pembantu oleh kedua anak buah Astha.

"Brukk!!" Via di dorong ke dalam kamar. Dirinya sampai terpental di kasur.

"Aww.." terasa sakit karena kasurnya keras dan berdebu.

"Mulai sekarang kamu tidur di sini. Mending di jual aja dari pada tidur di tempat kumuh begini. Kalau kamu dijual, kamu bakal tidur di kasur yang empuk. Syukur dapet lelaki kaya yang bisa tidur sama kamu. Kamu minta apa saja pasti di kasih. Dasar cewek bego" ucap salah seorang anak buah Astha.

"Dasar cowok geblek.. mending aku tidur di sini. Daripada aku menjual diriku. Setidaknya kedudukanku lebih terhormat dari mereka yang menjual dirinya."

"Jaman sekarang masih ada yang berfikir kolot seperti kamu ya? sekarang itu yang penting duit Non. Jangan sok kamu."

"Halah biarin aja. Namanya juga baru dari kampung. Masih jual mahal. Nanti lama-lama kalau ga kuat juga bakalan ngemis-ngemis sama Tuan Astha buat dijual juga. Mana tahan dia dikasih makan satu kali sehari dan tidur di tempat berhantu seperti ini." ucapan Anak buah Astha yang lain membuat Alivia ketakutan.

'Apa dia bilang berhantu?' Alivia mengedarkan pandangannya di kamar yang berukuran kecil itu. Banyak sarang laba-laba di langit-langit kamar. Hanya ada satu Almari berukuran kecil dan

"Ini jadwal harianmu Nona sombong. Kerjakan mulai pagi. Jika kamu terlambat, maka bersiaplah Tuan Astha akan menghukummu." Kedua anak buah Astga pergi meninggalkan Alivia. Dia membaca dari atas jadwal harian untuknya sebagai pembantu. Bisa dibilang dari bangun tidur sampai tidur lagi, Pekerjaannya tidak berhenti.

"Astaghfirullah.. Ya Allah kenapa engkau berikan hamba ujian sebesar ini? hamba hanya ingin jadi orang baik. Tapi kenapa harus terjebak di tempat seperti ini?" Alivia menangis di dalam kamar. Dia ingat tujuan dia datang ke kota metropolitan ini adalah ingin bertemu dengan teman Ayahnya. Dan dia ingin melanjutkan kuliah di kota ini. Kalau dia harus jadi pembantu di tempat semacam ini? bisakah dia meraih cita-citanya? Via mengusap airmatanya. Dia ingat jadwalnya sebentar lagi adalah mencuci pakaian Tuan besarnya. Astha. Entah siapa nama panjangnya. Alivia tak akan peduli. Sambil menunggu waktu mencuci, Via membersihkan kamarnya. Baru duduk di kasur saja badannya sudah gatal. Apalagi untuk tidur. Alivia menggotong kasurnya ke luar kamar. Dia membawa ke lorong terdekat dengan kamarnya. Memukul mukul kasur dengan alat seadanya yang ada di sana. Harusnya kasur ini harus di jemur. Tapi dia tidak bisa keluar sembarangan untuk menjemur kasurnya.

"Uhuk-uhuk." Alivia terbatuk batuk saat menepuk-nepuk kasur itu. Begitu kotor dan berdebu. Ia menutup hidupnya dengan ujung jilbabnya yang diikat ke belakang kepala. Tubuh Alivia sendiri sangat gerah dan lengket. Dari kemarin dia belum mandi. Baju gantipun dia tidak punya.

"Ngapain kamu!" bentak seorang laki-laki yang tentu saja anak buah Astha.

"Lagi bersihin kasur. Kenapa mau bantuin?"

"Cepat cuci baju Tuan Astha. Kalau sudah selesai, Tuan Astga minta dimasakin semur daging.

"Iya, tapi aku mau rapikan dulu kasurnya."

"Kamu pasti tidak akan bisa memasaknya. Kamu siap-siap saja disiram pake semur daging kalau rasanya tidak sesuai lidahnya Tuan Astha. Selama ini tidak ada orang yang bisa memasak sesuai keinginan Tuan."

"Siapa bilang aku tidak bisa masak semur daging? aku belajar dari ayahku."

"Ya sudah kita lihat saja nanti. Paling juga tidak bisa memenuhi keinginan Tuan Astha."

"Ya sudah kita lihat saja nanti."

**

Lelaki bertopi itu menatap kebun bunga melati di belakang rumahnya yang besar. Bunga melati yang seyogyanya adalah lambang kesucian berbanding terbaik dengan kehidupannya yang justru menjual para gadis untuk dijadikan wanita penghibur di club malam. Dia membuka kacamata hitam yang sering menghiasi wajahnya. Sangat enggan untuk membuka jati diri yang sebenarnya.

"Tuan Astha, Paman anda berkunjung. Beliau menunggu di ruang tamu."

"Aku akan segera menemuinya." Astha memakai kembali kacamata hitamnya. Dia akan menemui pamannya yang sudah lama tidak ia temui. Satu-satunya kerabat yang ia punya.

"Astha. Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya seorang laki-laki dengan tubuh tinggi besar dan perut buncit. Rambutnya mulai memutih.

"Paman.. Maaf menunggu lama."

"Tidak apa-apa, Adhyastha Prasaja."

"Paman selalu saja memanggil nama panjangku. Padahal aku tidak suka dengan nama belakang namaku."

"Apa kamu mau menggunakan nama belakangku saja? hahaha."

"Kalau boleh."

"Iya kamu harus mengubah semua identitas dirimu."

"Ah tidak. Terlalu ribet mengurus semua itu."

"As, sampai kapan kamu akan menjalankan bisnis ini? Ini terlalu beresiko. Kamu bisa ditangkap karena melakukan human traficking."

"Aku tidak akan berhenti sebelum aku menemukan orang yang telah menghancurkan hidup ibuku, Paman."

"Berdamailah dengan masa lalu Astha. Kamu juga tidak tahu kan apa Ayahmu masih hidup atau tidak."

"Aku yakin dia masih hidup. Dan dengan cara ini aku bisa memancing dia keluar. Aku ingin menghabisinya dengan tanganku sendiri, Paman." Astha mengepalkan tangannya. Setiap kali mengingat Ayahnya, emosinya kembali meluap.

"Paman tahu. Tapi hidup dalam bayang-bayang dendam tidak akan membuatmu tenang. Setidaknya cari cara lain selain menjual wanita-wanita yang tidak bersalah."

"Aku akan berhenti sampai aku menemukan laki-laki brengsek itu."

"Paman harap suatu hari nanti kamu bisa meninggalkan semua ini, Astha. Paman tahu kamu anak yang baik. Dengan caramu yang salah ini, kamu akan membuat ibumu menangis di alam sana, Nak."

"Tidak paman. Ibu akan bahagia jika aku sudah bisa membalaskan dendam pada lelaki itu."

"Ya sudah terserah kamu."

"Tuan Astha.. makan siangnya sudah siap. Semur daging yang Tuan inginkan sudah tersedia di meja."

"Baiklah.. Paman ayo makan dulu denganku. Pembantu baruku sudah masak semur daging."

"Kamu masih suka dengan masakan itu?"

"Aku selalu suka dengan semua masakan ibuku. Tapi sampai sekarang tidak ada pembantu yang bisa memasak sama seperti ibu." Ucap Astha, dia berdiri mengajak pamannya menuju ke ruang makan.

"Apa hari ini aku akan melihat semur daging terbang lagi seperti waktu itu?"

"Mungkin saja Paman. Kalau aku tidak suka, aku akan membuangnya di depan pembantu yang tidak becus masak itu. Wanita itu harus pintar masak. Maka aku akan menghargainya. Tidak seperti ibuku. Dia begitu sempurna. Tapi lelaki itu tega menghancurkan ibuku."

"Sudah-sudah tidak usah diingat lagi. Sekarang kita makan saja. Semoga kali ini rasanya enak."

"Aku tidak yakin."

Astha memandang semur daging yang ada di atas meja makan. Aroma khas semur yang berasal rempah khas menguar kemana-mana. Menggelitik indera penciuman Astha. Aroma cengkeh, kapulaga dan yang lainnya sangat terasa di penciumannya.

"Sepertinya sangat Enak Astha."

"Sepertinya. Tidak tahu rasanya. Mari duduk Paman. Kita nikmati. Tapi sebentar. Reza, tolong panggilkan pembantu baru itu. Suruh dia ke sini."

"Iya, Tuan." Reza memanggil Alivia. Dia tahu apa yang akan dilakukan Astha pada gadis itu. Jika rasanya tidak sesuai, maka semur itu akan dia tumpahkan di wajah si pembantu.

"Heh kamu. Ditunggu Tuan Astha di meja makan."

"Aku mau disuruh makan? Alhamdulillah aku sudah kelaparan."

"Enak saja. Kamu di suruh berdiri di sana. Jika masakanmu tidak enak, siap-siap akan kena siraman semur daging. Dan besok pagi kamu akan di depak dari sini."

"Ah baiklah. Kalau tahu begitu, tadi masakannya tak bikin tidak enak."

"Sudah ayo cepat. Bau banget sih kamu?"

"Sudah dua hari aku tidak mandi."

"Pantes." Reza dan Alivia berjalan menuju ke ruang makan. Alivia hanya menunduk. Dia sangat takut dengan laki-laki bertopi itu.

"Tuan, ini orangnya sudah ada." ucap Reza saat mereka tiba di ruang makan.

"Baiklah pegangi dia. Aku akan mencicipi masakannya. Astha mengambil nasi dan menuangkan semur daging di atasnya. Dia mengambil satu sendok lalu menyuapkan ke mulutnya. Paman Astha juga melakukan hal yang sama. Mata Astha terpejam. Dia menikmati makanannya kali ini.

"Bagaimana Tuan? tidak enak kan?" tanya Alivia semangat. Berharap masakannya memang tidak enak. Dan nanti dia bisa keluar dari tempat itu.

avataravatar
Next chapter