webnovel

Move On

"Kenangan itu seperti bayangan, dia akan selalu mengikuti kemanapun kita pergi."

5 tahun berusaha melupakan, nyatanya tidak ada hasil yang memuaskan. Kenangan tentang dia masih saja datang dari segala arah.

Kanaya pernah merangkai mimpi bersamanya. Tentang pernikahan di usia muda, tinggal di satu atap bersama dengan canda tawa anak kecil di dalamnya. Rasanya begitu indah, saat semua itu dijalani dengan seseorang yang paling berarti.

"Nanti aku di rumah aja, jagain anak kita. Aku gak mau jadi wanita karir, maunya jadi istri yang baik buat kamu," ucap Kanaya. Bola matanya berbinar, gadis itu selalu antusias saa t membicarakan masadepan. Harapan yang tak pernah alfa ia semogakan dua tahun kebelakang.

"Iya, Nay. Iya."

"Eh, kamu maunya anak pertama kita cewek atau cowok? Kalau aku maunya anak cowok biar nanti dia bisa jagain adeknya.  Gimana menurutmu?"

Lelaki yang ada di hadapannya mendelik, lalu kembali memainkan ponselnya. Pemikiran gadis itu terlampau jauh, belum juga menikah sudah mikirin tentang anak.

Wajah Nay seketika muram, kesal karna merasa di abaikan. Pacarnya malah asik main game online di hp.

Sadar, tidak terdengar lagi kicauan gadisnya,  lelaki itu mengangkat kepala, melihat gadis di hadapannya cemberut, tangan kirinya menopang dagu, tangan satunya mengaduk-aduk jus mangga dengan sedotan  tanpa meminumnya.

"Jangan diaduk terus, ntar gelasnya merasa pusing." Goda lelaki itu.  

"Bodo," jawab Nay ketus.

"Minuman apaan itu, kok aku baru dengar."

"Sejenis racun!"

"Mau, dong."

"Jangan!"

"Kenapa?"

"Masa belum nikah aku harus jadi janda!" ucap Nayla mendramatisir.

"Walaupun aku mati aku akan selalu  ada di sampingmu, Sayang."

"Vino!" Nayla melempar sedotan ke arah pacarnya." Apaan, sih. ngomongnya. Gak lucu, ah." Nayla paling tidak suka jika Vino berkata tentang perpisahan. Dia tidak bisa dan tidak mau membayangkan jika Vino tidak ada di sisinya. Baginya itu lebih menyeramkan dari film horor yang sering ia tonton.

Vino terkekeh. Nayla begitu takut kehilanganya, mungkin orang pikir ini berlebihan, tapi inilah kenyataannya. Perasaan saling menyayangi, merasa saling membutuhkan satu sama lain.

"Gini, ya. Nay, Sayang," kata lelaki itu menerangkan seolah Nayla anak kecil. Sedikit mencondongkan badan, kedua tangannya menangkup pipi  Nayla. "Kita baru aja lulus SMA. Perjalanan kita masih panjang. Kamu dan aku harus lanjutin sekolah dulu, terus aku harus kerja dulu, setelah itu baru aku bisa nikahin kamu. Masih banyak hal yang harus kita perjuangkan selain menikah."

Netra mereka ber-adu. Kaca-kaca itu terlihat jelas. "Jadi, artinya kamu gak mau nikah sama aku?"

Gadis itu begitu polos. Terkadang dia begitu manja, tapi kalau berhubungan dengan pelajaran, dia bisa berubah tegas seperti Guru Matematika yang galak. Dua tahun ini Nay selalu ada buat Vino. Perasaan mereka kuat, saling mencintai. Sama halnya dengan Nay, Vino berharap semoga gadis itu adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan untuknya.

Nay selalu mendukungnya, terutama dalam hal pendidikan. Karna Nayla sekarang dia bisa masuk Universitas impiannya. Nayla salah satu murid yang sangat pintar, karna kepintarannya itu dia mendapat beasiswa di SMA Pelita. Sekolah elit yang isinya kebanyakan anak-anak orang kaya.  Beruntung, Vino tidak pernah memandang kasta. Dia terima Nay apa adanya.

"Aku mau nikahin kamu, tapi tidak sekarang, Sayang," ucap Vino gemas mencubit hidung bangir Nayla.

"Beneran kamu mau nikah sama aku?" tanya Nayla yang di balas senyuman oleh Vino. Seketika wajah mendung itu kembali cerah. "Aku mau nanti pernikahan kita temanya__"

Suara ponsel yang berdering di atas nakas membuyarkan lamunan Nayla. Tidak seharusnya dia selalu berada di masa lalu. Sedalam apapun dia menguburnya, sejauh apapun dia pergi, kenangan itu masih saja mengusiknya. Mungkin perasaan untuknya tidak pernah mati. Sampai detik ini.

"Iya, tadi aku udah bicara sama manager hotelnya." Nayla bicara di telpon. "Masalah lokasi udah beres, kamu urus sisanya. Acaranya tinggal seminggu lagi, lho."

Berjalan keluar kamar menuju dapur, Nay mengambil air minum di kulkas, sementara telinganya masih fokus mendengarkan ocehan temannya.

Ratih, sang ibu, hanya menggeleng melihat anak gadisnya itu, sudah malam tapi putrinya masih saja mengurus pekerjaan.

"Tiap hari ngurusin pernikahan orang terus." Ratih menaruh segelas susu coklat hangat disamping Nayla. Kebiasaan yang tidak pernah hilang, segelas susu coklat sebelum tidur.

Menggeser kursi di hadapan Nay, Ratih memperhatikan putrinya yang masih sibuk dengan ponselnya setelah menutup sambungan telpon.

"Ini, kan udah kerjaan aku, Bu."

"Terus, kapan kamu ngurusin pernikahanmu sendiri?" Nayla anak perempuan satu-satunya. Anak pertamanya laki-laki dan sudah berkeluarga. Wajar jika ia ingin segera melihat putrinya menikah. Usia Nay sudah 26 tahun. Para tetangga pun sudah mulai terdengar bergunjing, bahkan ada yang  menyebut Nay perawan tua.

Di kampung, tempat ibunya tinggal saat ini, anak perempuan seusia Nay sudah pada menikah, bahkan sudah mempunyai satu sampai dua anak.

Selama ini Nay tinggal di Ibukota, sejak masuk SMA dia  mulai belajar hidup mandiri, pemikirannya sudah modern. Benar apa kata dia, banyak hal yang harus di perjuangkan selain pernikahan.

Sejak ayahnya meninggal, 3 tahun lalu, Nay memutuskan pulang dan menetap di kampung halamannya.  Dia ingin menemani ibunya yang tinggal sendirian, atau mungkin ... Mencoba sembunyi dari masalalu.

Nay mengangkat kepala, menyimpan hp di meja, ia mengusap-usap punggung tangan ibunya. "Sabar, ya. Bu. Suatu hari aku pasti akan menikah. Ibu gak usah perduliin omongan orang."

"Tapi sampai kapan, Nay? Semakin hari waktu ibu di dunia semakin berkurang, ibu takut_"

"Jangan ngomong gitu, Bu." Nayla memotong ucapan ibunya. Akhir-akhir ini ibunya selalu bicara seperti itu. Ibu takut jika tidak ada umur untuk menyaksikan kamu menikah, ibu tidak akan tenang meninggalkanmu sendirian.

"Tidak ada yang tau umur seseorang, Nay_"

"Tahun ini!" ucap Nay spontan.

Ratih menatap Nay dalam, seolah memastikan jika dia tidak salah dengar.

"Iya, Bu. Aku janji tahun ini aku pasti akan menikah."

***

Malam semakin merangkak naik, tiupan angin sesekali masuk melalui celah dibalik jendela. Berguling ke kanan, lalu kekiri, mata berusaha terpejam  tapi pembicaraannya dengan ibu tadi selalu terngiang. Nay tidak bisa tidur.

"Ibu tahu kamu belum punya pacar," ucap Ratih. Menghela nafas sebelum kembali bicara, dia merasa segan, tapi ini yang terbaik untuk putrinya. "Ibu ada teman, dia punya anak laki-laki."

"Ibu mau jodohin aku?"

  "Dengerin dulu. Ibu tidak ada niat untuk menjodohkan, tapi kalau seandainya kalian cocok ibu akan sangat senang. Ibu sering bertemu dia, dia teman sekolahnya kakakmu."

Hening, Nay tidak bicara apapun. pikirannya dicecari banyak pertanyaan. Apa ini yang terbaik untuknya? Apa bisa dia mencintai lagi setelah cinta pertamanya gagal, bahkan hancur.  

Dia tidak yakin kepingan itu bisa kembali utuh.

"Nay, kamu mau ya, bertemu sama dia, sekali aja. Setelah itu kamu bisa memutuskan kedepannya mau seperti apa. Ibu  gak maksa, kok."