12 Perempuan Menyebalkan

Tiara merasa kesal dengan tingkah Revan sewaktu di dalam bioskop, kini dia berada di dalam toilet untuk menghindari jangkauan Revan. Akhirnya dia berinisiatif untuk mengancam Revan lewat pesan.

[Tiara: Jangan nungguin gue, lebih baik lo pulang duluan.]

[Revan: Gue bakalan tunggu sampai lo selesai. Kita harus pulang bareng.]

"Kok jadi gue yang kena ancam," gumam Tiara.

Tiara pun menghembuskan napas kasarnya dan akhirnya dia keluar karena dia tahu toilet sedang ramai.

"Lama banget sih, Mba," protes wanita dengan setelan merah begitupun dengan perona bibirnya yang merah menyala seperti sehabis makan darah segar.

Tiara pun meminta maaf, sebenarnya di dalam toilet dia hanya mengumpat dan tidak melakukan apapun. Dengan langkah ragu-ragu dan pelan dia keluar dari toilet dan mendapati Revan yang sedang bersandar pada dinding.

"Kenapa sih lo nggak pulang duluan?" serang Tiara.

"Lo kesambet di dalam? Kok langsung judes begitu setelah apa yang kita lakukan," kekeh Revan.

"Bodo amat!" kesal Tiara sambil melanjutkan jalannya.

Revan pun mensejajarkan posisi jalannya hingga berada di samping Tiara.

"Eh, kita ke toko buku dulu yuk," ajak Revan.

"Mau ngapain?" tanya Tiara.

"Ada buku yang mau gue beli."

Meskipun dengan langkah malas Tiara menuruti ajakan Revan, setelah sampai di dalam toko buku Revan berpesan jangan coba-coba kabur ataupun pulang lebih dulu karena kalau Tiara nekat besok satu sekolah akan mengetahui tentang kecupan bibir keduanya.

"Mungkin bakatnya itu mengancam," cibir Tiara.

Revan mendengar perkataan Tiara, tapi dia tidak ambil pusing. Seperti rencananya dia pun menuju rak buku dan membeli buku yang dimaksud. Tiara mengekorinya dan melihat-lihat buku di rak tersebut.

"Lo belajar hukum?" tanya Tiara, "pantas saja pintar mengancam orang!"

"Iya, gue mau jadi pengacara atau hakim gitu," jawab Revan dengan santai yang masih fokus dengan pilihan buku-bukunya.

"Nggak salah, sudah punya bakat mengancam," ejek Tiara.

"Nggak ada hubungannya mengancam sama cita-cita gue," elak Revan.

"Ada lah ... pengacara 'kan kerjaannya mengancam orang kalau rencana tidak sesuai dengan pemikirannya. Hakim pun begitu, nggak menutup kemungkinan menghakimi orang yang nggak bersalah," terang Revan.

Revan langsung melihat ke arah Tiara. "Nggak semua pengacara dan hakim seperti yang lo sebutin tadi. Masih banyak dan masih ada pengacara dan hakim yang membela."

"Wooh, lo kesinggung sama ucapan gue," balas Tiar mendapat tatapan tajam dari Revan.

"Tarik kata-kata lo tadi, nggak masalah lo ngejelekin gue, tapi jangan ngejelekin suatu profesi," tukas Revan.

"Iya, sorry. Maaf, gue nggak ada maksud gitu," ucap Tiara merasa bersalah.

Revan pun melanjutkan membaca dan mencari buku-buku yang pas untuk di belinya.

"Kalau lo sendiri mau jadi apa?"

Pertanyaan Revan mengingatkan dia akan sang mama. Dimana saat duduk santai di ruang tamu, Tiara bercerita tentang cita-citanya. Tiara mengatakan ingin bercita-cita menjadi dokter atau menjadi reporter. Tentu saja itu membuat tekad dan mental yang kuat untuk menjalani profesi tersebut, terlebih harus membutuhkan biaya yang cukup untuk mencapai atau menyelesaikan mata kuliah masing-masing tersebut. Mengingat suasana itu membuat Tiara merasakan sesak seketika dan tangannya mencari tumpuan agar tidak goyah, tangan Tiara kurang cepat hingga terjatuh duduk di lantai. Revan yang melihat itu langsung terkejut dan bertanya pada Tiara. Hanya gelengan kepala yang pelan yang dapat merespon pertanyaan dari Revan, saat ini dia sendiri tidak ingin melihat wajah Revan ataupun dia tidak ingin Revan melihat raut wajah menyedihkan dirinya. Tiara berusaha untuk menguatkan dirinya dan mengambil napas dalam-dalam lalu di hembuskan perlahan, setelah cukup kuat dia langsung berdiri dan berkata dia ingin pulang dengan alasan kepalanya pusing.

"Lo nggak jadi beli buku?" tanya Tiara bingung.

"Kesehatan lo lebih penting, gue bisa lain kali," jawab Revan sambil merangkul lengan Tiara untuk berjalan.

"Lepasin, ini di tempat umum," titah Tiara.

Revan pun menuruti perintah Tiara. Setelah berada di luar mall, Revan langsung menyetop angkutan umum. Revan mencari tempat duduk untuk di tempati oleh Tiara, tapi tidak ada bangku yang kosong. Angkutan umum yang di naiki keduanya adalah jenis bis kecil atau di sebut bis tiga perapat mirip bis berwarna oren atau hijau yang mendominasi, alhasil keduanya berdiri di bagian belakang karena kursi sudah penuh. Revan menyuruh Tiara untuk berpegangan pada sandaran kursi dan dia pun berjaga di belakangnya.

Saat satu penumpang pun turun, dengan cepat Revan menyuruh Tiara duduk. Dalam hati Revan sangat lega karena akhirnya Tiara mendapatkan tempat duduk.

"Nanti gue anterin sampai rumah ya," tawar Revan.

"Nggak usah, rumah lo sama gue beda. Terus ini mobil langsung menuju rumah lo jadi nggak usah turun," balas Tiara.

"Tapi lo kelihatan pucat, Ra," ucap Revan khawatir.

"Kalian berisik banget sih! Kalau pacarnya nggak mau dianterin ya nurut dong, masa maksa begitu," cibir perempuan yang duduk di sebelah Tiara.

"Maaf, Mba," balas Tiara serendah mungkin.

"Lagian masih sekolah sudah pacaran, saya waktu itu belum pacaran sama sekali sampai akhirnya saya kerja enak dan boleh pacaran sama orang tua." Perempuan itu melanjutkan perkataannya dengan bercerita tentang dirinya yang sebenarnya tidak penting bagi Tiara.

"Ingat ya, masa depan kalian itu cerah dan kalian itu generasi bangsa, harusnya utamakan sekolah dari pada berhubungan seperti ini," lanjut perempuan itu.

"I-iya, Mba. Lagi pula kita nggak pacaran kok, kita cuma teman," balas Tiara.

"Halah, alasan."

Revan yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Mba, maaf ya. Kalau bicara itu di jaga, kita juga tau kok kalau kita ini masih pelajar dan nggak akan melakukan seperti dugaan di dalam pikiran Mba itu. Lagi pula kalau mau nasehati nggak usah sambil nyindir ... kesannya itu Mba seperti iri."

"Iih, amit-amit saya iri sama anak ingusan macam kalian yang nggak tau bagaimana sudah lulus nanti." Perempuan itu pun tidak terima karena dengan ucapan Revan.

Banyak pasang mata yang melihat Tiara dan Revan, di lihat seperti itu membuat Tiara gugup tidak karuan. Telapak tangannya tiba-tiba berkeringat dan peluh sebesar biji jagung pun keluar karena rasa gugup serta takut yang tiba-tiba menyerang dirinya. Tiara tidak menyukai situasi ini, ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin dan berteriak untuk tidak melihatnya dengan tatapan yang seakan mengintimidasi dirinya. Di dalam hatinya dia benar-benar kesal dengan perempuan di sampingnya yang seakan menjadi orang paling benar di muka bumi ini. Awalnya Tiara yang kagum dengan setelan jas berkesan elegan, tiba-tiba meluap begitu saja dan tergantikan dengan rasa kesal hingga puncaknya. Sebuah umpatan yang di lontarkan oleh Tiara sukses membuat perempuan tersebut menjadi geram dan melihat Tiara dengan tatapan menuntut.

avataravatar
Next chapter