webnovel

Bab 25

Sore ini aku sudah berada di kota, sebab aku ada janji dengan Arni untuk menemaninya bertemu dengan pengrajin kayu. Meski kata Paklik Sobirin, dia tadi siang sudah mengantar Arni. Karena aku pulang kelamaan. Rasanya, aku benar-benar bersalah, telah berjanji kepadanya sedari beberapa waktu yang lalu, tapi aku ingkari. Andai saja urusan perkebunan ndhak memakan waktu selama ini, pastilah semuanya bisa ditangani dengan baik. Masalahnya, kerusakan perkebunan hampir enam puluh persen, dan itu benar-benar menyita waktu, tenaga, dan uang juga.

Tapi terlepas dari itu semua adalah, sepasang sendal laki-laki ini. Yang letaknya berdempetan dengan sendal milik Arni. Aku jadi penasaran, siapa gerangan laki-laki yang berkunjung? Tapi kurasa, laki-laki ini bukanlah laki-laki asing. Sebab kutahu, Arni bukanlah perempuan murahan yang dengan mudahnya membawa masuk laki-laki sembarangan ke dalam rumah. Terlebih, rumah ini adalah rumah barunya, di lingkungan barunya yang berada di kota. Jadi kurasa, dia masih belum akrab dengan orang-orang di sekitar.

Aku melangkah hati-hati, sebab takut jikalau nanti aku masuk barangkali akan menganggu. Dan benar saja, apa yang kulihat membuat langkahku terhenti tanpa aba-aba. Di sana, di balai tamu, ada Arni yang sedang duduk sambil membisu. Sementara di kursi seberang, tampak Muri yang juga masih diam.

Jadi, Muri sudah berani ke sini? Gusti... terimakasih. Meski kulihat saat ini keduanya masih saling diam, seendhaknya keberanian Muri untuk bertandang ke sini adalah hal yang luar biasa. Itu membuktikan jika dia cukup jantan untuk mengakui perasaannya, jika dia sampai detik ini, terlepas dari apa pun tabiat buruknya, sangat mencintai istrinya.

"Lho, ada tamu agung, toh? Apa aku menganggu?" kataku. Yang berhasil membuat Muri, dan Arni tampak kaget. Kemudian keduanya salah tingkah. Apalagi muri.

Melihat mereka ini rupanya lucu juga, mereka, kan, sudah lama berumah tangga. Kok ya lagaknya seperti muda--mudi yang baru kasmaran saja. Kalau seperti ini, kan, aku jadi yang malu. Merasa jadi orang ketiga, penganggu mereka yang hendak bercengkerama dengan mesra.

Aku duduk di sebelah muri, kemudian kutepuk punggungnya yang saat ini membungkuk. Aku tahu, dia pasti sungkan. Itu sebabnya harus ada orang sepertiku yang bisa mencairkan suasana. Iya, toh?

"Ndhak perlu sungkan. Kamu bertandang ke sini karena rindu istrimu, toh? Jadi, anggap saja rumah sendiri," kubilang. Tapi, Muri masih diam. "Aku ke sini sekadar penasaran, tentang pengrajin kayu yang didatangi Arni, dan Paklik Sobirin. Apakah pengrajin itu benar-benar bagus? Adakah contoh hasil jadi dari pekerjaannya itu?" tanyaku. Mengabaikan kesungkanan yang telah diciptakan dua pasang manusia itu. Dan sekalian juga untuk menjelaskan maksud kedatanganku ke sini. Sebab aku ndhak mau jika Muri salah sangka lagi kepadaku, kemudian dia mengira aku, dan Arni macam-macam. Aku ndhak mau jika itu sampai terjadi. Jadi lebih baik, bukankah terbuka dan jujur untuk saat ini adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan?

"Bagus, Kangmas... bahkan aku dan Paklik Sobirin harus sedikit memaksa pengrajin itu untuk mengusahakan agar bisa mendahulukan pesanan kami. Kalau saja Paklik Sobirin ndhak bilang kalau itu suruhan Kangmas, pastilah pengrajinnya ndhak akan mau," jawab Arni, yang berhasil membuat Muri tampak kaget.

"Jangan salah paham lagi, biar aku jelaskan...," kataku pada akhirnya. "Sebutan Kangmas, ndhak ubahnya dia menganggapku sebagai saudaranya, ndhak lebih. Meski kutahu Arni lebih tua dari aku. Sementara masalah pengrajin kayu, istrimu ini memiliki mimpi kecil. Untuk membuka usaha agar dia mendapatkan pengalaman, dan menjadi perempuan mandiri. Bukankah itu bagus? Kurasa, kamu harus mendukungnya. Tapi, sebelum itu, minta maaf bukankah seharusnya kamu lakukan sekarang?"

"Ndhak usah ikut campur. Aku minta maaf atau endhak, sama sekali ndhak ada hubungannya denganmu," ketus Muri. Aku tertawa dibuatnya. Rupanya dia masih tampak kesal denganku. Lihatlah, bagaimana ekspresi wajahnya itu tampak kaku, judes, dan ndhak bersahabat. Sudah persis seperti Bulik Amah, tatkala Paklik Sobirin membahas untuk menambah istri baru di rumah.

"Arni, buatkan kami kopi. Mungkin, kami akan berbincang sampai malam sebelum aku pulang," setelah kuperintah, Arni langsung pergi ke dapur, untuk membuatkan kami kopi. Kemudian, kutaruh rokok di atas meja. Sebelumnya, aku telah mengambilnya seputung. "Rokok," tawarku. Sambil membakar ujung rokokku, dan menikmatinya dengan seksama. Ah, aku baru tahu jika merokok rupanya bisa senikmat ini. Rasanya kuman-kuman sakit hati yang ada di dadaku mati karena rokok, meski aku tahu jika kebiasaan ini kuteruskan, aku yang akan mati sendiri.

Muri tampak mengerutkan kening. "Sejak kapan kamu merokok? Sepertinya, baru kali ini kulihat anak bau kencur sepertimu rokok," sindirnya. Rupanya dia peduli juga denganku. Bagaimana bisa dia tahu sedetil itu? Toh, aku bahkan jarang bertemu dengannya untuk waktu yang cukup lama.

"Kamu tahu, manusia itu ndhak akan pernah sama. Semua bisa berubah, seperti halnya aku ini. Kadang suka merokok, kadang ndhak suka. Tergantung suasana hati," ucapku. Muri tampak berdehem. Ada seulas senyum tersungging di sudut bibirnya. "Kamu menginap?" tanyaku.

Arni keluar, meletakkan dua buah kopi, sepiring mendoan, dan sepiring putu ayu di atas meja. Dapat kulihat dengan jelas, ekor mata Muri ndhak lepas dari memerhatikan Arni. Langkah Arni, gerak tangan Arni, bahkan cara Arni duduk pun, selalu diamati oleh Muri. Jenis mengamati yang sangat intim, dan sangat menyenangkan. Membuat hati terkecilku iri, aku juga ingin memiliki perempuan yang bisa kuamati seintim itu, yang bisa kumasukkan ke dalam angan-angan liarku, atau bahkan hanya melihat setiap gerakannya saja, membuatku ingin merengkuhnya dari belakang dengan penuh cinta. Sialan memang Manis itu!

"Jika diizinkan," jawab Muri, yang berhasil membuat lamunanku buyar.

Kulirik Arni yang tampak masih canggung, sepertinya keduanya belum bercakap tentang hal yang serius. Apa aku ini mengganggu? Ndhak perlu dijawab, sebab memang aku pengganggu di sini.

"Sepertinya, aku harus pulang," putusku pada akhirnya, sambil menggaruk rambutku yang mendadak gatal, aku pun hendak bangkit dari dudukku.

"Jangan!" jawab mereka hampir bersamaan. Duh gusti, aku seperti jadi pak comblang saja. Begini malah membuatku semakin sungkan. Duduk di sini bersama mereka sungkan, karena melihat mereka sepertinya ingin bercakap dengan intim, dengan mesra berdua. Hendak pergi tapi dilarang oleh mereka. Terus aku ini harus bagaimana, toh?

"Kalau ada laki-laki dan perempuan berduaan, pihak ketiga itu setan. Apa kalian tega menjadikanku seperti lelembut?" kataku. Keduanya tampak tersenyum. "Ya sudah, Muri, ayo kita main catur. Bagaimana? Biar suasana lebih santai sedikit." ajakku pada akhirnya, biarlah malam sedikit aku pulang. Biar mereka lebih bisa menikmati malam romantis berdua, siapa tahu Ningrum akan dibuatkan adik lagi oleh mereka.

"Apa kamu bisa? Kurasa, kepandaianmu hanyalah main perempuan saja," sindir Muri. Benar-benar kurang ajar. Bagaimana bisa dia mengataiku pandai dalam main perempuan saja? Dia ndhak tahu, kalau aku telah dicampakan oleh makhluk hidup bernama perempuan? Bukannya pandai, tapi aku ini goblok!

Aku mengabaikannya, setelah mengambil catur aku pun bermain dengan Muri. Sambil terus mengambil beberapa putung rokok lagi, dan lagi. Dan itu berhasil membuat Muri menyembunyikan rokokku. Mungkin dia takut, jika rokoknya habis. Atau dia tahu, jika rokok adalah sumber pelarian atas masalah yang tengah kualami.

"Juragan!" teriak Ningrum semangat berlari hendak mendekat ke arahku. Tapi, langkahnya terhenti. Tatkala melihat bapaknya. Bahkan, tampak jelas raut ketakutan di sana. Dia pun langsung lari memeluk kedua kaki emaknya dengan erat. Gusti, aku benar-benar ndhak menyangka, jika Ningrum akan setakut itu padahal di depannya adalah bapaknya sendiri. Bapak kandungnya.

"Jangan sakiti Emak! Jangan sakiti Emak!" teriaknya panik, dan sangat histeris.

Aku benar-benar ndhak menyangka, jika Ningrum akan bereaksi seperti itu. Sepertinya, luka akibat apa yang disaksikan selama ini, benar-benar membuatnya trauma. Apakah, saat ia dewasa nanti, ia akan baik-baik saja? Seharusnya Muri lebih intropeksi diri lagi, terlebih setelah melihat keadaan Ningrum seperti ini. Masalah orangtua, biarlah hanya orangtua yang tahu, jangan sampai anak menjadi andil di dalamnya juga. Sadar apa endhak, hal buruk yang telah Muri lakukan telah terekam jelas di memori Ningrum, dan itu benar-benar menjadi menyakit yang akan susah untuk dihilangkan.

"Ndhuk, dia itu bapakmu. Ndhak baik berkata kasar kepadanya, toh," kata Arni, mencoba menenangkan Ningrum. Dia menunduk, mengenggam kedua bahu putrinya, tapi Ningrum menepisnya dengan kasar. Mata nanarnya, tampak benar ada ketakutan di dalam sana.

"Dia bukan bapakku! Dia bukan bapakku! Aku ndhak punya Bapak jahat, dan kasar seperti dia!" teriak Ningrum semakin kesetanan.

Jujur, hatiku benar-benar terasa sakit melihat bagaimana histerisnya Ningrum saat ini. Dan itu membuat hatiku rasanya seperti diremas-remas. Rasanya ingin sekali lagi kupukuli Muri, dan meminta keadilan atas apa yang telah dialami Ningrum sekarang. Namun aku sendiri juga tahu, di dalam rumah tangga ini apa posisiku. Aku hanyalah orang luar, yang benar-benar ndhak ada hak untuk melangkah lebih jauh masuk ke batas yang bukan ranahku.

"Sekarang kamu tahu, toh, jika apa yang kamu lakukan, bukan hanya membuat luka di hati istrimu. Tapi, anakmu juga," kubilang kepada Muri. "Sekarang, izinkan aku menenangkan Ningrum. Untuk Arni, jelaskan kepadanya sebelum semuanya terlambat."

Aku mendekat ke arah Ningrum, anak manis itu langsung memelukku erat-erat. Tangisannya terpecah, seolah ia telah menemukan tempat sembunyi yang paling aman. Sesekali kubisikkan dia kata-kata mujarab, agar dia percaya jika semuanya akan baik-baik saja. Agar dia percaya jika emaknya akan baik-baik saja bersama bapaknya. Sekarang, apa pun keputusannya itu ada di tangan Arni, dan Muri. Aku ndhak mau ikut campur masalah mereka lagi. Mereka sudah cukup dewasa dalam mengambil tindakan, dan sekadar intropeksi diri tentang apa yang selama ini mereka alami.

"Juragan, tolong Ningrum dan Emak. Tolong bawa kami pergi jauh dari sini, tolong selamatkan kami!" teriaknya.

Kubingkai wajah kecil Ningrum agar gadis kecil itu diam. Mata sembabnya, memandangku lekat-lekat. Kemudian ia memelukku dengan begitu erat.

"Juragan, tolong lindungi kami...." rintihnya kemudian. Rintihan penuh rasa putus asa, rintihan seolah jika meminta bantuanku adalah perkara yang sama sekali percuma.

"Ndhak ada yang bisa menyakitimu, dan emakmu lagi, Ndhuk. Percayalah kepada Juragan yang bagus ini, ya?" bujukku. "Ayo sekarang ikut aku ke depan. Bapak, dan Emakmu sedang butuh waktu privasi."

"Tapi, bagaimana kalau Bapak memukul Emak lagi?" tanya Ningrum khawatir.

Dapat kulihat raut terkejut pada wajah Muri. Tapi, dia cukup tahu diri untuk tetap diam di tempat.

"Ndhak akan, jika benar bapakmu macam-macam. Juragan yang akan menggorok lehernya, Ndhuk."

"Jangan!"

"Kenapa?"

"Dia Bapakku. Marahi saja, jangan gorok lehernya, Juragan. Kasihan," Ningrum bilang. Aku tersenyum mendengar jawaban polos itu. Itu tandanya jika Ningrum teramat sayang dengan Muri.

"Kalau begitu kupukul bokongnya?"

"Pakai?"

"Pakai kayu?"

"Jangan! Nanti Bapak sakit."

"Ya sudah, pakai sendal."

"Jangan keras-keras, ya, Juragan."

"Iya, tak elus saja."

Ningrum mengangguk, menyetujui ucapanku. Sementara itu, aku langsung melangkah pergi. Bisa kulihat dari ujung mata, Muri mengusap matanya dengan kasar. Rupanya, dia terharu juga dengan ucapan tulus putrinya. Tak pikir, dia itu benar-benar ndhak punya hati.

Setelah itu aku dan Ningrum duduk di dipan di pelataran samping rumah. Untuk sekadar duduk berdua dan bercakap-cakap. Sedari tadi, Ningrum memandangku aneh. Dan aku ndhak tahu, kenapa?

"Juragan ini merokok, toh? Kok mulutnya bau tembakau?" tanyanya.

Jujur, ditanyai Ningrum seperti itu. Ada rasa amat bersalah yang menyeruak di hatiku. Tapi, biar bagaimana pun, aku ndhak mungkin bisa berbohong dengannya. Dan entah kenapa, pertanyaan yang polos seperti ini yang seolah mengena tepat di hatiku, membuat rasa bersalah yang ndhak terkira banyaknya.

"Iya, Ndhuk. Laki-laki," kujawab sekenanya. Sambil kubungkukkan badanku, aku mengambil sebatang rokok lagi. Kuselipkan di antara bibirku, dan hendak kunyalakan dengan korek api. Tapi dengan cepat Ningrum merampas rokok itu dari mulutku, kemudian ia membuangnya. Membuatku melirik ke arahnya, sambil mengerutkan keningku dalam-dalam.

Dia mencubit hidungku, kemudian berkacak pinggang. Matanya yang masih sembab itu melotot galak. Tapi, tampak terlihat begitu lucu di mataku. Anak sekecil ini, bisa pura-pura dewasa juga. Kupikir ndhak akan pernah bisa. Dan itulah yang membuatku tersenyum tiba-tiba, tersenyum karena tingkah Ningrum yang jenaka.

"Kenapa toh laki-laki itu, gemar benar menyakiti diri sendiri. Kata Bu Guru, rokok itu ndhak baik bagi tubuh, lho. Bisa membunuh, kok ya Juragan yang katanya lulusan kuliahan ini bisa ndhak tahu itu bagaimana? Atau, sengaja mau bunuh diri?" cerewetnya. Lihatlah wajahnya yang ayu itu. Benar-benar tampak semakin ayu.

Andai Ningrum tahu, sejatinya semua laki-laki perkokok di dunia ini sudah tahu dampak apa dari nikotin yang mereka hisap setiap hari, pasti dia akan memarahi semua manusia berjenis kelamin laki-laki di bumi ini. Hanya saja, manusia tetap manusia. Manusia memiliki caranya sendiri untuk mendapatkan sebuah kata 'nikmat' dengan atau tanpa menyakiti dirinya sendiri, dengan atau tanpa hal buruk yang akan ditanggungnya. Bukankah itu adalah bagian terpenting dari sebuah proses kehidupan yang nyata?

"Ningrum, bagaimana kalau kamu menikah denganku. Apa kamu mau? Kita bisa menjadi suami—istri yang sangat bahagia," tawarku. Meski separuhnya menggoda, tapi ini juga termasuk sungguh-sungguh. Pasti hidupku akan terus bahagia, memiliki seorang istri jelita, dan pandai membuat tertawa seperti Ningrum.

"Lho...," katanya. Matanya semakin melotot seolah kaget. "Kemarin kata Emak, Juragan ini mau jadi Bapakku. Kok ya sekarang berubah mau jadi suamiku ini bagaimana, toh, Juragan?" tanyanya bingung.

Aku tertawa mendengar pertanyaannya, dengan ekspresi yang benar-benar sangat lucu.

"Lho memang kenapa? Sah-sah saja, aku laki-laki dan kamu perempuan. Aku bukan banci, lho, ini. Aku bisa menikahi emakmu, aku juga bisa menikahmu. Semuanya sah kalau aku mau."

"Tapi Juragan sudah besar, sebentar lagi tua. Sementara aku masih sebelas tahun. Bagaimana jadinya saat aku dewasa nanti. Bisa-bisa Juragan sudah mati," Gusti, aku semakin ingin tertawa dibuatnya. Bagaimana bisa, Ningrum berpikir sampai sejauh itu. Mati? Jika sebelumnya aku dapat bahagia, mati bukanlah perkara yang menakutkan di dunia.

"Yang tua itu yang berpengalaman, lho. Ndhuk. Percayalah, apalagi Romo, dan Biung Juragan juga rentang usianya sangat jauh. Buktinya mereka bahagia. Waktu itu Biungku usianya belasan sama sepertimu, dan Romoku malah lebih tua jauh dariku. Buktinya, mereka saling cinta, mereka bahagia selamanya."

"Tapi, Romo Juragan mati duluan, toh?" aku diam. Benar juga ucapannya. Meski aku tahu, jika Romo Adrian telah meninggal bukan karena usianya yang tua. "Aku itu ndhak mau, Juragan, ditinggal mati suamiku dulu. Aku itu ingin menua bersama suamiku. Itu sangat manis, toh?"

Kuelus rambut hitamnya, kusandarkan kepalanya di dadaku. Rupanya, gadis kecil ini juga telah menolakku. Meski ucapanku tadi, hanyalah guyonan semata.

"Masih kecil yang dibahas menua bersama. Nanti kalau sudah besar yang dibahas apa?"

"Ya mati bersama," jawab Ningrum. Aku kembali tertawa.

"Mati bersama itu ndhak seru. Bagaimana nasib anak-anakmu kelak kalau kamu, dan suamimu mati bersama? Iya kalau mereka sudah dewasa, kalau mereka masih kecil-kecil? Mereka juga butuh sosok yang menjaga, yang melindungi, dan memberi rasa nyaman sampai nanti mereka dewasa, toh?"

"Juragan rupanya memiliki cara pikir yang cukup logis juga," kata Ningrum kemudian. "Ya sudah, tak ganti. Aku ndhak mau mati bersama suamiku. Kelak jika aku memiliki suami, dan memiliki anak. Entah siapa yang nantinya akan mati dulu, kuharap anak-anakku bisa hidup makmur, dan bahagia sampai tua. Kuharap anakku ndhak pernah melihat pertengkaran kedua orangtuanya. Dan aku ingin, menjadi sosok Emak yang membuat bangga anak-anakku, membangun rumah tangga yang bahagia, sehingga membuat anak-anakku ingin menirunya,"

"Duh, Gusti... pintar benar, toh, anak perawan ini. Anaknya siapa?" godaku, sambil mencubit pipi bulatnya. Ningrum tampak mengaduh kesakitan.

"Juragan ini, ya aku ini anaknya Emak, dan Bapak, toh. Hanya saja, aku ndhak suka cara mereka berumah tangga. Mereka benar-benar membuatku takut, dan trauma."

"Ya sudah, ndhak usah diingat-ingat. Kalau kamu sedih cukup pelukaku saja. Kalau kamu ingin melupakan hal-hal buru, cukup cari aku, Juraganmu."

Mendengar hal itu, Ningrum mengangguk semangat. Kemudian dia terdiam, ndhak mengatakan apa pun. Selain menyenderkan kepalanya di dadaku. Aku pun ikut menghela napas juga karenanya, sambil memandang bintang-bintang di langit. Kemudian kuangkat tanganku, mencoba menangkap salah satu bintang yang ada di sana. Namun semuanya percuma, beberapa kali pun kugapai, bintang itu ndhak akan pernah ada dalam genggaman. Layaknya cintaku dengan Manis. Sepertinya, hanya akan berakhir sepertiku, dan bintang-bintang itu. Benar-benar sangat menyedihkan. Sampai aku ndhak berani untuk membayangkan.

Selanjutnya percakapan kami ngalor-ngidul ndhak jelas sama sekali. Lalu, lama-lama Ningrum pun tertidur di pangkuanku. Sementara itu, Muri dan Arni pun keluar. Membuatku masuk ke dalam rumah dan menidurkan Ningrum.

Keduanya tampak tersenyum malu-malu, saling salah tingkah yang ndhak jelas sama sekali. Setelah aku keluar dari kamar Ningrum, kupandangi mereka berdua. Keduanya tampak tersenyum dengan wajah bersemu merah.

Rupanya, sepertinya hal yang menjadi perkara rumah tangga mereka telah selesai. Kesalah pahaman pun juga telah usia. Rencananya, Arni akan mencabut gugatan cerainya di pengadilan bersama dengan Muri. Meski aku sendiri ndhak tahu, apa itu bisa. Toh, aku belum pernah menikah. Aku ndhak akan mementingkan perkara itu. Yang jelas adalah, aku cukup bahagia melihat semuanya baik-baik saja. Sementara perkara hatiku? Entahlah, siapa yang akan peduli. Akan bisa hidup lagi, atau malah... mati.

Dan malam ini, rupanya Muri benar-benar ndhak mau menginap. Sebab katanya, ada salah satu hal yang harus ia selesaikan segera di Kemuning. Meski aku ndhak tahu kabar itu, tapi cukup untuk membuatku setuju ketika dia menawarkan diri untuk pulang bersama. Namun sebelum itu, kutawari dia akan satu hal. Sebelum pulang kita mampir dulu di sebuah warung. Warung itu berada di perempatan gapura Ngargoyoso, yang sudah terkenal akan tuaknya asli dari Jawa Timu.

"Sunggu, aku benar-benar ndhak paham. Sebenarnya kamu ini ada masalah apa, toh? Sampai-sampai mengajakku ke tempat ini?" tanya Muri pada akhirnya, setelah si pemilik warung memberi kami sebotol tuak beserta dua chetak (gelas dari bambu khusus untuk meminum tuak).

Aku menoleh mendengar pertanyaan itu, menuangkan tuak ke dalam dua chetak itu, kemudian mempersilakan Muri untuk meminumnya. Sungguh aku ndhak percaya, dia bisa seperhatian ini kepadaku, tak pikir mau kuajak ke mana saja, dia ndhak akan peduli. Apalagi sampai berkomentar seperti ini.

"Perkebunanku telah dirusak orang," kubilang pada akhirnya, Muri tampak mengerutkan kening. "Karena kita bersiteru, warga kampung mengira dalang dari perusakan kebun-kebunku itu kamu. Tapi aku tahu itu bukan,"

"Tunggu, kebun-kebunmu? Berarti bukan hanya satu perkebunan saja?" tanyanya kurang paham, aku pun mengangguk menjawabi pertanyaannya itu.

"Iya, perkebunan teh, dan beberapa perkebunan di Berjo, dan kampung-kampung di Ngargoyoso juga. Herannya, kenapa hanya yang di Ngargoyoso yang dihancurkan seperti itu? Sementara di tempat lain, endhak. Aku hanya berpikir, jika orang yang melakukannya tahu tentang milik keluarga Hendarmoko di wilayah Ngargoyoso saja. Bukankah itu berarti pelakunya orang itu-itu saja?"

"Pasti banyak kerugian yang diciptakan orang itu. Maaf, sepertinya aku dan Arni telah membuatmu tambah masalah saja. Aku benar-benar ndhak tahu, kalau perkebunan sedang kacau sekarang,"

Aku tersenyum getir, kemudian meminum tuakku. Bahkan kurasa, rusaknya perkebunan endhaklah sebanding dengan rusaknya hatiku yang telah dihancurkan oleh Manis dengan cara sadis.

"Kalau masalah biaya, pasti ndhak sedikit, memang. Hanya saja, aku dan Romo kasihan dengan para pekerja. Mereka mengalami kerugian cukup besar, meski sampai detik ini mereka menganggur di rumah, kami bertanggung jawab, dan tetap memberi gaji kepada mereka."

Muri menepuk pundaknya, kemudian dia tersenyum kaku. Rupanya, Muri bukanlah sosok yang melulu menyeramkan. Ada sisi di mana dia pantas di tempatkan sebagai sosok Kangmas.

"Siapa gerangan kira-kira manusia yang memusuhimu selain aku?" tanyanya tiba-tiba. "Dan kenapa sampai dia memusuhimu? Bukankah kamu terkenal dengan sebutan Juragan yang teramat ramah? Bahkan saking ramah, dan ndhak bisaannya, kamu malah seperti ndhak ada wibawanya sama sekali untuk menyandang seorang Juragan Besar,"

Duh Gusti, aku baru tahu, jika rupanya ada orang yang berpikiran seperti itu. Apa iya sebagai seorang Juragan aku benar-benar ndhak memiliki wibawa?

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan dari Muri, untuk kemudian kami menikmati sisa waktu kami untuk bercakap kemana-mana. Sebelum kami kembali ke Kemuning.