5 Penjodohan

Tanpa mengucapkan kata terima kasih, Rivaldi langsung meninggalkan Amanda dan memasukki rumahnya. Di sana ada Arina yang sedang duduk di sofa rumahnya, bersama Sarah. Wajah Arina tampak pucat, sepertinya wanita itu sangat merasa trauma dengan apa yang terjadi kepadanya.

Rivaldi duduk di samping Arina, dan langsung membawanya ke dalam pelukannya. "Mamah, tenang ya Mah. Sekarang udah ada Valdi di sini," nasihatnya dengan suara lembut.

Arina membalas pelukan Rivaldi tak kalah erat, menumpahkan ketakutannya dengan berlindung pada anak lelaki semata wayangnya. Dapat Rivaldi rasakan, tubuh Arina bergetar dan tangan juga kakinya terasa cukup dingin, seperti es.

"Valdi, kamu jangan tinggalin Mamah sendiri. Mamah takut banget ..." lirih Arina.

Rivaldi mengusap punggung Arina. "Iya Mah, tenang aja ya. Aku gak akan ke mana-mana kok," ucapnya, terdengar sangat lembut di pendengaran Arina.

Secara perlahan, Arina melepaskan pelukannya dari tubuh Rivaldi. Kemudian, tangannya bergerak untuk menangkup kedua pipi Rivaldi. Manik matanya, menatap kedua manik mata Rivaldi lekat. Di sana, ada pancaran seperti orang memohon.

Paham dengan tatapan Sang Ibu, Rivaldi menaikkan sebelah alisnya seolah-olah bertanya kepada Arina, apakah yang akan Arina sampaikan kepadanya. Rivaldi tahu, Arina ingin sekali mengucapkan permintaannya tapi ragu sekaligus takut.

"Mah, ada apa? Mamah mau ngomong apa? Bilang aja sama aku," bujuk Rivaldi.

"Nak, apa kamu mau segera menikah dengan Veronika? Supaya ada yang jagain Mamah di rumah, jadi Mamah gak perlu ketakutan kayak gini." Kemudian, Arina menurunkan kedua tangannya dari kedua pipi Rivaldi.

Hal itu membuat Rivaldi terdiam, permintaan yang sangat sulit untuk dirinya kabulkan. Bayangkan saja, bagaimana nantinya jika Rivaldi menikah dengan Veronika, tapi masih menjalin hubungan dengan Jovanca. Bisa-bisa orang lain mengatakan bahwa Rivaldi adalah lelaki yang tidak baik.

Rivaldi mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Mah, kenapa gitu si? Aku kan belum kerja," protesnya.

"Masalah kerjaan, jangan dipikirin. Kamu bisa langsung kelola perusahaan kita, ya? Atau gini aja deh, Mamah punya dua pilihan buat kamu. Kamu pilih menikah sama Veronika, atau kuliah kamu Mamah berhentikan?" ancam Arina.

Sial, ancaman yang Arina berikan tidak main-main. Entah jawaban apa yang harus Rivaldi berikan kepada Arina. Untuk mengatakan tidak, rasanya berat. Begitu juga untuk mengatakan iya, sangat sulit. Lidahnya terasa begitu kaku, seperti ada yang menahannya.

"Mah, jangan main ancam-ancaman deh," protes Rivaldi lagi.

Arina menggenggam jemari Rivaldi. "Ya kalau kamu gak mau Mamah ancam, pilih dong pilihan yang Mamah kasih," paksanya.

Tidak ingin ambil pusing, Rivaldi memutuskan untuk menenangkan dirinya dengan memasukki kamar. Sementara Arina masih berada di ruang tamu, senantiasa Sarah menemaninya. Tapi, Arina tidak akan berhenti untuk memaksa Anak semata wayangnya itu agar mau menikah dengan gadis pilihannya.

"Sabar ya, Rina. Aku yakin pasti nanti Valdi bisa menerima perjodohannya kok," ucap Sarah.

Arina menganggukkan kepalanya. "Pasti, aku juga sangat yakin," jawabnya.

***

Di sebuah jalanan, seorang lelaki bertubuh tinggi, berwajah tampan dan memiliki kulit hitam manis, sedang berlarian ke sana ke mari, peluh sudah membanjiri tubuhnya. Tapi lelaki yang tampaknya masih berusia dua puluh tahun itu tetap melanjutkan aktivitas berlarinya.

Wajahnya tampak sangat panik, di belakangnya ada seorang perempuan dengan kondisi rambut acak-acakkan, pakaian sobek, serta wajah kotor terus mengejarnya. Sepertinya lelaki remaja itu sedang dikejar oleh perempuan gila.

Nasib baik masih berpihak kepada lelaki yang dikenal dengan nama Lukman, dia menemukan sebuah tong sampah berukuran besar lalu masuk ke dalam sana. Tidak peduli jika tubuhnya akan menjadi bau sampah, atau bahkan mungkin lalat dan kecoa datang mengerumuninya.

Selama kurang lebih sepuluh menit Lukman menunggu kondisi aman, setelah merasa aman lelaki itu segera keluar dari dalam tong sampah. Bersamaan dengan itu, datang seorang gadis yang diketahui bernama Neyra, keduanya adalah sahabat Rivaldi.

Neyra tertawa ngakak saat melihat ekspresi wajah Lukman. "Ahaha! Aduh, Lukman. Sejak kapan lo seneng main sampah? Waduh, perlu diabadikan gak si?" ejek Neyra.

"Terus aja terus ejek gue, sampai lo puas silahkan. Diabadikan? Mangga atuh, siapa tahu we gue jadi terkenal 'kan?" ucap Lukman dengan santainya.

Tidak henti-hentinya Neyra menertawakan Lukman, sementara Lukman hanya bisa berdiam diri saja. Menunggu sampai Neyra merasa puas dengan tawanya. Mereka berdua memang sudah bersahabat sejak lama, tapi tidak pernah akur. Seperti kucing dan anjing, selalu saja ada hal yang diributkan.

Neyra menghentikan tawanya. "Oh iya, duduk dulu yuk! Gue beliin lo minum deh," ajak Neyra.

"Ayoklah, bukannya dari tadi kek. Kan gue udah lelah." Kemudian, Lukman berjalan terlebih dahulu meninggalkan Neyra, menuju sebuah bangku panjang.

Sementara Neyra, membeli sebotol air mineral terlebih dahulu untuk Lukman. Setelah membeli, Neyra langsung menghampiri sahabat terkocaknya itu dan memberikan minuman yang baru saja dibelinya. Lukman langsung meminum air mineral tersebut dalam sekali tenggukkan.

"Oh iya, lo tahu gak si? Ternyata si Valdi mau dijodohin sama cewek laen. Gue kasian banget deh sama pacarnya," ucap Neyra dengan raut wajahnya yang kelihatan sedih.

Lukman membuang botol air mineralnya terlebih dahulu, kemudian menjawab, "Yang bener lo? Jangan ngadi-ngadi dah. Gue tahu gimana Tante Arina, gak mungkin dia mau jodohin Valdi ke cewek laen."

Kedua bola mata Neyra terputar malas, ternyata jika tidak ada bukti akan sulit untuk memberitahu kebenaran apapun kepada orang-orang. Jaman sekarang, memang selalu membutuhkan bukti yang kuat. Meski orang yang mengatakan sesuatu itu sudah berkata dengan jujur, tetap saja harus ada sebuah bukti agar bisa percaya.

"Ya udah deh, kalau lo gak percaya. Lebih baik besok lo tanyain langsung sama Valdi," ucap Neyra dengan penuh kekesalan.

"Gue pulang ye, bye!" Lalu, Neyra langsung meninggalkan Lukman.

***

Entah ada angin apa, sehingga Rivaldi mengendarai motornya sampai di kediaman Jovanca. Tampaknya rumah mewah itu seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Sepi, lampu yang menyala pun tampak redup. Tapi Rivaldi yakin, pasti Jovanca ada di rumah, karena setahu dirinya bahwa Jovanca jarang sekali main ke luar rumah. Kecuali ada urusan yang sangat penting.

Karena tidak ingin membuang waktunya lebih lama lagi, Rivaldi memutuskan untuk turun dari motor ninjanya, dan kedua kaki jenjangnya mulai melangkah memasuki pekarangan rumah Jovanca. Sesampainya di ambang pintu, Rivaldi segera mengetuk pintu rumah mewah itu beberapa kali. Selama kurang lebih sepuluh menit Rivaldi menunggu, sampai akhirnya tampaklah sosok pria berusia sekitar empat puluh tahun.

Siapa lagi jika bukan Arya, wajah Arya tampak memerah saat melihat Rivaldi. Selama ini, Arya sudah melarang keras agar Jovanca tidak berpacaran. Tapi ternyata anak gadis semata wayangnya itu melanggar perintahnya. Hal ini harus segera Arya selesaikan, dengan cara memberi hukuman kepada Jovanca. Mau tak mau, walau sebenarnya Arya tidak tega.

avataravatar
Next chapter