1 Awal

Prolog.

"Hai Vanca, gimana kabar kamu? Ohiya pasti kaget dong ya lihat aku di sini. Kita langsung ke intinya aja ya, tujuan aku culik kamu karena aku mau bunuh kamu!" Rachel mengeluarkan sebuah pisau tajam dari tas kecilnya.

Jovanca menggelengkan kepalanya. "Jangan, aku mohon jangan bunuh aku ..." lirih Jovanca.

"Umumu, sedih ya? Kamu kira aku bakal luluh gitu lihat kamu nangis? Enggak Vanca, enggak! Karena aku pengen kamu cepat mati!" teriak Rachel.

Jovanca memejamkan kedua matanya, dalam hati terus merapalkan doa berharap ada orang baik hati yang bisa menolongnya saat ini. Jovanca masih belum siap jika harus meninggal saat ini, Jovanca ingin bahagia walau sebentar saja.

Rachel mulai melangkahkan kedua kakinya menghampiri Jovanca, pisau yang dibawanya ia arahkan ke dada Jovanca. Sementara Jovanca, hanya bisa berdiam diri saja dan terus berdoa dalam hati. Jovanca mulai terisak pelan, tapi seulas senyuman tiba-tiba saja terbit di wajah Jovanca saat melihat sosok yang dibutuhkannya datang.

"Ada pesan terakhir?" tanya Rachel.

Jovanca terdiam, senyuman terus mengembang di wajahnya saat melihat sosok Rivaldi mulai melangkah cepat, agar bisa menahan Rachel. Rivaldi benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata Rachel bisa berbuat senekat itu.

Tapi sayangnya, langkah Rivaldi kurang cepat. Pisau tajam itu sudah Rachel tancapkan di dada kiri Jovanca, tepat di jantungnya. Tepat saat itu juga, dunia Rivaldi seakan berhenti. Sosok gadis lembut yang selama ini ada untuknya, terbaring lemah di atas lantai dengan kondisi baju berlumuran darah.

Lalu, Rivaldi datang menghampiri Jovanca. Pisau masih tertancap di dada kiri Jovanca. Rivaldi melayangkan tatapan tajam kepada Rachel. Tapi, saat ini Rivaldi masih fokus pada Jovanca. Kedua mata Jovanca masih terbuka, tetapi sayu.

"V-valdi, a-aku se-neng d-di s-sa-at te-ra-khir a-aku. K-ka-mu a-da," ucap Jovanca tersendat.

Rivaldi menggelengkan kepalanya. "Enggak, kamu masih bisa hidup 'kan? Kamu udah janji sama aku, kalo kamu tetap setia dan bertahan, walau aku udah menyakiti kamu berkali-kali."

Gadis yang dikenal kuat, kini akan menyerah. Jovanca sudah lelah dengan kehidupan di dunia yang menyakitkan, sejak lama Jovanca sudah menantikan Tuhan memanggil dirinya. Jovanca berharap, jika dirinya meninggal nanti tidak ada orang lagi yang merasa terbebani.

"M-a-af ka-lo s-se-l-a-ma i-ni a-ak-u u-d-dah bu-at k-k-ka-mu s-su-sah." Setelah itu, kedua bola mata Jovanca benar-benar terpejam.

"Vanca! Jangan tinggalin aku!" pekik Rivaldi.

Susana di luar sedang hujan deras, dengan terpaksa Rivaldi harus membawa Jovanca ke rumah sakit hanya dengan berjalan kaki. Karena dia pergi ke gudang tua, menggunakkan motor ninjanya, bukan menggunakkan mobil.

Sebelum keluar dari gudang tua, Rivaldi terlebih dahulu melapor kepada polisi untuk menangkap Rachel. Setelah polisi datang, barulah Rivaldi segera membawa tubuh Jovanca yang sudah mulai dingin ke rumah sakit. Tanpa berpikir bahwa dia bisa saja memesan ambulans untuk ke rumah sakit.

"Tolong! Siapapun bantu, saya!" teriak Rivaldi di jalanan seperti orang gila.

"Argh!" teriak Rivaldi frustasi.

"Vanca, kamu bertahan ya. Aku mohon," ucapnya lirih.

***

Seorang gadis dan seorang lelaki remaja tengah berada di atas bukit, menikmati udara sejuk pagi ini. Keduanya berstatus sebagai sepasang kekasih. Mereka adalah Jovanca dan Rivaldi. Hari ini adalah hari anniversary mereka berdua ke satu tahun. Sebuah kue berukuran kecil berbentuk segitiga, ada dipangkuan Jovanca.

Langit sore tampak cerah, cahaya orange dari matahari memantul mengenai wajah Jovanca dan Rivaldi. Senyuman bahagia mengembang di wajah keduanya. Banyak doa yang mereka panjatkan untuk hubungan ke depannya, berharap tidak akan ada masalah yang membuat sepasang kekasih itu berpisah.

Kedua manik mata sepasang kekasih itu mulai tertutup, keduanya sama-sama mengucapkan doa dalam hati. Setelah selesai, lilin kecil berwarna putih biru yang ada di tengah kue itu mereka tiup bersama. Lalu, keduanya saling berpandangan selama beberapa menit.

"Akhirnya, ayok kita makan!" ajak Jovanca tak sabaran.

Rivaldi menganggukkan kepalanya pertanda setuju. "Ayok!" jawabnya cepat.

Kemudian, Rivaldi mengeluarkan sebuah pisau kecil yang terbuat dari plastik dari saku celananya. Pisau tersebut masih terbungkus plastik. Kue dengan rasa cokelat itu mulai Rivaldi potong kecil-kecil.

Setelah memotong kue menjadi beberapa bagian, Rivaldi mulai menyuapkannya kepada Jovanca. Begitu pula Jovanca, keduanya bergantian saling menyuapkan. Hari ini adalah hari yang paling bahagia bagi mereka berdua.

Namun, kebahagiaan Jovanca luntur saat dirinya teringat hasil check up kemarin. Dokter mengatakan bahwa penyakit kanker otak yang Jovanca derita, sudah memasukki stadium akhir. Jovanca sudah cukup lama menderita penyakit mematikan itu, mungkin ada kurang lebih tujuh bulan. Dan Rivaldi sendiri mengetahui hal itu.

"Val, aku mau ngomong serius sama kamu." Jovanca menatap Rivaldi lamat.

Salah satu alis Rivaldi terangkat. "Ngomong aja kali, emang ada hal penting apa?" tanyanya dengan penuh rasa penasaran.

Embusan napas kasar keluar dengan mulus dari indera penciuman Jovanca, berkali-kali gadis berusia delapan belas tahun itu menyiapkan dirinya agar bisa memberi tahu kabar buruk tersebut kepada Rivaldi. Mau tak mau, suka tak suka Jovanca harus bisa.

Jovanca menundukkan kepalanya, lalu menjawab, "Tapi kamu jangan marah, ya. Kemarin dokter bilang kalau penyakit kanker aku udah memasukki stadium akhir."

Mulut Rivaldi terkatup rapat saat mendengar penjelasan Jovanca. Jujur saja, ada rasa kecewa dalam diri Rivaldi. Karena pacarnya, tidak bisa menjaga kesehatan. Padahal, berkali-kali dokter sudah mengatakan bahwa Jovanca lebih baik bersekolah di rumah saja, atau dengan kata lain home schooling dan tidak boleh melakukan aktivitas yang berat.

Akan tetapi, Jovanca adalah gadis yang sangat keras kepala. Jovanca tetap sekolah seperti anak-anak sekolah lainnya. Dan yang lebih parah lagi, Jovanca mau dijadikan babu oleh kedua orang tuanya, sahabat, dan orang lain yang dekat dengannya.

"Kamu tenang aja, aku gak marah kok. Jangan pikirin masalah ini, ya. Supaya kamu bisa cepat sembuh." Lalu, Rivaldi mengangkat kepala Jovanca secara perlahan.

Jovanca menatap Rivaldi dengan tatapan sendu. "Makasih, ya. Kamu udah selalu ngerti sama kondisi aku. Kamu janji kan, akan selalu ada buat aku?"

Secara perlahan, Rivaldi menganggukkan kepalanya. Lalu, lelaki itu membawa Jovanca ke dalam pelukan hangatnya. Tapi, baru saja Jovanca merasakan kehangatan. Ponsel Rivaldi berbunyi, mengharuskan lelaki berusia dua puluh tahun itu segera mengangkatnya.

Rivaldi merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel kebanggaannya. Tertera di layar ponselnya bahwa Arina, Sang Mama yang menghubunginya. Rivaldi segera mengangkat telepon tersebut, takut terjadi sesuatu kepada Arina.

"Valdi, kamu cepat pulang ya. Ini ada tamu spesial buat kamu, jangan lama-lama ya!"

Sambungan telepon dimatikan secara sepihak oleh Arina. Wajah Rivaldi berubah menjadi muram, padahal ini adalah waktu yang seharusnya dia pakai untuk membuat Jovanca bahagia, agar gadis itu tidak memikirkan masalahnya.

avataravatar
Next chapter