1 BAB I Prolog

"Dasar istri tidak berguna, tak tahu diuntung!" hardik Sultan kepadaku.

PLAK!!!

Suara tangan yang mendarat di pipi kananku sangat memekakkan telinga, bahkan mengagetkan putri bungsuku hingga menangis sekencang-kencangnya. Si sulung pun segera menggendongnya dan membawa ketiga adiknya ke kamarnya.

Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami Sultan menamparku. Perubahan sikapnya yang selalu emosi dan bertutur kasar selama lima bulan ini sudah sangat mengejutkanku, bertambah terkejut lagi karena ia tega menamparku sekuat tenaga. Tanpa bisa kutahan air mataku jatuh berderai dan seketika itu juga fokusku kembali. Kurasakan pipiku mati rasa. Kuseka darah manis yang keluar dari sudut bibirku. Sakit dan perih tapi tidak juga mengalahkan rasa sakit dan perihnya hatiku.

Dalam pandanganku yang kabur karena menahan air mataku yang memaksa keluar, aku masih bisa melihat punggung suamiku yang berjalan meninggalkanku seorang diri di ruang tamu setelah puas menghardik dan menamparku. Tepat di depan pintu kulihat Agnes mengulurkan tangannya sembari tersenyum lebar kepada Sultan. Tanpa Sultan sadari Agnes mengerlingkan matanya padaku. Sultan pun meraih tangannya, menarik Agnes lebih dekat dengannya, melingkarkan tangan kanannya di pinggang Agnes dan bersama-sama keluar mengendarai mobil yang terparkir di depan teras.

Aku merasa sangat lelah, kakiku lemas hingga jatuh duduk tersungkur ke lantai. Hati dan pikiranku benar-benar hancur. Tak bisa kubayangkan bagaimana nasibku dan anak-anakku ke depannya. Apakah aku masih bisa bertahan dengan keadaan sekarang ini? Apakah anak-anak masih bisa tetap bahagia? Bagaimana diriku tanpa Sultan disampingku? Dan banyak lagi pertanyaan yang seketika muncul di kepalaku.

"Bunda, apa kau kesakitan? Biar Adit bantu bunda berdiri ya?" Aditya mendatangiku dan mencoba membantuku berdiri. Matanya merah dan berkaca-kaca. Dengan cepat ia menundukkan kepalanya saat mata kami beradu. Entah mengapa kurasakan genggaman tangannya begitu kuat dan hangat di lenganku, seakan ingin menunjukkan bahwa ia tidak terima dengan perlakuan ayahnya kepadaku.

"Bunda duduk dulu ya disini. Adit ke dapur sebentar. Adik-adik lagi bermain di kamarku," ujarnya lagi sambil berlalu ke dapur.

Tak berapa lama Adit pun datang dengan kantong kompres yang sudah ia isi pecahan es batu di tangan kirinya dan tangan kanannya memegang segelas air putih. Kantong kompres ditaruhnya di meja di depanku. Ia lalu mendekatiku dan memberi gelas berisi air kepadaku. Sesaat kupandangi wajahnya dengan sendu kemudian meneguk air di tanganku hingga habis. Ada sedikit ketenangan mengalir bersamaan dengan air yang membasahi tenggorokanku. Kekuatanku juga berangsur-angsur pulih.

Melihatku sudah menghabiskan minum, Adit lalu mengambil kantong kompres dan mulai mengompres pipiku. Saat kantong kompresnya menempel di pipiku, aku meringis karena tak tahan. Adit mengangkat tangannya ragu-ragu dan bertanya, "Apa rasanya sakit, bunda? Bersabarlah, Adit akan menekannya pelan-pelan biar bengkaknya turun dan tidak sakit lagi."

Kadang aku merasa putraku ini terlalu memaksakan diri untuk menjadi pria dewasa di usianya yang masih kecil. Ketika anak-anak seusianya merengek minta mainan, dia dengan telaten membantuku mengurus adik-adiknya dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Dia anak yang sangat cerdas. Karena kecerdasannya itu dia diijinkan melompati dua tingkat kelas sehingga sekarang dia berada dua tingkat diatas teman-teman seusianya. Dia lebih suka menggunakan bahasa formal dan jarang menunjukkan ekspresinya. Bahkan tidak pernah mengeluh walaupun lelah mengurusi adik-adiknya. Mungkin karena keadaan lima bulan ini yang cukup mengganggunya sehingga dia jadi begitu protektif kepada adik-adiknya, perubahan sikapnya pun menjadi lebih dingin dan kurang ceria seperti sebelumnya. Hal ini membuatku sangat khawatir padanya.

"Bunda istirahat di kamar ya biar tenang. Adit yang akan mengurus adik-adik. Jangan lupa oleskan salep pereda nyeri di pipi Bunda ya." Suara Adit menyadarkanku dari lamunan. Aku tersenyum dan mengelus lembut rambutnya, bersiap ke kamar untuk beristirahat, "Terima kasih ya, Adit." Dia membalasku dengan anggukan dan senyum manisnya.

Kubuka pintu kamarku, duduk di kursi meja riasku, mengambil salep pereda nyeri di laci meja dan mengoleskannya ke pipiku. Seketika air mataku menetes saat jari-jariku menyentuh pipiku. Gambaran pengkhianatan suami dan sepupuku terlintas kembali dan berputar-putar dalam otakku. Begitu tega mereka membohongi dan membodohiku selama ini. Entah berapa liter air mata yang sudah kukeluarkan dan berapa banyak luka dihati yang tergores. Yang aku tahu bahwa lukaku belum kering tapi muncul lagi luka baru kemudian disirami air garam. Perih seperih-perihnya.

Aku berdiri dan berjalan menuju ranjangku. Berbaring dan mencoba menutup mataku. Tapi entah sudah berapa lama mataku tidak juga mau terpejam. Pikiranku kalut dan mencoba memikirkan hal terburuk yang akan kami hadapi. Posisiku di rumah ini sudah tidak lagi dianggap. Mertuaku selalu menyalahkanku atas perubahan sikap suamiku, tidak lagi patuh pada suamiku dan tidak lagi taat pada aturan-aturan keluarga besar Ondofolo. Suamiku pun menyalahkanku karena selalu berdebat dengannya bila keputusan yang diambilnya kurasa keliru.

"Aku menyesal menerimamu jadi menantuku! Bibit, bobot, bebet memang lulus tapi patriarki saja tidak paham. Bodoh kamu! Kamu pikir karena sudah jadi menantu makanya kamu bebas kasih pendapat dan atur-atur kami?! Kamu tidak pantas jadi bagian keluarga besar Ondofolo!" Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Tak kusangka hanya karena mengeluarkan pendapat dan menolong adik iparku, hidupku kini semenderita ini. Bukan saja aku, tapi juga anak-anakku.

Patriarki, itulah paham keluarga Ondofolo ini. Patrilinear adalah harga mati yang harus dijunjung tinggi. Ya, itu kata mertuaku. Sayangnya bagiku mereka terlalu fanatik akan itu. Para pria diwajibkan menuntut ilmu setinggi mungkin, tapi tidak dengan para gadis. Jangankan untuk bersekolah tinggi, mengeluarkan pendapat saat ada perselisihan dalam keluarga pun tidak dibenarkan. Ah, yang aku lihat adalah hanya pendominasian kaum Pria. Segala sesuatu diputuskan menurut pemikiran dan kehendak mereka. Ketika keputusan telah dibuat, tak ada lagi yang bisa mengubahnya dan tidak dapat diganggu gugat. Seperti kehidupan kerajaan mungkin.

avataravatar
Next chapter