webnovel

RENCANA LIBURAN KE BALI, GRATIS PULA!

Raya sontak terbangun di tengah tidurnya. Tangannya mengucek mata dan melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi. Siapa yang menelepon malam-malam begini.

Dilihatnya layar ponsel yang berpendar. Ternyata dari Claytone! Ada apa dia menelepon pagi buta seperti ini?

"Halo, kenapa Clay? Ada apa meneleponku?" tanya Raya sembari menguap, tak kuat menahan kantuk.

"Ray, maaf aku mengganggu malam-malam. Tapi aku harus menyampaikan sesuatu padamu." Dia terdiam membuat Raya malah diberondong banyak pertanyaan.

"Menyampaikan apa sih? Bicaralah dengan cepat, kamu mau apa?" Raya jengkel sekali, apa tidak bisa dibicarakan besok saja? Tak bisakah menunggu sampai matahari terbit!

"Ray, aku menyetujui keinginanmu untuk meminta putus dariku. Aku ingin kita putus. Terima kasih sudah memberikan warna dalam hidupku selama tiga tahun ini. Minta maaf jika ada kesalahan selama ini. Aku ingin kita putus secara baik-baik."

"Clay, bagiku tidak ada putus yang baik-baik. Jika kita masih dalam keadaan baik saja dan tidak ada masalah apa pun, maka saat ini kita masih bersama-sama. Tapi masing-masing dari kita sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini, dan kita harus menerimanya."

"Ray, maafkan aku telah menyakitimu. Jujur, aku sampai detik ini masih mencintaimu. Tapi ada hal lain yang harus aku pikirkan." Nada sedih keluar dari gaya bicara Clay.

"Sudahlah Clay. Jangan dibahas lagi. Berbahagialah dengan pilihan hidupmu. Selamat tinggal." Raya buru-buru menutup teleponnya. Antara sedih ataukah harus bahagia, dia tak tahu lagi. Mungkin juga kedua-duanya. Sedih karena harus mengakhiri tiga tahun perjuangan mempertahankan cinta yang menyulitkan. Dan bahagia karena jalan untuk memulai hubungan dengan Devan semakin terbuka lebar.

Raya terlanjur bangun dari tidurnya dan tak bisa memejamkan mata lagi. Dia iseng mengirimkan pesan pada Devan.

'Dev, apakah kamu sudah tidur?'

Pesan terkirim. Raya yakin dia tidak akan memperoleh balasan dari Devan. Namun beberapa menit berikutnya, malah Devan telepon.

"Ray, kamu tidak tidur, ya. Pasti memikirkan aku?" Selalu dan selalu percaya diri, Devan mudah sekali mengucapkan kata-kata yang membuat Raya ingin menoyor kepalanya.

"Hm, mungkin. Terus kenapa kamu juga belum tidur? Memikirkan aku juga?"

"Salah satunya karena kamu. Tapi lebih banyak karena pekerjaan yang menumpuk. Harus diselesaikan segera."

"Pekerjaan apa? PR sekolah?" tanya Raya masih sambil menguap.

"Aku bukan tipe pelajar teladan yang memikirkan PR hingga tidak tidur, Sayang. Ada pekerjaan proyek baru pengembangan aplikasi permainan. Sudah seminggu ini aku menerima tawaran dari sebuah perusahaan. Uangnya lumayan besar untuk mengajakmu liburan sebulan lagi pas libur sekolah."

Raya menajamkan pendengarannya. "Kamu mau mengajak aku liburan?"

"Iya, aku bahkan sudah booking tempatnya? Dan tak bisa untuk dibatalkan. Jadi siap atau tidak, aku akan menculikmu dan mengajak terbang ke Bali. Sudah lama aku tidak ke sana."

"Ya Tuhan. Kamu serius mau mengajakku ke sana? Tapi pasti mahal sekali." Raya panik saat Devan mengajaknya liburan ke Bali. Tempat yang sedari dulu ingin dia kunjungi. Namun Raya masih mempertimbangkan semua hal. Bagaimana dengan uang transportasinya, bagaimana kalau sampai keluarga Devan sampai tahu tentang liburan ini? Bisa kena masalah nanti di sana.

"Sayang, masalah biaya semua aku yang tanggung. Kamu tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Bahkan pengeluaranmu pakai uangku saja. Kamu hanya membawa dirimu untuk menemaniku. Simple 'kan?"

Intinya dia akan liburan ke Bali secara gratis. Wah, sejujurnya Raya suka jika ada hal-hal berbau gratis. Tapi bagaimana kalau liburannya kali ini ditemani sang pacar. Ah, tak bisa terbayangkan. "Tapi bagaimana nanti jika di sana kita bertemu dengan orang-orang yang kita kenal? Lalu kita harus menjelaskan bagaimana?"

"Ray, tenang. Rileks. Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak. Aku yang akan mengatasi semuanya. Aku tak akan membiarkanmu bingung."

Raya senyum-senyum sendiri. Rasanya ingin sekali segera bertemu dengannya dan memeluknya erat. "Iya, aku kalau begitu. Wah, senang sekali bisa liburan bersamamu. Aku tidak sabar."

"Sabar, Sayang. Ini sama saja kita sedang berbulan madu ya." Devan membayangkan dirinya berada satu kamar bersama Raya, lalu mereka menghabiskan waktu berdua.

"Dev, jangan harap aku mau sekamar denganmu. Kita belum muhrim. Jadi jangan coba-coba berpikir untuk tidur dalam satu kamar."

Semangat Devan meredup seketika. Bayangannya bisa tidur berdua bersama pacar harus gagal total. "Em, jadi aku harus booking hotel ulang? Apa tidak bisa kita tidur satu kamar begitu? Kamu di ranjang dan aku di sofa. Atau kita jadi satu ranjang, aku ikhlas."

"Aaa...! Apa? Aku tak bisa tidur dengan orang, Dev. Aku sudah terbiasa tidur sendiri. Lagi pula kita belum syah jadi suami istri. Jadi lebih baik tidurnya terpisah saja."

Devan terpaksa menuruti saja keinginan Raya, daripada liburannya terancam gagal. "Baiklah, aku akan memesan dua kamar yang bersebelahan. Dah, puas? Pokoknya kamu harus ikut liburan kali ini. Kalau sampai gagal, aku benar-benar akan menculikmu."

"Iya, bawel. Dev, kamu tahu tidak? Tadi baru saja kakakmu meneleponku," aku Raya tak mau menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi padanya tadi.

"Ha? Mau apa dia telepon kamu pagi-pagi buta. Kalian merencanakan mau balikan lagi? Atau kamu berniat mau bermain di belakangku?"

"Astaga! Bisa diem dulu nggak? Kenapa harus ngegas begitu sih? Kalau aku berniat untuk main di belakangmu, pastinya aku tak memberitahu bahwa Claytone meneleponku."

Devan langsung takut saat Raya mulai balik memarahinya. "Iya, Sayang. Maafkan aku. Tadi emosi saja mendengar Clay berani menghubungimu lagi."

"Makanya kalau ada orang ngomong itu didengerin. Jangan langsung marah. Dia itu tadi bilang minta putus. Katanya kami sudah tidak bisa bersama lagi."

Devan diberondong rasa ingin tahu. "Lalu apa yang terjadi? Kamu jawab apa?"

"Aku jawab iya. Dan kami resmi putus sekarang. Memang dari awal 'kan aku yang meminta putus terlebih dahulu. Sekarang kita aman. Bisa bebas berhubungan kecuali di lingkungan sekolah."

"Aku senang mendengar hal itu. Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi cinta kita. Sayang, kamu jangan lagi menanggapi Pak Wilson, guru olahraga itu sepertinya suka padamu. Dia selalu menunggumu di depan kelas."

Raya berdecak kagum. Bagaimana Devan tahu tentang hal itu? Padahal bisa dipastikan hanya dia, Pak Wilson, dan beberapa murid saja yang tahu kebiasaan guru olahraga itu ketika menunggunya di depan kelas dengan maksud yang dia tak dimengerti juga.

"Jadi kamu tahu Pak Wilson sering menungguku selesai mengajar? Dapat informasi dari mana?"

Ternyata pacaran dengan murid SMA mempunyai tantangan tersendiri. Kecemburuan adalah faktor utama penyebab mereka sering bertengkar. Raya harus lebih bersabar lagi. Dia tak mau terpancing emosi karena ini sudah menjadi risikonya memacari pria yang berumur jauh di bawahnya.