1 Lantunan Azan

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, Haura banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk mencari referensi skripsinya. Tidak jarang pula ia di kampus sepanjang hari hanya untuk menunggu dosen pembimbingnya yang sering kali memberi harapan palsu.

Berbagai buku dengan judul yang berbeda-beda, tapi memiliki isi yang hampir sama memenuhi mejanya. Kadang Haura hanya menatap buku-buku itu dengan tatapan sendu, berharap pikirannya yang kalut itu akan segera hilang, dalam artian skripsinya sudah selesai.

"Semangat Haura, tinggal dikit lagi itu," ucap Intan dengan nada santainya. Gadis berambut ikal itu tiba-tiba saja datang ke perpustakaan.

"Katanya hari ini nggak ke kampus, tapi kok udah disini aja?"

Hari ini memang tidak ada jadwal Intan ke kampus, tapi karena dosen pembimbingnya meminta ia bimbingan skripsi, mau tidak mau, ya, Intan harus ke kampus.

"Kamu Ra, kayak nggak tau Pak Hasan aja." Terdengar suara Intan yang lesu.

Haura tertawa cekikikan melihat wajah sahabatnya itu. "Semangat Intan, tinggal dikit lagi itu." Haura mengulang kalimat yang di lontarkan Intan kepadanya tadi.

Haura memang sedikit tertinggal dari Intan. Bukan karena dia mahasiswi yang tidak cerdas bahkan ia adalah salah satu mahasiswi berprestasi di Jurusan Psikologi bahkan di Universitasnya. Hal itu di karenakan satu bulan kemarin ia sibuk mengurus berkas-berkas beasiswa S2 nya.

Impian Haura untuk melanjutkan studi S2 di Jepang memang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari, walaupun waktunya masih lama. Ia harus bisa membagi waktu antara belajar test untuk S2 dan menyelesaikan skripsinya, apalagi dosen pembimbingnya sangat susah di temui. Hal itu berakibat pada keterlambatan lulus pada waktunya. Namun, Haura tetap berpikir positif bahwa ia akan lulus tepat waktu.

"Gimana Ra, udah cerita?"

Haura menghela nafas Panjang. "Belum Tan, aku bingung harus menjelaskan dari mana. Ayah sama Bang Firhan pasti nggak mengizinkan aku untuk lanjut studi di luar negeri."

"Udah pernah di tanya?" Intan memastikan kekhawatiran Haura.

"Belum," jawabnya.

Intan menerbitkan senyum manisnya. "Kalau belum di coba siapa yang akan tahu. Kadang menerka-nerka itulah yang membuat khawatir berlebihan lo," tegas Intan dengan kata-kata bijaknya yang selalu menenangkan batin Haura.

Allahuakbar Allahuakbar..

Suara Azan menggema dari dalam perpustakaan. Haura dan Intan menyelesaikan aktivitasnya dan bergegas menuju masjid kampus. Sebagai seorang Muslimah Haura tidak pernah meninggalkan sholatnya sekalipun ia sibuk, karena baginya sholat itu sudah menjadi kebutuhan.

"Ra, aku salut sama kamu. Demi sholat kamu rela meninggalkan semua aktivitas. Kalau nggak ada kamu aku sering banget telat sholat bahkan emang sengaja menunda."

"Aku yakin kalau kamu udah ngerasain nikmatnya dekat sama Allah, kamu juga nggak akan pernah mau ninggalin sholat," ungkap Haura dengan lembut.

"Makasih ya, Ra."

Ada pertanyaan yang bersarang di kepala Intan saat mendengar azan yang sedang berkumandang. "Ra, dari awal kita kuliah disini, kamu tau nggak siapa yang melantunkan azan merdu ini? tanya Intan.

Haura menanggapi ucapan Intan dengan senyuman karena ia hendak berwudu dan Intan paham. Haura tidak akan berbicara ketika sedang berwudhu sampai ia sholat, karena ketika tidak berbicara saat berwudhu sampai sholat, siapapun akan mendapat kesempatan di hapuskan dosa-dosanya.

Setelah selesai sholat Haura akan kembali ke perpustakaan untuk melanjutkan skripsinya. Sedangkan Intan akan ke ruangan dosen untuk menemui Pak Hasan. Namun, di saat mereka ingin melangkahkan kakinya, mata Intan tertuju ke arah samping teras masjid.

"Ra, kamu tahu siapa cowok itu? Perasaan kalau kita selesai sholat selalu ketemu dia di teras masjid."

"Apa kesan pertama kamu ketika mendengar lantunan azan tadi? Haura balik bertanya dengan pertanyaan yang berlawanan.

"Merdu," balas Intan singkat.

"Bagaimana jika kamu bertemu dengan pelantunnya?"

"Aku akan sangat berterima kasih kepada Allah karena sudah menjawab pertanyaan ku tentang siapa orang di balik suara merdu itu," ucap Intan dengan harapnya.

Haura mengangguk pelan kemudian mejawab. "Kalau begitu sekarang berterima kasihlah kepada Allah karena sudah mempertemukan mu dengan orang yang sering mengumandangkan azan di masjid Al-Kahfi ini," ucap Haura.

"Maksudmu dia," tunjuk Intan secara spontan kearah mahasiswa yang sedang mengikat tali sepatu di teras masjid.

Haura langsung membawa Intan menjauh dari masjid. Suara Intan yang keras tadi berhasil membuat mahasiswa itu menoleh kearah mereka. Haura yang cenderung pemalu membuat hatinya gundah gulana. "Intan, volume suaranya di kecilin dong."

"Maaf Ra, keceplosan. Tapi, yang kamu bilang tadi bener atau bohong?"

Intan masih tidak percaya dengan ucapan Haura, walaupun ia tahu Haura tidak pernah berbohong. Bahkan untuk masalah sepele. Haura di kenal dengan gadis yang jujur, baik, cantik dan cerdas. Apalagi setelah ia menggunakan hijab sejak 6 bulan yang lalu, aura inner beautynya keluar.

Sering kali orang menggambarkan Haura dengan sebutan "The Perfect Girl" Namun, terlepas dari itu semua Haura tetaplah manusia yang punya kelebihan dan kekurangan.

Haura dan Intan berpisah di tengah persimpangan jalan. Sebelum berpisah tentunya mereka saling menguatkan satu sama lain. Apalagi Haura, dia tidak ada henti-hentinya menyemangati sahabatnya itu.

"Jangan lupa bismillah dulu sebelum ke ruangannya," ujar Haura.

"Kamu juga, semoga cepat ketemu jodohnya. Aamiin Ya Allah."

Haura menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Intan. Hampir setiap mereka bertemu pasti Intan tidak lupa mendoakan Haura seperti itu. Jadi, hal itu sudah biasa di telinga Haura.

Haura memasuki ruangan tempat penyimpanan skripsi mahasiswa yang sudah lebih dulu lulus. Skripsi-skripsi itu disusun dengan rapi berdasarkan tahun kelulusan dan jurusannya, jadi mudah untuk di cari. Biasanya, Haura akan membaca beberapa saat lalu mengetik di laptopnya jika sudah ada yang terlintas di pikirannya.

Siapa sangka beberapa menit kemudian fokusnya pecah saat Haura teringat dengan ucapan Intan waktu mereka berdua di perpustakaan tadi. Jika tidak mencoba maka tidak akan dapat jawaban. Haura membulatkan tekadnya untuk mengatakan yang sejujurnya kepada ayah dan kakaknya nanti.

"Jika di mulai dengan bismillah tidak akan berhenti di tengah-tengah," ucapnya.

Hampir satu jam Haura berkutat dengan laptop dan buku-buku. Perutnya pun sudah meminta untuk di isi. Apalagi jam 4 sore nanti ia harus mengajar anak-anak yang tidak bisa sekolah karena keterbatasan biaya. Jadi, ia harus mempersiapkan energi yang full untuk mengajar.

Brukk…

Tubuh Haura tidak sengaja menabrak seseorang. Buku-buku yang di pegangnya ikut jatuh ke lantai.

"Astagfirullah, Maaf aku kurang fokus," ucap Haura sembari memungut buku-bukunya yang jatuh.

"Tidak apa-apa? Aku yang seharusnya meminta maaf karena melihat ponsel sambil berjalan."

Haura berhenti sejenak memungut buku setelah mendengar suara orang yang ia tabrak. Ternyata ia menabrak seorang laki-laki. Ia mulai panik karena merasa tidak asing dengan suara orang yang di depannya itu.

"Sekali lagi maaf."

Dengan cepat Haura memungut buku yang berjatuhan lalu menaruhnya di rak buku. Sebagai pribadi yang pemalu Haura tidak melihat wajah orang yang ditabraknya itu.

Akhirnya Haura bisa menghela nafas lega setelah meletakkan buku di tempat semestinya.

"Kamu baik-baik saja?"

"Astagfirullah." Haura kaget bukan kepalang melihat orang yang dia tabrak tadi tiba-tiba ada di depannya.

avataravatar
Next chapter