6 Bisa Jadi Dia Terlahir Buruk Rupa

Susi menggelengkan kepala karena tak habis pikir dengan tingkah putrinya yang sangat kekanakkan padahal usianya udah tujuh belas tahun.

Hening itu anak yang pintar dan cerdas. Di sekolah selalu juara satu dan sering memenangkan berbagai lomba. Baik dalam bidang pelajaran ataupun ekstra kulikuler.

Sebenarnya bangga punya anak kaya Hening tapi yaitu kalo udah menyangkut Dimas, jadi malu-maluin. Kekaguman tentangnya langsung sirna, berganti kesal yang haqiqi.

"Abah itu jangan terlalu manjain Hening, liat tingkahnya masih kaya anak Tk." Omel ibu sambil meletakkan gorengan singkong dan kopi pait kesukaan suaminya.

"Kalau bukan Hening yang abah manjain lalu siapa lagi? Ibu? Memangnya mau abah manjain?"

Susi berdecak, "selalu gitu. Ibu serius, Bah!"

"Loh, abah juga serius. Kalau ibu mau di manja, abah janji ndak bakal manjain Hening lagi." Banyu terkekeh kecil saat melihat wajah istrinya yang kesal.

"Hening anak yang manis dan menggemaskan, siapa yang ndak sayang sama dia? Bahkan penduduk desa semuanya sayang, kecuali keluarga pak Bimo," ucap Banyu sambil terkekeh.

Bukannya keluarga tersebut tak suka sama Hening, hanya saja mereka risih dengan sikap Hening yang memang kelewatan menurutnya. Sering dia nasehati anak gadisnya itu, tapi mau bagaimana, namanya juga remaja yang beranjak dewasa.

Senang sama lawan jenis itukan biasa selama tidak kelewat batas. Nanti semakin dewasa juga sadar kalau apa yang di lakukannya salah.

"Iya, tapi kita harus tegas sama dia. Lihat akibat dari tingkahnya yang seperti itu. Den Dipta jadi korban."

Banyu menarik napas pelan lalu bertanya, "ibu udah siapin makan malam Aden?"

Susi mengangguk, "udah. Makan sekalian aja." Suaminya mengangguk lalu masuk ke dalam rumah.

Banyu mengetuk pintu kamar Dipta dan mengajaknya makan malam. Pemuda itu langsung keluar dan melihat menu yang tersaji di atas tikar anyaman.

Makanannya sangat jauh berbeda dari apa yang tersedia di rumahnya. Kekesalannya semakin memuncak karena menu yang tersaji sama sekali bukan seleranya.

Tempe sambel dengan ikan asin goreng plus sayur bayam merah rebus.

"Saya nggak lapar." Setelah mengucapkan itu dia kembali masuk ke dalam kamar dengan sedikit membanting pintu. Susi menatap suaminya, pria itu mengangguk kemudian duduk lalu menyantap makan malamnya.

Juragannya mengirim cucu bungsunya kemari agar pemuda itu belajar cara menghargai apa yang tersaji untuknya. Oleh karena itu Banyu akan mendidiknya, memberi tau bahwa dunia berputar tidak sesuai seperti apa yang di inginkannya.

Susi menarik napas frustasi. Satu Hening saja pusing setengah mati dans sekarang harus di hadapkan dengan Dipta lagi? Sungguh mau mati rasanya.

Tapi dia tidak boleh mengeluh, keduanya anak yang luar biasa dan dia harus menghargai keberadaan mereka.

Ya udah lah, Susi bisa apa selain menikmati.

**

"Jadi dia cucunya Juragan pak de?!" Seru Nur setelah mendapat penjelasan dari Hening. Untuk mendapatkan penjelasan itu, dia harus traktir Hening telur gulung Mas Joko.

Hening nggak mau kasi informasi dengan percuma, semua ada harganya. Sekarang mereka lagi di langgar, seperti biasa habis sholat di lanjutkan dengan ngaji dan sholawatan.

Sudah jadi kebiasaan turun menurun. Di langgar nggak ada guru tetap, sistemnya yang tua ngajarin yang muda. Estapet gitu lah, dan Hening si paling bisa semuanya kecuali main nasyid.

Gadis itu nggak punya bakat main gendang atau apapun, terlebih nyanyi. Sumpah suaranya bikin orang sak eek. Dan untungnya dia nggak sibuk mau jadi biduan desa.

Hening ngangguk, "iya, tapi sifat mereka beda. Kaya bumi dan langit, juragan baik hati dan tidak sombong. Tutur katanya bijak dan teratur, siapa yang dengar pasti hatinya adem. Beda hal sama cucunya ini, mungkin karena otaknya kosong. Kebanyakan makan keju, jadinya bodoh," ucap Hening asal.

"Bukannya makan keju makin pintar?" Tanya Nur lagi.

"Itu kalo orang, beda kalo monyet kaya dia."

"Mana ada monyet yang ganteng!" Sela Nur dengan raut wajah protes.

"Kok bela? Suka ya?" Tuduh Hening yang masih asik makan telur gulung. Jajanan kesukaannya, pokoknya tiap malam wajib beli dua ribu, walau cuma dapat dua tusuk jadilah, yang penting nggak ngiler liat orang makan.

Nur tersipu, "kayanya iya. Dia tampan dan menawan seumur hidup belum pernah liat makhluk kaya dia. Apalagi pas rambutnya basah, sumpah gantengnya sampe buat aku pengen nikah muda. Tapi, nikahnya sama dia."

"Masa segitunya? Aku liat justru kebalikkan darimu. Jangan ketipu sama tampang apalagi anak kota, kamu tau sendiri kalau mereka senang perawatan yang bisa ngerubah muka itu, apa namanya?"

"Operasi plastik?" Tebak Nur. Dia tau karena baru-baru ini mereka pernah membahas anak kota yang suka perawatan mahal sampe ngubah bentuk dan ukuran tubuh.

Mereka tau itu gara-gara baca majalah yang di bawa Bayu dari kota pas pemuda itu ngunjungin saudara ibunya yang menikahkan anaknya beberapa waktu lalu.

"Nggak mungkin dia operasi, Juragan abahmu kan tampan walau udah tua gitu." Bela Nur.

Yang di panggil Yayuk itu ternyata namanya Indah, dia menyela dari tempatnya duduk yang hanya berjarak beberapa jengkal, "aku setuju sama Nur, juragan pak de emang ganteng. Penduduk desa juga ngakuin itu, udah pastilah keturunannya nggak jauh beda. Dan pemuda yang ada di rumahmu itu pasti mukanya asli."

"Bisa jadi dia terlahir buruk rupa terus ubah bentuk wajah, malu karena mukanya beda dari anggota keluarga yang lain." Pokoknya dimata Hening, pria itu tercela.

Nggak ada bagus-bagusnya.

"Hus! Jangan ngomong gitu. Jatuhnya fitnah kalau itu nggak benar." Indah mengingatkan.

"Entahlah ... malas kali kalo bahas dia. Aku kesal, kok bisa-bisanya juragan ninggalin dia di rumah aku? Nggak tau apa rumah ampir roboh gitu? Di tempati tiga orang aja rasanya sesak, tambah satu lagi yang modelannya begitu pula. Buat aku mau teriak dan bilang, enyahlah dari rumahku!!!" Jerit Hening di ujung kalimat dengan suara yang amat pelan.

Nur dan Indah berpandangan lalu mata mereka membelalak sempurna seolah sama-sama menyadari sesuatu, melihat reaksi kedua temannya yang berlebihan Hening berkata, "apa yang kalian pikirkan terlalu berlebihan. Mana mungkin tujuan juragan ngantar dia buat jadi anak angkat abah. Kasi makan satu anak aja cengap-cengap apalagi dua, mustahil abahku terima. Apalagi anak buangan kaya dia."

Nur dan Indah cuma bisa ngelus dada.

"Entahlah, Ning!" Ucap keduanya yang mulai jengah menghadapi Hening Permata Hati, gadis dengan sejuta pemikiran absurdnya.

"Jangan panggil aku dengan nama itu! Demi cintaku pada Mas Dimas, aku nggak suka!" Kesal Hening dengan muka bersungut-sungut.

Panggilan itu angker menurutnya, terlalu ndeso lebih tepatnya. Dia emang gadis desa tapi nggak perlu di pertegas juga.

"Eh ... Kang Dimas." Sapaan Bayu langsung menarik perhatian Hening. Gadis itu dengan secepat kilat membuang plastik berisi saus olahan yang gak sehat, namanya jajanan murah ya gitu lah.

Mulutnya yang beselemak minyak dan saus di elapnya pakek mukena Nur. Gadis lugu itu nggak sadar kalo mukenanya jadi tisu dadakannya Hening.

Merasa udah cantik, Hening berbalik sambil tersipu-sipu malu. Detik berikutnya semua orang terbahak karena sosok pujaan hatinya nggak ada.

Hening berkacak pinggang sambil menatap kesal Bayu, "bohong ya?"

Belum sempat Bayu jawab sendal jepang Hening melayang indah lalu mendarat sempurna di jidat Bayu. Pemuda itu menjerit histeris sambil megangin dahinya.

"Sukurinnnnnn ... makanya jadi orang jangan usil. Gara-gara kamu jerit Mas Dimas, aku buang plastik yang masih ada telur gulungnya!" Kesal Hening setengah idop.

Pekara itupun emosi.

avataravatar
Next chapter