webnovel

Jiyuu: Labirin Seribu Dunia

Rumahnya dilalap kobaran api dan Marnie bersumpah itu bukan salahnya. Agen A-8989 atau Riku, lelaki berseragam tentara masa penjajahan, menyangkal. “Kau sudah mati dan inilah hukumanmu.” “Aku belum mati.” “Terjebak di dunia yang kau sebut neraka, tapi bersi keras kalau masih hidup?” “Bukannya kau sendiri yang bilang, kalau aku mungkin masih hidup karena bisa keluar masuk semua dunia alternatif itu sesukaku?” “Tetap saja,” Riku meledek, “Kau terkurung di Labirin Dunia ini bersamaku.” “Tapi kau akan membantuku keluar, kan?” “Asalkan kau membantuku membebaskan seribu jiwa yang bersalah dari labirin ini terlebih dahulu.” Marnie membuka salah satu pintu di lorong rumah sakit itu. “Siap?” Tatapan Riku menajam saat mereka memasuki ruangan gelap di baliknya. “Aku akan mencarimu.” “Sampai jumpa di dunia yang baru.” Sesaat kemudian, Marnie membuka mata dan dia ada di dunia alternatif yang tidak dikenalinya – dalam tubuh yang bukan miliknya. Tapi itu tidak masalah, bahkan jika bulan di atasnya retak dan perlahan runtuh sekalipun. Riku pasti menemukannya. Karena mereka berdua akan membebaskan jiwa bersalah yang terperangkap dalam Labirin Dunia. Perlahan tapi pasti, keduanya menjadi dekat. Namun, akankah mereka tetap bersama, bahkan jika Marnie mengetahui rahasia kelam di balik kematian Riku dan peyebabnya menjadi agen Labirin Dunia? Akankah Marnie hidup kembali dan meninggalkan Riku selamanya? ーーー #WSA2022 #transmigrasi #romance #fantasy #isekai #adventure #drama #love #mystery #death #alternateuniverse #dunialain #cintaabadi #perjanjian #fatedlove

restlessmuffin · Fantasy
Not enough ratings
12 Chs

Semerah Langit

Satu bilah panjang. Mengkilap dengan cahaya matahari terik pada langit semerah darah. Memamerkan ketajamannya.

Akan betapa mudahnya bagi Riku untuk menghunus pedangnya. Dengan sekali tebasan, dada Marnie pasti robek. Atau lehernya akan putus.

Dan itu akan menjadi akhir kisahnya.

'Eh, tunggu dulu.'

Marnie keluar dari mobil taksi dan menegakkan diri. Kedua tangannya mengepal, mencoba menunjukkan nyalinya yang tadi menciut. "Kau tidak bisa membunuhku. Kau bilang aku sudah mati. Dasar bodoh."

Riku menggeram. Genggamannya semakin kuat, terlihat dari buku-buku jari yang memutih. Ah, mungkin Marnie tidak perlu mengumpatnya barusan.

"Kau tidak bisa membunuh orang yang sudah mati!" Marnie asal berteriak, meski si tentara Jepang itu juga tidak menghentikan langkahnya mendekat.

Tidak ada orang yang keluar dari mobil. Bahkan, sopir taksi yang tadi ditumpanginya dan terdengar baik di awal tadi hanya menoleh dan menampilkan wajah bingung pada kedatangan Riku.

"Mungkin aku tidak bisa membunuhmu," dia yang memegang katana tersenyum jahat, "Tapi aku bisa menyakitimu."

Marnie meneguk ludah. Itu benar. Tapi, "Kau pikir orang yang sudah mati bisa merasakan sakit?"

Riku menyeringai lebar sembari mempercepat langkah kakinya. "Mari kita buktikan."

Perempuan yang kini berpenampilan seperti wanita karir itu terkesiap. Dia membalikkan diri dan berlari menjauh. Sayang, dia ternyata memakai sepatu hak tinggi. Sesuatu yang tidak pernah dipakainya seumur hidup, mana mungkin langsung dikuasainya begitu dia mati.

Marnie kehilangan keseimbangan. Kakinya sakit, pasti kesleo.

Riku benar. Mungkin dia memang sudah mati, tapi dia masih bisa merasakan sakit. Hal itulah yang membuat kedatangan si tentara Jepang dengan pedangnya semakin mengerikan bagi Marnie yang kini terduduk di jalan tol penuh dengan kendaraan dan tanpa seorang pun yang menolong.

"Berhenti!"

Seseorang berteriak, menghentikan Riku yang kini menoleh ke sumber suara dengan seringai yang memudar. Marnie mengikuti arah pandang Riku dan mendapati sosok yang akan menjadi penolongnya.

Oh.

Itu pemuda yang tadi memukulnya.

"Singkirkan pedangmu atau aku lapor polisi!"

Riku terkekeh geli, membuyarkan harapannya agar tidak ditikam saat itu juga. Dengan santai, Riku menunjuk pemuda itu dengan ujung katana yang tajam. "Diam atau kutebas juga lehermu."

Marnie bergidik ngeri.

Pemuda itu memang menyalahkan dan menamparnya tadi, sebelum dunia ini di-reset kembali. Tapi, hal itu tidak membuat Marnie lantas ingin membiarkannya disakiti oleh si tentara Jepang. Riku adalah urusannya.

Meski begitu, pemuda itu tidak gentar. "Majulah kalau berani!"

Hal itu seperti sebuah undangan untuk Riku menancapkan pedangnya pada perut si pemuda.

Dan memang hal itulah yang terjadi.

Marnie terkesiap melihat betapa gesitnya Riku bergerak dan dalam sekejap membuat pedang itu menembus tubuh pemuda yang tadi menamparnya. Lelaki dengan seragam pasukan masa penjajahan itu kemudian menarik kembali gagang katana, membuat bilahnya mengkilap dan meneteskan warna semerah langit di atas mereka.

Darah segar mengucur.

Kedua tangannya menutup mulut. Agar tidak berteriak, juga tidak memuntahkan isi perutnya keluar.

Ini adalah kebrutalan yang Marnie saksikan dengan mata kepalanya sendiri untuk pertama kali.

"Ja- jangan… argh!" pemuda itu terjatuh. Kedua lututnya menghantam beton pada jalan tol yang sesak oleh kendaraan tak bergerak. Sedetik kemudian, tubuhnya tergeletak. Samar-samar, Marnie mendengar kalimat terakhirnya. "… jangan… sakiti dia…"

Rasa takut yang hebat menyergapnya. Dadanya sesak dan dia pikir kedua kakinya telah berubah menjadi jeli. Tidak berguna. Namun, pemuda itu seolah mempertaruhkan nyawa untuknya. Meski dia tahu kalau pemuda itu juga sudah mati, sama seperti apa yang Riku katakan mengenai dirinya.

Tapi, bukan Marnie namanya kalau hanya bisa meratapi kenyataan.

Didorong keputusasaan, Marnie melepas kedua sepatu hak tinggi yang dipakai tubuh barunya dan melemparkannya bergantian. Tepat mengenai sasaran. Alias kepala Riku.

Tentara Jepang itu memegangi kepalanya. Marnie berharap ada benjol besar di bawah rambutnya yang berantakan itu. Lantang sekali kalau mengancam, tapi sendirinya juga mengaduh kesakitan akibat kena timpuk dua sepatu.

"Beraninya pakai senjata! Sini kalau berani pakai tangan kosong, akan kupukul kau!" Tantangnya dengan keberanian yang dibuat-buat.

Akan tetapi, dalam satu kedipan mata, Marnie terduduk kembali di jok belakang sebuah mobil.

"Sudah bangun, Mbak?"

Seorang sopir taksi yang berkumis itu bertanya. Mereka berkontak mata melalui kaca cermin yang menggantung di depan.

"Macetnya parah banget. Mungkin baru bisa keluar tol dua jam lagi. Kalau mau tidur lagi nggak apa, Mbak. Nanti saya bangunin kalau sudah sampai."

Marnie tidak menggubris perkataan sopir taksi. Dunia pemuda itu sudah ter-reset kembali. Dan dengan kedua mata yang bukan miliknya, Marnie mencari keberadaan seseorang yang mengancam dirinya.

Ke depan. Hanya ada mobil abu-abu yang juga tidak bergerak.

Ke samping kanan. Masih sama. Sebuah mobil box sebuah layanan jasa kirim paket.

Ke sebelah kiri–

"Kau mencariku?" Riku menyeringai tajam sambil membungkukkan dirinya untuk mengintip ke dalam.

Marnie memekik kaget dan dengan panik berusaha keluar dari taksi yang mengurungnya itu. Naas, dengan tangan yang tak hentinya gemetar, pintu taksi tidak mau terbuka.

Tanpa izin, lelaki dengan seragam kuno itu membuka pintu dan mendudukkan diri di sampingnya. "Tenanglah. Aku tidak akan mengeluarkan pedangku di mobil yang sempit ini."

Mudah sekali untuk dikatakan.

"Apa yang kau mau?"

Riku mendecih. "Aku ingin kau kembali ke duniamu sendiri. Kembali masuk ke pintu yang tadi."

"Aku tidak mau. Kenapa aku harus menderita di sana kalau aku bisa keluar semauku?"

"Karena itu hukumanmu."

"Jadi kau memang setan neraka?"

"Berhenti mengataiku seperti itu."

"Tapi memang benar, kan?" Marnie tidak tahu apa yang mendorong mulutnya untuk tidak menggunakan filter sekalipun dia masih gemetar ketakutan. Sudah terlanjur juga. "Kau berlagak seperti sipir jahat yang ingin menjebloskanku ke penjara. Karena kau bilang aku bisa menganggap ini sebagai neraka, berarti tidak salah kalau menyebutmu sebagai setan neraka."

Riku memasang wajah tidak suka.

Dia yang sekarang bersemayam pada tubuh seorang wanita karir itu takut jika lelaki di sampingnya berubah pikiran dan mengeluarkan pedangnya "Lagipula, misal kau memaksaku kembali ke pintu duniaku, aku masih bisa keluar juga, kan? Menyuruhku kembali ke sana tidak ada artinya."

"Itu tidak benar."

"Ih, memang kenyataannya seperti itu. Atau," sebuah pikiran baru terlintas di kepala Marnie, "Jangan-jangan kau takut dengan atasanmu kalau ada orang yang kabur dari dunianya, ya?"

Riku terdiam. Bisa terlihat jelas betapa kesalnya tentara Jepang itu saat ini. Rahangnya mengeras, dengan kedua alis yang ditekuk tajam di atas mata gelapnya. "Jaga bicaramu. Kau tidak akan suka apa yang terjadi kalau ada agen lain yang tahu kau bisa keluar masuk pintu labirin dunia."

Merenung sejenak. "Agen lain?"

"Tentu saja. Aku bukan satu-satunya orang yang bisa keluar masuk dunia di labirin ini. Sudah kubilang, kau bisa memanggilku 'Agen A-8989' kan? Artinya ada 8988 agen sebelumku, dan aku bukanlah yang terakhir di sini."

"Oh! Bagaimana kalau ternyata aku ini agen sepertimu juga?"

Marnie tidak tahu apa itu benar atau tidak. Yang pasti, dia mengucapkan ini agar Riku tidak jadi menyakitinya. Tiba-tiba, tangannya ditarik dengan kasar.

"Tidak ada angka," ucap Riku setelah melihat pergelangan tangan kirinya.

"Angka? Apa maksudmu?"

Melepaskan Marnie, dia kini menunjukkan tangan kirinya.

000.

Tiga buah angka nol. Hitam. Seperti tinta. Tato permanen, pastinya. Angka nol itu berjajar rapi pada pergelangan tangan Riku, tepat di mana orang yang kehilangan harapan hidup akan mengiris tangannya.

Selain itu, ada sebuah garis hitam panjang. Hampir bersentuhan dengan tiga angka nol dan menjulur lurus ke siku dalam.

"Semua agen labirin dunia mempunyai angka ini."

"Kalau begitu, antar aku ke tukang tatonya. Mungkin mereka lupa belum memberiku tato itu."

Riku terkekeh geli. "Ini bukan sekedar tato."

"Lalu?"

"Angka ini menunjukkan jumlah jiwa yang sudah dibebaskan oleh setiap agen labirin dunia yang kau sebut sebagai neraka ini."

"Dibebaskan? Kalau begitu, kenapa kau malah memaksaku kembali ke dunia di balik pintu labirin?"

Riku terhenyuk.

Marnie hendak bertanya lagi, tetapi seseorang membuka pintu taksi dari luar dan langsung menusuk lelaki di sampingnya itu dengan sesuatu hingga dia tersungkur kesakitan. Darah yang semerah langit merembes pada seragam pasukan zaman penjajahan yang berwarna coklat.

Pelakunya adalah pemuda yang terjebak di dunia neraka ini.