1 Kobaran Api

Rumahnya dilalap kobaran api dan Marnie bersumpah itu bukan salahnya.

Kerumunan itu tak membiarkannya melangkah lebih jauh. Mereka berbondong-bondong datang, berteriak dengan telunjuk yang mengacung, atau dengan kamera handphone yang disorotkan pada bangunan satu lantai yang kini menyala terang dengan panas dan asap hitam mengepul di atas.

Dada Marnie sesak. Kehabisan napas karena berlari menuju sumber kebakaran, juga karena ketidaktahuan akan nasib ibunya.

"Marnie, syukurlah kamu tidak apa-apa," pemilik warung di kampungnya mendekap erat. Wajahnya syok, namun tidak separah yang ditampilkan oleh Marnie sendiri. Suaranya juga bergetar hebat saat melanjutkan, "Bu Darmi dibawa ke rumah sakit."

Mendengarnya saja lantas membuat Marnie melepaskan genggaman pada tas laptopnya. Dia tidak peduli dengan bunyi 'krak' yang mengiringi. Kobaran api di depannya mengaum lebih kencang, mengirim bayangan menyakitkan dan mengerikan akan ibunya yang tadi terlelap di dalam rumah sendirian.

Marnie memaksa kakinya bergerak cepat menjauh dari pusat kebakaran. Di ujung gang, seorang tetangga baru saja memarkir motornya, tentu berniat untuk menjadikan bencana Marnie menjadi sebuah tontonan tengah malam. Dia tidak terlalu akrab, namun Marnie hanya butuh sebuah tumpangan sekarang juga.

"Antar aku ke rumah sakit!"

Tanpa ba-bi-bu, tetangga yang mungkin bernama Rudi, atau Pardi, atau Fadli itu segera menurut. Motor itu melesat pada jalan kota kecil yang senggang. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai di rumah sakit.

"Terima kasih," Marnie tidak sempat mengucap lebih. Dia lantas berlari menuju Instalasi Gawat Darurat. Menengok kanan dan kiri, mencari tanda-tanda keberadaan sang ibu yang dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan.

Dia tidak menemukannya.

Kilasan imaji yang buruk menggerayang, memenuhi kepala dan menyesakkan dada.

Marnie tidak tahu seberapa parah luka ibunya. Yang pasti itu bukan luka ringan, karena tidak ada dokter magang dan suster yang merawat pasien di IGD. Entah harus bersyukur atau tidak. Tanpa tahu, mungkin ibunya sudah terbaring kaku di kamar mayat dengan kulit terbakar yang membuat wajahnya susah dikenali.

Air matanya merembes. Dia memegang perutnya yang mual, tidak sanggup membayangkan.

"Marnie?" Seorang pria mendatangi. Pak Parman, adik kepala desa yang dituakan dan tinggal tiga rumah darinya. Senyum di wajah tuanya sedikit menunjukkan kekhawatiran, namun tetap berusaha menenangkan. "Aku sedang mengurus berkas ibumu di loket."

Marnie seolah tidak mendengar. Fokusnya tertuju pada sebercak noda darah di ujung baju koko cerah yang dikenakan tetangganya. "Ibu di mana?"

"Kamu tenang dulu, sini duduk sebentar." Pak Parman hendak menuntun Marnie menuju bangku tunggu dekat IGD, namun dia kokoh tidak bergeming.

Pria itu menunjukkan kekhawatiran yang cukup kentara ketika memandangi Marnie dari ujung kaki ke ujung kepala.

Wajah paniknya yang menahan tangis pasti sangat cocok dengan setelan piyama bermotif boneka beruang, jaket warna hijau, dan sandal selopnya. Sungguh berbeda dari setelan rapi yang dikenakannya untuk bekerja. Apalagi dengan rambut sebahu yang dikuncir acak-acakan.

"Ibu di mana?"

Pak Parman memandangnya lembut sembari menghela napas dalam-dalam. Seolah hendak menyampaikan berita duka. "Ibumu terluka cukup parah. Sekarang sedang dioperasi. Dokter bilang mungkin butuh beberapa jam–"

"Di mana ruang operasinya?" Marnie menoleh ke sekeliling dengan panik, mencari petunjuk arah di dalam rumah sakit yang sepi malam itu.

"Kamu tenangkan diri dulu–"

Mustahil.

Dia melesat menuju salah satu lorong. Keinginannya untuk segera memastikan kondisi sang ibu ratusan kali lebih kuat ketimbang anjuran Pak Parman yang sudah berbaik hati menguruskan berkas ibunya.

Derap langkah kaki menggema pada dinding lorong rumah sakit, mengingatkan Marnie akan betapa heningnya tempat itu jika bukan karenanya. Napas terengah-engah dan pandangan yang semakin kabur karena air mata. Kepalanya sesak dengan bayangan yang tidak-tidak.

Rumahnya kebakaran, mungkin hangus tak tersisa esok pagi.

Ibunya sedang dioperasi, mungkin lukanya lebih serius ketimbang yang Pak Parman indikasikan.

Dan soal ayahnya, Marnie tidak mau memikirkan hal itu sekarang.

Yang pasti, dia harus segera menemukan ruang operasi itu. Meski tidak bisa hadir tepat di sisi ibunya, atau bahkan melihatnya kondisinya, Marnie bisa menunggu di luar ruangan. Dia akan menjadi orang nomor satu yang mengetahui bagaimana keadaan ibunya begitu dokter keluar ruangan.

Tetapi… 'Ah, di mana ruang operasinya, sih?'

Marnie mencari penunjuk arah yang biasanya tergantung di dinding atau di atas pintu ruang rawat. Tidak ada huruf yang menyusun kata 'Ruang Operasi' di sana. Niatnya untuk bertanya pada seseorang pun gagal, karena memang tidak ada suster atau dokter yang berlalu-lalang di lorong.

Perempuan yang nampak berantakan itu pun memutuskan untuk mencari di lantai dua. Berbelok menuju tangga, Marnie bergegas naik.

'Brak!'

Kakinya tersandung tangga, membuatnya jatuh terduduk dan meringis menahan sakit di lutut kaki. Marnie segera bangkit, sadar betul kalau sakit yang barusan dirasakan itu tidak ada apa-apanya dibanding luka bakar yang pasti diderita ibunya.

Begitu sampai di lantai dua, Marnie segera menyusuri lorong. Pandangannya terbang kesana kemari, mencari ruang operasi yang mungkin sedang digunakan untuk mengatasi luka ibunya.

Namun tak juga ditemukan.

Jangankan petunjuk arah untuk ruang operasi, Marnie bahkan tidak menemukan satu tulisan pun di lantai dua.

"Aduh, ini dimana sih?!"

Dia terus menyusuri lorong.

Belok ke kanan dan ke kiri. Bergantian seperti itu tanpa tahu arah yang dituju.

Semua pintu yang dilewatinya tertutup rapat. Begitu juga dengan jendela bertirai yang mencegah Marnie untuk melihat ke dalam ruangan. Dia tidak tahu sudah berapa ruangan tertutup yang telah dilewatinya.

Sungguh banyak, karena kakinya sudah mulai keram. Napasnya ngos-ngosan, seolah dia baru saja lari maraton, padahal belum pernah dilakukan sekalipun.

Frustasi rasanya.

Panik yang menekan dadanya kini meninggi. Mendorong air mata untuk benar-benar mengalir di pipi karena Marnie merasa lorong rumah sakit ini sungguh tidak ada ujungnya.

Dia tersesat.

Tidak tahu lagi harus bagaimana, Marnie asal membuka salah satu pintu di lorong yang hening itu.

Beruntung jika menemukan ruang operasi ibunya. Atau setidaknya, dia bisa menanyai orang yang mungkin masih terjaga di dalam sana.

'Clek!'

Terbuka dengan mudah.

Namun tidak ada apa-apa di dalam sana.

Hanya ruang kosong.

Gelap.

Namun ada sesuatu yang seperti menariknya ke dalam. Bukan sesuatu yang nyata, karena tidak ada tangan yang benar-benar menariknya seperti Pak Parman tadi.

Meski begitu, Marnie melangkah masuk. Dia ingin masuk. Untuk memastikan, entah apa.

Marnie masuk, dan gelapnya ruangan itu perlahan menjadi terang. Seperti apa yang diyakini oleh R.A. Kartini, namun dengan makna yang berbeda seratus delapan puluh derajat.

Ruangan itu kini menjadi terang. Dengan nyala kuning kemerahan dan hangat yang kian memanas. Itu berasal dari suatu titik di depannya.

Marnie melangkah, hendak mendekat. Titik terang dan panas itu seolah membesar. Bertambah dalam ukuran dan intensitasnya, hingga Marnie membelalak tidak percaya akan apa yang tersaji di hadapannya.

Orang-orang berkerumun di depan sebuah rumah. Ada yang berteriak histeris, ada pula yang bergegas membantu pemadam kebakaran.

Tetapi, kebanyakan dari mereka menyodorkan handphone, merekam kejadian heboh pada malam yang biasanya tentram dan damai. Mereka pasti sibuk menyiarkan dan menyebarkan berita, berlagak seperti reporter berita dan bangga menjadi saksi nomor satu.

Namun, Marnie tidak peduli dengan semua itu.

Itu rumahnya.

Rumah dimana sang ibu sedang tertidur pulas, dan Marnie menguncinya karena hendak keluar sebentar. Begitulah niatnya. 'Sebentar' berubah menjadi 'satu jam' atau mungkin 'dua jam' hingga Marnie pulang, menemukan sebuah kerumunan.

Rumahnya dilalap kobaran api dan Marnie bersumpah itu bukan salahnya.

Lagi.

avataravatar
Next chapter